BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya

55 10 0
By Listikay

Setelah mengantarkan Luna pulang, Rio berjalan memasuki rumah dengan senyum mengembang. Perasaan lega dan senang bercampur membentuk senyuman yang memabukkan.

Ternyata begini rasanya setelah berbagi cerita, cukup menarik menurutnya.

Ternyata begini rasanya dirundung jatuh cinta, cukup membuatnya bahagia menurutnya.

Ini memang bukan kali pertama ia jatuh hati dengan seorang perempuan. Tapi rasanya, ini lebih menyenangkan dari perasaan-perasaan yang sebelumnya. Kali ini terasa lebih memukau berkali lipat.

Dengan senyum yang enggan menyingkir dari bibirnya, Rio mendudukkan diri dengan santai di ruang tengah. Ikut berkumpul dengan keluarganya.

"Dari mana?" tanya Geralnd heran, memandang ke arahnya dengan kerutan di dahi yang terlihat jelas. Beliau bahkan rela menghentikan aksi meladeni ocehan Reon hanya untuk bertanya pada anak sulungnya.

"Dari depan," sahut cowok berikat kepala itu, masih dengan senyumannya yang tak kunjung meredup.

"Ayah, emang Abang gila?"

Rio memelototkan matanya ke arah Reon yang berada di pangkuan Geralnd. Bocah itu pura-pura berbisik dengan sebelah tangan mungil yang menutup mulutnya. Tapi tetap saja, suara cemprengnya sangat jelas terdengar di telinga Rio.

"Lo tuh ya gila! Tiap hari ngomong sendiri." Rio mencibir. Mengingat dengan jelas bagaimana Reon berteriak tidak jelas atau mengajak bicara mainannya.

"Dulu kamu emang nggak gitu juga?" Pertanyaan Darma berhasil menohok Rio. "Kayak nggak pernah bocah aja kamu."

"Ayah." Reon kembali memanggil Geralnd dengan berbisik, kali ini tidak dengan menutup mulutnya dengan isyarat bisikan. "Abang gilanya dari dulu, ya?"

Rio hampir saja mengambil pisau di dapur dan menjadi psyco dadakan jika ia hanya berdua dengan Reon saat ini. Cowok berikat kepala biru terang itu menahan diri untuk tidak memberikan Reon sebuah jitakan penuh kasih sayang.

"Kok Eon baru tahu," lanjut bocah itu dengan tatapan keheranan.

Tangan Gerand terangkat bersamaan dengan Reon yang menguap. Mengelus rambut bocah itu yang terlihat sedikit pirang. "Reon masih makanin coklat ya?" tanya beliau saat mulut Reon sudah kembali tertutup. Melihat dengan jelas gigi Reon yang sudah tidak utuh. "Itu gigi kamu udah ompong, jangan makan coklat sama permen."

"Eon nggak makan coklat sama permen, Ayah," sahutnya membela diri. "Eon, kan, anak nurut dan ganteng."

Rio mencibir pelan. Ganteng katanya? Sungguh besar rasa percaya diri bocah itu.

"Terus makan apa kamu?" tanya Geland lembut sembari mengulaskan senyuman.

"Eon makan gulali yang ada di depan sekolah, Ayah. Enak banget tau, besok Eon mau beli lagi."

"Sama aja, anjir!" Rio yang sudah tidak tahan memilih angkat bicara. "Itu juga makanan manis!"

Reon memasang wajah menjengkelkan, yang rasanya membuat jiwa-jiwa menganiaya adiknya sendiri memuncak. "Ah, Abang bohong."

"Reon, apa yang Abang omongin itu bener." Geralnd menasehati. "Besok lagi jangan makan yang manis-manis, jangan beli gulali, oke?"

Bocah itu mengangguk dengan patuh. Begitulah Reon, selalu saja membuat Rio merasa jengkel. Saat cowok berikat kepala biru terang itu yang angkat bicara, anak itu tidak mau mendengarkannya sama sekali. Giliran Ayahnya yang buka suara, langsung saja nurut dan tidak membantah.

"Ayo, tidur." Hana beranjak mendekat saat anak bungsunya kembali menguap. Reon merentangkan kedua tangannya meminta gendong.

Ibu dan anak itu lantas menghilang di balik pintu, meninggalkan Geralnd dan Rio yang masih duduk bersebelahan di sofa ruang tengah. "Ayah tadi lihat kamu sama Luna di atas pagar."

Suara Geralnd seakan suara petir yang menggelegar di telinga Rio. Cowok berikat kepala itu menoleh dengan was-was, ia bertanya ragu-ragu. "Ngapain Ayah lihat-lihat?"

"Harusnya Ayah yang tanya. Ngapain kamu ngajak anak gadis orang manjat begituan? Jangan nekat, Rio."

"Bukan Rio yang ngajak, Luna sendiri yang mau," sahut Rio apa adanya. "Ayah denger apa yang Rio omongin sama Luna?" tanyanya memastikan. Ia takut Geralnd mendengar luka yang ia bagi pada Luna. Ia takut Geralnd tahu jika Rio mengetahui semuanya.

"Ayah nggak suka nguping."

"Tapi Ayah suka ngintip," sela cowok berikat kepala itu dengan cepat. Sayang sekali, tempat yang sudah sangat nyaman untuk berduaan dengan Luna terasa tidak aman sekarang.

"Ayah nggak sengaja lihat, Rio."

"Sama aja."

"Terserah kamu," jawab Geralnd pasrah.

"Yah, mau tahu sesuatu nggak?" Rio memasang wajah serius. Sepertinya memberitahu Ayahnya bukanlah suatu yang buruk. Lagi pula Geralnd selalu memiliki pemikiran yang sama dengan Rio.

"Apa?" Beliau memandang Rio penuh tanya.

"Sebenarnya, Luna itu cewek Rio," ungkapnya sembari tersenyum bangga.

Bukannya terkejut atau semacamnya, Geralnd justru menghembuskan nafasnya dengan gusar. "Cewek itu dijada bukannya diajak yang aneh-aneh. Jangan main-main sama anak orang kamu."

"Rio itu nggak aneh-aneh, Yah," sahutnya membela diri. "Lagian Rio juga nggak main-main."

"Cowok itu yang dipegang omongan sama tindakannya. Ayah pegang omongan kamu."

"Iya," sahut Rio malas-malasan.

"Kamu mau tahu sesuatu juga nggak?"

Rio mengerutkan keningnya bingung. Jangan bilang Ayahnya itu juga akan berucap, 'sebenarnya Bunda itu istri Ayah'. Itu sama sekali tidak lucu.

Karena mendadak penasaran, Rio memutuskan untuk bertanya, "apa?"

"Bunda pernah nyinggung soal bullying nggak ke kamu?'

Setidaknya Rio bisa bernafas lega karena Garalnd tidak mengucapkan sesuatu seperti yang ada di pikirannya. "Pernah," jawab Rio setelah menerawang. "Waktu belum lama di sekolah yang sekarang. Padahal Ayah tahu, kan, Rio gimana. Rio nggak bakal diam kalo ditindas gitu aja."

Terlihat, Ayahnya menghembuskan nafas dalam-dalam. "Dulu, Bunda pernah jadi korban bully."

"Serius?!" teriak cowok berikat kepala itu tanpa sadar.

"Jangan kenceng-kenceng nanti adik kamu bangun."

"Pantesan aja." Rio menjeda kalimatnya, menatap sang Ayah dengan tatapan serius. "Bunda punya trauma, Yah?"

"Mungkin," sahut Geralnd sedikit ragu-ragu.

***

Seperti biasa, Luna menyeruput milk shake cokatnya dengan semangat. Akhir-akhir ini milk shake tidak memanjakan lidahnya karena Luna yang hanya punya bersediaan cola di rumah dan mendadak malas ke luar rumah hanya untuk mendapat minuman kesukaannya tersebut.

Sesekali, mulutnya sibuk mengunyah siomay Bu Sa yang tak kalah enak dengan milk shake coklatnya.

"Lo nggak ikut ekskul apa gitu, Ri?" tanya Bejo buka suara dengan mulut penuh.

Kali ini, Rio dan Luna tidak kebagian tempat duduk. Jadi mau tak mau mereka harus bergabung dengan Dove dan Bejo di pojokkan.

"Enggak."

"Kenapa?" Kini giliran Dove yang bertanya.

"Ya gimana mau ikut kalau penyemangat gue aja juga nggak ikut," sahut Rio santai diakhiri sebuah kekehan.

Sontak, Dove dan Bejo memasang ekspresi menahan muntah secara bersamaan. Sementara Luna menghentikan kunyahannya begitu saja.

Rio sama sekali tidak menoleh, tidak menatap ke arahnya, tapi tetap saja apa yang keluar dari mulut cowok berikat kepala itu terasa sangat manis di telinganya. Luna bahkan hampir lupa jika Rio bisa mengerti dirinya tanpa diberitahu sekali pun.

Rio tahu jika Luna bukan gadis yang senang mengikuti organisasi di sekolah.

Sebenarnya, jika untuk urusan sekolah, orang tuanya tidak melarang. Asalkan tetap melakukan seperlunya, tapi memang pada dasarnya Luna tidak suka berbaur dengan banyak orang.

Lagi pula ia juga tidak memiliki banyak teman. Yah, kecuali beberapa orang yang mengenalnya atau menyapanya. Hanya sekedar kenal dan menyapa, tidak lebih. Itu pun juga karena ia menyandang gelar adik Leo.

"Jijik, anjing!"

Rio hanya nyengir. Kembali melanjutkan mengisi perutnya.

"Lun Lun...."

"Hmm?" gumam Luna di sela-sela kunyahannya.

"Abang Lo ngeremin ya," ucap Dove tiba-tiba sembari memandang Leo yang memasuki kantin dan duduk menghampiri teman-temannya.

"Hah? Nyeremin dari mananya? Kayak gitu ngeremin Lo bilang."

"Serius, Lun! Kelihatan banget auranya."

"Luarnya doang kayak gitu."

Mungkin maksud Dove, Leo memiliki tampang macam Papanya yang terlihat acuh dan galak. Padahal mereka sebenarnya berbeda. Luna mengerti maksud Dove karena cowok bergelang karet itu belum mengenal Leo dengan jelas. Padahal sebenarnya Leo sangat baik dan begitu peduli padanya, ya walaupun kadang menyebalkan.

Leo juga memiliki banyak teman baik dari kalangan adik kelas mau pun seangkatan. Tidak peduli cewek atau cowok. Berbeda dengan Luna. Sampai Luna dibuat heran mengapa Leo yang terlihat popular tidak memiliki pacar sampai sekarang.

"Nih, ya." Dove memasang wajah serius dengan tubuh yang dicondongkan ke depan. "Sampai-sampai nggak ada cewek yang deketin Rio sekarang," lanjutnya menggebu-gebu.

"Kok gue?" tanya Rio saat namanya dibawa-bawa.

"Ya karena kalian pacaran. Nggak ada yang mau jadi pelakor adenya Leo," timpal Bejo. "Orang peringkat terakhir di kelas pasti juga tahu kali kalo kalian itu ekhem-ekhem. Cuma mereka diem aja."

"Lo kata batuk ekhem-ekhem segala!" sungut Luna yang dengan cepat melepas sedotan dari bibirnya.

"Iya, batuk! Batuk cinta hahaa." Tiba-tiba, si Rambut Klimis itu tertawa sangat kencang sampai terpingkal-pingkal. Bahkan ia sampai memukul pundak Dove yang duduk di sampingnya.

Mereka memandang Bejo dengan tatapan aneh. Pasalnya cowok itu seperti orang gila yang demen tertawa sendirian.

Merasa mendapatkan tatapan aneh dari teman-temannya, Bejo menghentikan tawanya. Sedikit terkejut karena beberapa meja yang ada di pojokan menatap ke arahnya dengan pandangan serupa.

Bejo berdeham sok cool. "Garing Lo pada."

"Lo yang garing!" semprot mereka bertiga dengan begitu kompak.

"Sinting!" lanjut Luna.

***

Luna tahu tidak seharusnya ia sedekat ini dengan Rio ketika sedang berada di area sekolah. Namun tapi menerebos masuk begitu saja.

Ia seperti sebuah kegelapan yang akan terus mencari dan berupaya selalu dekat dengan cahaya. Seperti sebuah kalimat asing yang terus meminta arti. Seperti angin malam yang terus berhembus menghampiri jiwa-jiwa kesepian.

Dan semua itu Luna temukan dalam diri Rio, cowok berikat kepala itu memiliki segalanya yang ia cari.

Luna rasa, hidupnya seperti sudah bergantung pada cowok berikat kepala biru terang itu. Hingga membuatnya mengambil resiko besar jika Rio tiba-tiba menghilang dan menjadi jawaban semu.

Gadis bersurai lurus itu terlalu asyik dengan berbagai pertanyaan yang menggelayuti pikirannya, hampir saja menabrak pintu yang setengah terbuka di lorong sempit jika Rio tidak menarik pinggangnya.

Rio melepaskan tangannya yang masih melilit pinggang Luna dengan segera. "Ngelamun lagi ya, kamu," ucapnya lirih sembari menangkup wajah Luna dengan tangan kekarnya. Diakhiri dengan sebuah kecupan singkat yang mendarat di dahi gadis bersurai lurus itu.

Tinggi mereka yang hampir sama membuat Rio harus sedikit berjijit agar bibirnya bisa menyentuh dahi Luna dengan sempura.

Luna speechless. Gadis bersurai lurus itu hanya menatap Rio tanpa kedip. Rasanya masih sama saat pertama kali Rio mengecup dahinya di kursi taman kota.

Seperti biasa, cowok berikat kepala itu akan memberikat sebuah tiupan agar tubuh Luna kembali bereaksi. Seperti biasa pula karena usahanya yang satu ini selalu berhasil.

"Ngelamunin apa, Na?" tanya Rio dengan lembut saat Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Tangan besar cowok berikat kepala itu terangkat, mengelus sisi wajah Luna dengan penuh kelembutan.

Oleh Luna, lengannya di turunkan. Pandangan gadis bersurai lurus itu menatap ke arah sekitar penuh waspada, membuat bibir Rio terangkat membentuk senyum tipis.

Hembusan nafas lega terdengar setelah Luna selesai mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Untung saja hanya ada dua siswa yang membelakangi keduanya sembari terus berjalan menjauh.

"Aduh. Kok dicubit, sih?" tanya Rio sembari mengelus perutnya, memandang Luna dengan geli. "Dicium lebih enak. Nih." Cowok berikat kepala itu menunjuk sebelah pipinya. Mengisyaratkan Luna agar memberi sebuah kecupan di sana.

Wajah Luna terasa memanas, tubuhnya kembali bereaksi tidak wajar. Untuk menutupi hal memalukan tersebut, Luna segera berlalu begitu saja. Melangkah dengan cepat sembari menundukkan kepalanya.

"Na!"

"Kok ditinggalin, sih? Disayang-sayang lebih enak!"

Langkahnya semakin bertambah cepat. Apa lagi saat ia menyadari jika Rio tengah berlari di belakangnya.

"Mrs. Omilar Cava!"

Luna hampir saja menghentikan langkahnya saat mendengar teriakan Rio. Panggilan macam apa itu? Aih, sepertinya Rio pantas mengikuti lomba membuat seorang gadis tersipu dengan cepat. Luna yakin Rio pasti akan memenangkan perlombaan tersebut dengan mudah.

"Kalo lagi sama aku, kamu nggak boleh ngelamun lagi, lho, ya," ceramah cowok berikat kepala itu saat ia sudah berjalan tepat di belakang Luna. "Nggak boleh senyum sembarangan juga ke orang lain. Kamu cuma bisa bebas senyum pas lagi bareng aku doang, karena pas sama aku nggak ada larangan senyum —"

Ocehan Rio terhenti saat punggung gadis bersurai lurus itu menempel di dada bidangnya. Terhempas ke belakang saat seseorang menabrak Luna tanpa sadar.

"Nggak pa-pa, kan?" Seperti biasa, menanyakan keadaan Luna selalu menjadi prioritasnya.

Bukannya menjawab, Luna justru menggenggam tangannya. Tampak lebih erat dari yang seharusnya. Rio yang merasa bingung mendongakkan kepala bersamaan dengan kebingungannya yang terjawab.

"Sorry, gue nggak sengaja," ucap William dengan tersenyum kikuk.

Cowok berikat kepala itu menoleh, menatap Luna yang semakin mengeratkan tautan tangan keduanya dengan memandang William penuh permusuhan.

Merasa Luna tidak menjawab, dan mungkin juga tidak berniat menjawab, Rio mengangguk maklum. "Santai aja. Tadi juga Luna jalannya sambil nunduk."

William menatap Rio sembari tersenyum tipis, suatu interaksi yang membuat Luna merasa bingung. Tatapan William tak sengaja mengarah pada tangan keduanya yang terlihat saling menggenggam. Sedikit membuat goresan kecil di hatinya sebenarnya, tapi William ingat betul ia bukanlah tokoh utama dalam hidup Luna.

"Kebetulan ketemu di sini." Cowok itu tampak mengambil sesuatu dari kantong seragamnya. "Last chocolate from me, for you," lanjut William sembari menyodorkan sebatang coklat.

Luna tak bereaksi, hanya menatap William dengan tatapan datar. Rio yang merasa tak enak menggoyangkan tangannya yang masih digenggam gadis bersurai lurus itu, berbisik pelan di sebelah telinganya. "Ambil."

"Na?" Rio kembali buka suara saat Luna masih saja diam.

Sedikit ragu dan terlihat tak ikhlas, Luna melepaskan genggamannya. Menjulurkan tangan dan menerima coklat pemberian William membuat cowok itu tersenyum lega seketika.

"Kalo gitu gue duluan, Bye." Merasa Luna tak nyaman dengan kehadirannya, William segera berjalan menjauh.

Gadis bersurai lurus itu mengangkat tangan Rio, menaruh coklat tersebut di sana, lalu segera bergegas menuju kelas tanpa mempedulikan teriakan cowok itu.

"Na!"

"Luna!"

"Disayang-sayang lebih enak, lho!"

"Dipeluk juga nggak kalah enak!"

"Beneran nggak mau, nih?!"

Ah, cowok itu masih saja berteriak tidak jelas. Untung saja tidak banyak orang di sini. Untung saja Rio tidak melihat pipinya yang merona dengan mudah hanya karena mulut manis cowok berikat kepala itu.

****

#bacotanAuthor

Jadi setelah ngamatin part-part sebelumnya, aku ngerasa narasinya kepanjangan dan belibet. Terus di part ini aku coba kasih narasi seperlunya, makanya chapter ini kelihatan pendek.

Sebenernya chapter ini juga cuma buat ngelurusin beberapa hal yang masih bengkok alias nggak lurus.

Beberapa hari lagi juga bakal PAS, jadi aku nggak tau mau up lagi kapan, karena aku ngerasa makin kesini makin ngebosenin. Terbukti dengan readers yang kabur-kaburan. Aku juga nggak sabar nulis konflik, semoga aja nggak goyah karena nggak tega. Harus damai dengan konflik. Belum konflik udah pada kabur, nggak tau lagi gimana klo udh masuk konflik😫

Oh ya! Belum lama ini aku baru nggeh kalo nama Rio itu sama kaya mantannya Mba Kekeyi. Tau gitu aku nggak pake nama itu, kan, sahabat wqwq. Terus juga nama Rio itu udah terlalu pasaran (sebenernya Luna juga iya sih), temen aku juga ada yang namanya Rio, nggak mau juga aku diledekin plagiat nama dia. Dan alhasil aku memutuskan nama itu karena ada alasannya.

Aku pake nama itu karena nama Rio itu salah satu tokoh cerita dalam novel yang masuk list fav aku. Bukan plagiat nama ya😭 Itu karena aku udah terlanjur jatuh cinta dan nggak bisa move on dari tokohnya. Begicu kawan-kawan.


Itu Rio tanpa ikat kepala again, jadi dia kelihatannya badboy dan sangar gicu, tapi malah dalamnya soft hue.



30-05-20.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.6M 142K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
3.4M 179K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...