BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

28. Asterales

62 9 0
By Listikay

Oleh sebuah alasan yang sulit dijelaskan, Luna jadi sering memandang langit malam. Menatap bulan dan bintang yang berani menunjukkan cahayanya di tengah kegelapan.

Karena tidak mungkin ia menaiki pagar pembatas bersama Rio setiap hari, jadi Luna hanya mampu berada di balkon kamarnya. Meskipun ia tahu akan terasa berbeda bila cowok berikat kepala itu ada di sampingnya.

Rio akan memberikan kehangatan dalam angin malam yang berhembus tanpa ragu, memberikan ketenangan serta kebebasan yang tidak pernah ia dapat sebelumnya. Atau yang paling memalukan, cowok berikat kepala biru terang itu selalu berhasil membuat pipinya merona dengan begitu konyol.

"LUNA, ADA RIO DI DEPAN!"

Gadis bersurai lurus itu terperanjat, mengelus dadanya sembari memberikan kesabaran. Mamanya benar-benar hebat jika urusan berteriak kencang. Membuat telinga dan jantungnya kerap kali bermasalah.

Luna akan sangat senang jika masalah degup jantungnya sama seperti yang Rio sebabkan. Tapi ini tidak sama sekali.

Seakan baru tersadar dengan ucapan Mamanya, Luna segera memasuki kamar dengan berlari menghampiri meja rias. Meneliti penampilannya dan merapikan rambut kucir kudanya yang sedikit berantakan.

"Luna! Itu buruan, malah dandan segala."

Luna kembali terkejut untuk yang kedua kalinya saat Pamela tiba-tiba muncul di balik pintu. Ia mengelus dada, lagi.

"Lagian sejak kapan kamu peduli penampilan?"

"Luna ng —nggak dandan, kok," sahut Luna gelagapan. Sialnya, ia malah gagap segala.

"Ya udah sana buruan. Rio nungguin di teras, tuh."

Gadis bersurai lurus itu mengangguk. Melewati Pamela begitu saja dengan berlari kecil. Terlihat lebih semangat dari biasanya. Beliau menggelengkan kepalanya, heran.

Luna menghampiri Rio yang tengah duduk santai di kursi teras dengan kebingungan. "Rio, kamu kok nggak —, "

"Ikut aku bentar, yuk," ajak cowok itu dengan tersenyum manis, sebelah tangannya memegang lengan Luna yang sudah berdiri di sebelahnya.

Terlihat jelas kerutan di dahi Luna. "Ke mana?"

"Ke mana aja," sahut Rio santai dengan kepala mendonggak. Tangannya masih bertengger di pergelangan Luna.

"Ya ke mana dulu."

"Nggak mau, ya?"

"YA JELAS MAU —" Luna menghentikan teriakan tak santainya. Sudah terlalu sering memiliki keinginan mengutuk mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi. "...lah," lanjut gadis itu begitu lirih, wajahnya tampak mengemaskan di mata Rio.

Rio tersenyum, memandang Luna dengan geli. "Ya udah sana, ganti baju. Jangan lupa pake jaket."

Dengan cemberut, Luna membalikkan badan setelah Rio melepaskan tangannya. Kembali mengelus dada untuk yang ketiga kalinya karena ulah Pamela. Tiba-tiba saja Mamanya itu sudah berdiri di hadapannya tanpa ada tanda-tanda.

"Mama kok ngagetin terus, sih?" tanya Luna merasa jengkel.

"Itu yang Budhe rasakan karena ulah kamu, Luna," jawab Pamela dengan cepat. "Nggak enak, kan? Makanya jangan suka bikin kaget orang tua."

Gadis bersurai lurus itu mencibir, memasuki rumah dengan kaki dihentak-hentakan. Meninggalkan Rio dan Pamela di teras rumahnya.

Luna segera menganti bajunya secepat mungkin. Pamela benar, Luna bukanlah sederet perempuan yang peduli dengan penampilannya karena ia menyukai sesuatu yang simple dan membuatnya nyaman.

Tapi tidak lagi, karena ia kini sudah berdiri di depan cermin setelah mengganti baju. Kakinya dibalut celana jeans panjang, tubuhnya terbungkus hoodie dengan kaos pendek di dalamnya.

Kali ini, Luna memutuskan untuk menggerai rambutnya agar terlihat sedikit feminim. Juga sebagai bentuk kewaspadaan jika nanti Rio kembali menciptakan blush on alami di pipinya.

Setelah selesai, ia segera berlari secepat mungkin menuju teras rumah. Merasa beruntung karena ia tidak jatuh di tangga dan menyebabkannya amnesia.

Keningnya mengerut, kembali merasa penasaran dengan Rio dan Mamanya yang tampak sangat akrab.

"Pinjem Luna-nya lagi ya, Tante," ijin cowok itu setelah menyadari keberadaan Luna.

Rio menarik lengan Luna begitu saja setelah urusan perijinannya selesai. Membawanya masuk ke dalam rumah cowok itu.

"Kita mau ke mana, sih?" tanya Luna meminta penjelasan lebih saat Rio masih saja menarik tangannya.

"Udah, ikut aja."

Gadis bersurai lurus itu menatap heran ke arah motor besar yang ada di depan garasi. Bertambah heran saat Rio membawanya mendekat ke arah motor tersebut.

"Lho... kok?"

Rio menoleh, tersenyum tipis tanpa mengatakan apa pun. Cowok itu melepaskan tangannya dari pergelangan Luna setelah sampai di dekat motor besar itu.

"Kenapa kamu nggak pake iket kepala?"

"Karena mau, mungkin," jawab Rio terdengar tak yakin sembari memasangkan helm di kepala Luna.

"Kenapa kita naik motor?" Luna memegang lengan Rio yang tengah mengaitkan helm, mengisyaratkan cowok itu untuk berhenti melakukan aksinya.

Rio harus tahu jika Luna tidak suka naik motor atau pun mobil. Ia juga tak suka dengan benda yang sudah bertengger di atas kepalanya. Bertambah tak suka karena mengingatkannya dengan sosok Helma.

"Karena harus." Rio mulai menaiki motor tersebut setelah selesai memasangkan helm di kepala Luna dengan sedikit paksaan halus.

"Kenapa nggak jalan kaki aja?"

"Nggak bisa, Na."

"Ya udah deh, naik sepeda," nego Luna bersikeras.

"Itu nggak bisa juga."

"Aku deh yang di depan."

"Boleh aja." Cowok tanpa ikat kepala itu beralih memakai helm full facenya. Membuat Luna menyimpulkan sesuatu jika Rio melupakan ikat kepalanya karena ia tak mau ikat kepala biru terang itu merosot turun saat memakai helm. "Tapi aku nggak bakal mau."

"Aku nggak mau naik motor, Yo," rengek Luna. Tak menyetujui sama sekali kemauan cowok tanpa ikat kepala itu.

Rio menoleh, matanya menyipit. Luna bisa menebak jika cowok itu tengah tersenyum di balik helmnya. "Nggak usah takut," ucapnya menenangkan, masih dengan suara lembut yang tidak pernah menghilang.

"Aku emang udah lama nggak naik motor. Tapi aku masih inget kok kalo ini gas," lanjut Rio menjelaskan sembari menghidupkan motornya. "Kalo yang ini rem." Cowok tanpa ikat kepala itu menunjukkan letak rem. "Ahh, iya! Kalo ini klakson. Ada bunyi-bunyinya, bagus deh, coba dengerin." Rio beralih memencet klakson. Menimbulkan sebuah bunyi yang tidak Luna suka.

Luna bukan bocah TK yang tidak mengerti semua itu. Tapi sepertinya Rio menganggap Luna layaknya bayi merah yang baru saja lahir di bumi.

"Ayo." Sebuah lengan kekar terulur, meminta Luna untuk segera naik sebelum malam kian larut.

Gadis bersurai lurus itu menggeleng tak setuju.

"Keburu malem, Na. Nanti Papa kamu keburu pulang."

Seperti biasa, Rio sudah mengerti tanpa perlu ia jelaskan terlebih dahulu. Malam ini Darma memang sedang lembur di kantor. Luna tidak tahu Rio sengaja mengajaknya saat Papanya sedang tidak di rumah atau memang karena kebetulan.

Cowok tanpa ikat kepala itu menatapnya penuh permohonan. Sialnya bisa membuat Luna luluh dengan begitu mudah. Apa lagi saat jari-jari cowok itu bergerak-gerak, seolah ikut merayu hatinya agar segera mengiyakan permintaan Rio.

Dengan sedikit ragu-ragu, Luna menerima uluran tangan Rio. Menaiki motor besar tersebut dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

"Udah?"

Luna mengangguk. Rio melihatnya di balik kaca spion, mengulaskan senyum tipis sembari menutup kaca helmnya.

"Pegangan."

Gadis bersurai lurus itu menurut, terasa aneh karena ia malah mengalungkan kedua lengannya di bahu Rio. "Kita naik motor, Na. Bukan sepeda."

Rio bisa melihat dengan jelas wajah Luna yang terlihat tidak nyaman di belakangnya. Cowok tanpa ikat kepala itu lantas mengarahkan lengan Luna agar melilit di pinggangnya. Menghembuskan nafas lega saat lengan Luna tidak terasa dingin atau bergetar, itu artinya gadis bersurai lurus di belakangnya ini tidak memiliki trauma.

"Siap?"

Luna kembali mengangguk sembari menatap Rio dari spion meskipun ia tidak bisa bersitatap dengan bola mata hitam pekat cowok itu karena sudah tertutup kaca hitam.

Perlahan, motor besar Rio melaju. Angin malam menghantam wajah Luna dengan mudah. Cengkraman kedua lengannya semakin mengerat saat sensasi asing menghampirinya. Bersamaan dengan rasa bebas layaknya angin yang sering berkelana tanpa arah, tanpa kepastian.

Luna bisa merasakan sebelah lengan Rio yang mengelus punggung tangannya yang berada di atas perut cowok itu, berharap hal tersebut itu bisa membuatnya kembali nyaman duduk di atas motor.

Mungkin memang benar jika waktu bisa mengubah apa pun, terbukti dengan perasaan aneh yang Luna rasakan mulai tergerogoti secara perlahan. Meskipun belum sepenuhnya menghilang dan lenyap begitu saja, tapi setidaknya hal itu bisa membuat gadis bersurai lurus itu merasa lebih baik.

"RIO, KITA MAU KE MANA, SIH?" teriak Luna dengan kepala yang sedikit dimajukan. Motor yang Rio kendarai sudah mulai berlomba-lomba dengan kendaraan lain di jalan raya. Laju kecepatan yang tadinya sedang juga semakin bertambah secara perlahan.

Cowok tanpa ikat kepala itu tersenyum, Luna sudah mau membuka mulutnya. Melegakan. Tangannya sudah kembali fokus pada stir motor. Ia memundurkan kepalanya sedikit. "HAH? MANASIN NASI?"

Konslet. Eror. Tidak nyambung. Dan menyebalkan tentunya.

"IHH! AKU MAU TURUN AJA." Tapi tetap saja rasa tidak nyaman masih menyelimutinya, meskipun sebagian sudah menghilang.

"RUJAK?"

Luna tidak tahu bagaimana sejarahnya kalimat yang ia ucapkan bisa berhubungan dengan kata rujak. "KOK KAMU JADI BUDEG, SIH?!!"

"KITA NGGAK MAU BELI GUDEG, NA. NGGAK MAU BELI RUJAK JUGA," teriak Rio dengan suara santai menyiratkan kelembutan.

Gadis bersurai lurus itu menyerah. Percuma saja berteriak dengan tenaga jika tanggapan Rio tidak ada yang nyambung sama sekali. Lebih baik ia diam, terserah Rio akan membawanya kemana.

Menghirup aroma cowok itu menjadi pilihan yang tepat untuk Luna saat ini. Tidak ada aroma menenangkan selain milik Rio, membuat lilitan tangannya mengerat dengan sendirinya.

Bumi tak kalah ramai dengan angin malam. Kendaraan yang lalu lalang seperti taburan bintang. Suara bising mendominan layaknya sinar ribuan bintang yang memancar. Sementara Rio seakan bulan yang menjadi pusatnya, pusat di kehidupan Luna. Sama seperti bagaimana Rio menganggap Luna.

Setelah lama menyusuri jalanan, motor Rio berhenti tepat di sebuah... toko bunga? Oh, bukan. Mungkin lebih tepatnya tanaman bunga, atau apalah itu Luna tidak mengerti.

Luna segera turun dan melepaskan helmnya, disusul Rio yang kali ini lebih terlihat tampan tanpa ikat kepala biru terang kebanggaannya.

"Yuk," ajak cowok itu setelah melepas helm dan mengantongi kunci motornya. Ia menjulurkan tangan di hadapan Luna. Memasang senyuman memukau yang membuat reaksi tubuh gadis bersurai lurus itu kembali tak normal.

Seperti biasa, Luna harus memasang wajah biasa, ia menerima uluran tangan Rio. Hangat. Sangat hangat. Ia bahkan sampai tak mengerti mengapa malam yang datang bersama angin dan hujan yang datang dengan menikam mendadak terasa hangat jika ia sedang bersama Rio.

"Kita mau ngapain, sih?" tanya Luna tak tahan saat mereka berjalan bersisian. Setahunya, penjual tanaman bunga pasti akan tutup jika malam-malam begini. Tapi Luna tidak bisa menjamin itu karena ia tidak pernah keluar rumah untuk hal-hal yang tidak perlu, apa lagi malam-malam begini.

Rio tidak menjawab, tidak juga menoleh ke arahnya. Mungkin saja cowok tanpa ikat kepala itu masih terbawa suasana budek atau memang sengaja tak mau menjawab.

Mata Luna berbinar. Di hadapannya banyak sekali tanaman dari berbagai jenis dan macam. Percaya atau tidak, ini merupakan kali pertama ia mendatangi tempat semacam ini. Luna memang menyukai tanaman, tapi semua tanaman yang ada di halaman rumahnya bukan ia sendiri yang membeli, melainkan Pamela.

Tugas Luna hanya merawatnya dengan senang hati. Seperti yang dilakukan orang tuanya terhadap Luna, hingga terasa berbeda saat ia menginjak remaja. Saat kekangan selalu ia terima dan kebebasan tidak pernah menyambanginya.

***

Tidak ada hal membahagiakan selain menjilat ice cream bersama Rio di malam hari. Seperti sekarang ini contohnya. Tepat di bawah sinar bulan, di bumi yang ramai, dan di sebuah kursi taman yang jauh dari rumah mereka.

"Banyak banget yang pengin aku tanyain sama kamu malam ini," ucap Luna memecahkan keheningan di sela-sela kesibukan menjilat ice creamnya.

Rio tak menoleh. "Apa?"

"Kamu ada niatan jawab nggak? Kalo enggak aku nggak jadi tanya."

"Kenapa nggak jadi?"

"Buang-buang tenaga."

"Ya nggak pa-pa buang-buang tenaga, asal bukan buang-buang cinta."

Luna akui jika Rio lebih sering konslet dan tidak jelas akhir-akhir ini. Maka dari itu ia tak menangapi ucapan cowok itu barusan.

"Kamu kenapa nggak pake iket kepala?" tanya Luna langsung. Tidak peduli Rio menjawab atau tidak, yang penting pertanyaan yang memenuhi kepalanya sudah terlontar.

Nggak pa-pa buang-buang tenaga, asal bukan buang-buang milk shake coklat.

"Biar tambah ganteng, biar kamu makin suka," jawab cowok tanpa ikat kepala itu dengan santai. Masih tidak menoleh dan memilih sibuk dengan ice cream di tangannya.

Bukan seperti itu jawaban yang Luna inginkan. Waktu itu saja, saat ia ingin melepaskan ikat kepala kebanggaan Rio, cowok itu tidak memperbolehkan. Tapi sekarang justru melupakan hal terpenting dalam diri Rio begitu saja

"Aku sukanya sama Justin."

Rio menoleh, tersenyum tipis yang senantiasa terlihat memabukkan. Bola mata hitam pekat itu kembali membuatnya tenggelam dengan mudah. "Tapi cintanya sama aku, kan?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat dan tersenyum miring.

Luna mendorong wajah Rio dengan telapak tangannya, berusaha menutupi kegugupannya yang tidak pernah tahu waktu. Terbukti jika apa yang ia persiapkan tidak sia-sia, surai lurusnya menutupi sisi wajah gadis itu. "Apaan, sih."

Cowok itu terkekeh saat wajahnya sedikit menjauh karena tangan Luna. "Apa lagi?"

Pertanyaan Rio berhasil menciptakan kerutan di dahi gadis bersurai lurus itu, ia menoleh penuh waspada. Mewanti-wanti tubuhnya agar bersikap semestinya tanpa keanehan tak wajar. "Apanya?"

"Pertanyaannya, tadi katanya mau tanya banyak."

Lucu karena Luna hampir melupakan itu. "Kenapa tiba-tiba naik motor?"

"Karena naik motor itu punya arti kebebasan." Rio menjeda kalimatnya. "Lagian nggak mungkin juga kita jalan kaki atau naik sepeda ke sini."

Benar apa yang dikatakan Rio. Cowok itu memang mengajaknya ke tempat yang sedikit jauh, dan juga sekarang ini sudah malam. Menambah kemungkinan semakin nyata.

"Terus kenapa kamu beli bunga ini malem-malem?" Luna menunjuk satu pot bunga krisan yang ada di sebelahnya. "Tante Hana yang nyuruh? Tapi kenapa malem-malem begini? Besok, kan, bisa."

"Lihat." Rio memberi isyarat mata agar Luna mendonggakkan kepalanya menatap langit, tepat di mana bulan dan ribuan bintang sedang bersinar terang. "Mereka yang nyuruh."

"Kamu ngomong apa, sih?"

"Katanya karena kamu suka bunga." Rio melirik pot bunga krisan yang ada di sebelah Luna. "Bunga itu bisa bertahan lama, tergantung gimana cara kamu ngerawatnya. Sama kayak perasaan manusia."

Gadis bersurai lurus itu menatap Rio tanpa berkedip.

"Warnanya ungu, bagus. Selain itu warna ungu juga punya efek menenangkan, jadi kalo kamu lagi sedih tinggal lihat aja bunga itu." Rio menjilat ice creamnya yang mulai meleleh. Lalu menolehkan kepalanya menatap Luna yang membatu.

Cowok itu beralih menjilat ice cream di tangan Luna dengan sebelah tangan bergerak menyelipkan helaian surai lurus beraroma strawberry ke belakang telinga Luna.

Tentu saja apa yang Rio lakukan membuat Luna harus menahan nafas dan menahan gejolak aneh di dadanya yang bergemuruh. Apa lagi saat cowok itu terus menatapnya dengan sesekali kembali menjilat ice cream di tangannya.

"Cantik," puji Rio sembari menunjukkan senyumannya. Wajahnya berada tepat di hadapan wajah Luna dengan jarak yang begitu dekat.

Gadis bersurai lurus itu bernafas lega saat ringtone ponselnya terdengar, yang membuat Rio mau tak mau menjauhkan wajahnya.

Luna menyempatkan diri menjilat ice cream di tangannya sebelum menggeser slide answer tanpa melihat nama yang tertera di sana. Terlalu sibuk merasakan sensasi ice cream di mulutnya yang mendadak menjadi terasa lebih manis setelah dijilat Rio.

"Halo."

"Lo nggak kangen sama gue, heh?"

Suara itu berhasil membuat ponsel Luna terjatuh begitu saja.


****

Dan ternyata aku gabisa pake narasi pendek. Ya udahlah.

Tadinya gamau sebanyak ini, takut kleyan bosen. Tapi ya udah, nggak pa-pa.

I hope kleyan gabosen dan mau dengan senang hati meninggalkan jejak wahai sider budiman.

03-06-20.







Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 271K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
858K 12.2K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.4M 100K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...
1.1M 42.7K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...