BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

26. Tiga cahaya malam

62 9 0
By Listikay

Pergi adalah kata paling menyakitkan, pilihan paling menyesakkan yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Menyerbu begitu saja tanpa persetujuan.

***

Keraguan mulai mengintainya, tumbuh rasa tidak percaya yang menyita.

Yang Luna tahu, sebagian dari Rio seperti duplikat Hana versi laki-laki. Lalu, bagaimana bisa beliau bukan Ibu kandung Rio? Ah, Luna sempat mendengar jika anak angkat yang sudah diadopsi dari bayi terkadang bisa terlihat mirip dengan orang tua angkatnya.

"Mungkin kamu nggak percaya," lanjut Rio seakan membaca isi pikiran gadis bersurai lurus dalam dekapannya ini. "Makanya aku nggak pernah cerita sama siapa pun, karena kemungkinan besar mereka juga nggak akan percaya."

"Aku percaya karena kamu nggak mungkin bohong," sambar Luna cepat. Dengan kepala yang masih bersandar di lekuk leher Rio, ia sedikit mendonggakkan kepalanya. Sebelah tangannya terangkat, mengelus sisi wajah Rio tanpa mengubah posisi mereka. "Kamu orang baik, Yo."

"Ayah bukan orang tua kandungku," tutur cowok itu setelah menarik nafasnya dalam-dalam, kembali meneruskan ceritanya tanpa mengubris kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Luna.

"Rahasia itu tersimpan rapat selama enam belas tahun, bahkan aku tahu itu juga karna nggak sengaja denger apa yang mereka omongin, bukan dari mulut mereka yang ngomong langsung sama aku. Dan rasanya, kebohongan itu lebih menyakitkan dari kenyataannya."

Telinganya ia pertajam, tangannya tak henti mengelus rahang kokoh cowok berikat kepala biru terang itu. Rio memang terlihat tidak mewarisi paras Geralnd, hanya Reon yang terlihat mirip dengan beliau. Apa lagi paras kebuleannya.

Karena Rio terdiam cukup lama, ragu-ragu, Luna memutuskan untuk bertanya dengan hati-hati. "Tante Hana...?"

"Ibu kandungku."

Ternyata benar dugaan Luna. Ia tidak buta untuk mengetahui kelembutan dari Ibu dan anak yang hampir serupa itu.

Sekarang Luna tahu, jika Rio dihadirkan untuknya. Ia harap, hanya untuknya. Keduanya memiliki beberapa kesamaan yang mungkin merupakan sebuah alasan mengapa mereka bisa bersama seperti sekarang ini.

Contohnya saat ini, detik ini. Mereka sama-sama berharap semesta buka suara. Secepatnya. Menjawab semua kata tanya yang terus membuntuti kehidupan mereka.

"Tapi anehnya, Ayah yang bukan orang tua kandungku malah sejalan sama apa yang aku pikirin. Beda sama Bunda." Rio terdiam sejenak. "Mungkin itu salah satu alasan kenapa semuanya bisa tersembunyikan serapat itu."

Bisa Rio rasanya pergerakan Luna yang semakin mengeratkan pelukannya, juga lembutnya tangan mulus itu yang tak berhenti mengelus rahangnya. Menambah kebenaran jika bercerita dengan gadis yang amat berarti untuknya bukanlah sebuah kesalahan.

Luna mau membuka mulutnya tentang apa yang menjadi bebannya selama ini. Jika Luna saja seberani itu, kenapa ia tidak? Ya, meskipun awalnya sempat tak yakin dan sedikit ragu.

"Aku ini anak yang nggak diharapkan, anak kotor, anak haram...."

Rio sempat menegang saat Luna sempat mengira Leo anak haram. Faktanya, dialah anak haram yang sebenarnya.

"Enggak!" sergah Luna cepat. Sama sekali tidak setuju dengan apa yang diucapkan cowok itu. "Kamu nggak kayak gitu!"

"Tapi kenyataannya emang gitu, Na," jawab Rio terdengar sangat lirih. "Satu tahun aku dihantui kenyataan menyakitkan itu, satu tahun aku hidup nggak tenang, satu tahun aku ngerasa kosong, satu tahun aku ngerasa hidupku nggak guna sampai akhirnya aku ketemu kamu, Na."

Mungkin benar, sekarang Luna hanya berhak memasang telinga tanpa buka mulut. Sekarang ini, Rio hanya butuh didengarkan, dan juga pelukannya mungkin.

Ingin didengarkan tanpa mau mendengarkan, ingin dimengerti tanpa mau mengerti, ingin dilihat tapi tak mau melihat, ingin diingat tapi tak mau mengingat. Begitu, kan, manusia? Kadang sering lupa timbal balik yang setara. Luna harap, ia tidak pernah melupakan hal itu.

"Kamu yang bisa hapus pikiran kelam selam setahun itu tanpa diminta. Padahal kamu siapa waktu itu? Cuma orang asing." Hatinya seperti tersayat saat ini. Di saat Rio merasa berada di titik terendah yang tidak pernah ia duga, Helma yang berstatus sebagai sosok yang berarti justru memilih pergi begitu saja. Meninggalkan Rio sendirian dalam keterpurukan. "Cuma yang ternyata nggak sekedar cuma," lanjutnya.

"Aku sayang kamu."

"Terlalu banyak... orang yang ngelakuin itu ke Bunda sampai-sampai dia sendiri nggak tahu aku ini anak siapa..." Rio menjeda kalimatnya. "Tapi ada satu orang yang paling dominan, kemungkinan besar dia Ayah kandungku. Tapi gimana aku mau cari dia kalo nama dan wajahnya aja aku nggak tahu. Belum tentu juga setelah ketemu dia aku jadi merasa lega."

Tiga tahi lalat membentuk segitiga di pergelangan tangan, tepat di mana nadi berdenyut. Hanya itu yang Rio tahu tentang seseorang yang ia yakini Ayah kandungnya.

"Ayah udah pacaran sama Bunda dari SMA, saking cintanya sama Bunda, Ayah mau dengan senang hati nerima aku kayak anaknya sendiri." Rio sempat mendengar cerita Ayahnya bagaimana kisah orang tuanya dulu. Bagaimana mereka melukis cerita di kanvas kosong dalam lingkup putih abu-abu. Dari situ ia dapat menyimpulkan alasan Ayahnya mau menerima Rio sampai sekarang.

Rio sudah siap melanjutkan ceritanya kembali sampai tuntas saat suara isakan tertahan memenuhi indra pendengarannya, selanjutnya ia merasa lehernya basah. Tubuh gadis yang masih memeluknya sedikit bergetar.

Cowok berikat kepala itu mengangkat wajah Luna. Memaksakan tatapan mereka bertemu di dimensi yang sama. Tangan besarnya bergerak pelan, menghapus cairan bening yang berhasil mengalir di pipi Luna. "Aku cerita bukan buat ini, Na."

Luna terlalu egois sampai-sampai ia berpikir jika dirinyalah gadis paling menyedihkan yang mempunyai masalah dengan batasan waktu di luar rumah. Tidak menyangka jika di balik kelembutan Rio, menyimpan beban yang terlampau berat sampai-sampai ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya di posisi cowok itu.

"Sakit," rintih gadis itu di sela-sela tangisnya sembari memeganggi dada. "Sesek."

Rio kembali mendekap Luna sembari mengelus punggung gadis bersurai lurus itu. "Makanya kalo nangis jangan sering ditahan," pintanya lembut. "Sebenernya aku nggak mau bikin kamu nangis, tapi kalo udah begini mau gimana lagi. Nangis aja, jangan ditahan."

Seakan mendapatkan sebuah perijinan, tangis Luna bertambah pecah. Bersama bulan dan taburan bintang yang seolah mempersilahkan mendatangkan hujan dalam dirinya.

Benar kata Leo dan Rio, ia memang sering menangis tertahan sampai-sampai dadanya terasa sesak. Itulah salah satu alasan mengapa Luna selalu mencari Leo saat ia sedang menangis, karena hanya dalam pelukan Leo-lah tangis Luna bisa terasa bebas dan tenang. Dan sekarang, ada satu pelukan lagi yang terasa serupa dengan pelukan Leo. Pelukan yang mungkin lebih bermakna dan tidak pernah sirna.

Harusnya ia menenangkan Rio agar tidak tenggelam dalam kesedihan, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Keluarga yang ia kira harmonis dan selalu menyimpan kehangatan di dalamnya, ternyata tidak seperti kelihatannya.

"Aku juga sayang sama kamu. Masa cuma karena aku nggak nyaut omongan kamu yang itu, kamu jadi nangis, sih?"

Luna benar-benar tidak mengerti bagaimana jalan pikiran cowok itu. Ia lantas mencubit perut cowok berikat kepala biru terang dengan masih sesenggrukan. Semakin tidak mengerti saat Rio justru terkekeh pelan.

Luna yang mendengar cerita Rio saja sampai menangis begini, tapi kenapa Rio yang notabenenya memiliki cerita tersebut malah sempat-sempatnya berucap ngawur.

Ah, Luna sampai lupa kenapa ia mengucapkan kata tersebut tadi. Kalo begini ia juga yang terkena imbas harus menahan malu. Rasanya Luna ingin sekali mengutuk mulutnya yang kadang sering berucap tanpa sadar.

Sebelah lengan gadis bersurai lurus itu kembali terangkat, mengusap rahang Rio dengan lembut. Tangisnya sudah mulai mereda, tetapi pipinya belum mengering. Sama seperti beban yang cowok itu rasakan, mungkin bebannya akan mengering jika cowok berikat kepala itu sudah menemukan jawabannya.

Masih ada beberapa pertanyaan yang memenuhi pikirannya, mengganjal dengan cara kurang menyenangkan. Oleh alasan yang jelas itu, Luna mendonggakkan kepalanya dan bertanya ragu-ragu. "Kamu... tahu itu semua secara nggak sengaja?"

"Iya," jawab cowok itu sembari mengeratkan pelukannya. Menghirup aroma strawberry yang menguar dari surai lurus itu. Sangat menenangkan. "Mereka nggak pernah cerita apa pun ke aku."

"Tapi, kenapa bisa sedetail itu?"

Bukannya tidak percaya, hanya saja terasa aneh karena kenyataan yang tidak sengaja Rio dengar bisa sebanyak itu.

"Waktu itu, hampir setiap tengah malam mereka ngomongin itu. Kelihatan aneh karena fakta pahit di masa lalu harus diungkit-ungkit lagi saat mereka ngira kalo dua anaknya udah tidur." Rio menjeda kalimatnya sejenak. "Mereka nggak pernah tahu kalo ada salah satu anaknya selalu kebangun karena dengar apa yang mereka omongin. Mereka nggak tahu kalo setelah itu aku nggak bisa tidur dan mikirin semua itu."

Seolah seperti muara sungai yang tak pernah kehilangan air, kelopak mata Luna kembali mengeluarkan mutiara bening dengan deras.

"Aku nangis waktu itu, Na," lanjut Rio lagi. "Sedih banget rasanya, pengen marah sama mereka. Tapi nggak bisa." Suara cowok itu terdengar serak. Terlalu jelas jika di balik kalimatnya menyiratkan kesedihan yang terpendam selama setahun. "Aku cuma diem, sok-sokan baik-baik aja dan nggak tahu semuanya kayak orang bego."

"Si —siapa yang ngelakuin hal kayak gitu ke Bunda kamu?"

"Aku nggak tahu, Na," jawab Rio lirih. Suaranya masih terdengar serak. "Setelah denger semuanya, kamu masih mau sama anak haram kayak ak —,"

"Ngomong apa, sih?!"

"Ngomongin kenyataan," jawab Rio santai. Aneh sekali cowok itu, tadi terdengar sedih. Setelah itu ngawur, sedih lagi, dan sekarang malah santai begitu.

"Tapi aku nggak suka kamu ngomong gitu!"

"Tapi aku suka," sahut Rio cepat dengan memasang wajah serius.

Luna semakin tidak mengerti dengan Rio. Ia lantas melepaskan diri dari kungkungan lengan besar cowok berikat kepala itu. Menatap tajam dengan wajah sembab. "Suka apa?!"

"Suka kamu."

Dengan pipi memanas dan degup jantung yang menggila, Luna menjulurkan tangannya. Mencubit perut cowok itu untuk yang kedua kalinya. Bedanya, sekarang ini lebih kencang dari yang sebelumnya.

Bukannya mengaduh, Rio justru terkekeh dan memandang Luna dengan geli. "Yang namanya pacar harusnya disayang-sayang dong, Na. Dielus-elus gitu, bukannya disiksa begini."

Luna tak menangapi ucapan Rio. Cowok itu dengan tidak tahu diri sudah membuatnya terbang dengan perasaan bercampur kesal. Benar-benar menyebalkan!

Ia lantas kembali meraih snacknya, memakannya dengan kunyahan kuat yang membuat cowok berikat kepala biru terang itu kembali terkekeh.

Gadis bersurai lurus itu terkesiap saat Rio menangkup wajahnya, kunyahannya terhenti seketika. Rio memintanya menatap cowok itu. Sentuhan lembut menyapa kedua pipinya.

Cowok berikat kepala biru terang itu tampak menghapus air mata yang masih betah di sana. "Kayaknya kamu nggak suka pake blush on deh, Na."

Emang, woy!

Ah, dasar cowok tidak tahu diri! Padahal dia sendiri yang sering menciptakan blush on alami di pipi putih Luna. Ia pikir cahaya temaram berhasil menyembunyikan ronanya, tapi ternyata tidak. Jika begini, Luna ingin lenyap saat ini juga. Menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

"Jangan pergi, ya?"

Suara itu seakan terdengar penuh harapan. Tatapan Rio berubah sendu di bawah langit ramai dengan cahaya temaram.

'Pergi' adalah kata paling menyakitkan, pilihan paling menyesakkan yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Hanya satu kata, tapi sayangnya terdengar sangat menakutkan di antara ketakutan-ketakutan lainnya. Menyerbu begitu saja tanpa persetujuan.

Refleks, Luna menganggukkan kepalanya. Tanpa perlu menunggu, tubuhnya sudah ditarik begitu saja. Membuatnya terjebak dalam aroma familier yang menenangkan itu, terkurung dalam lengan besar yang selalu melindunginya. Dalam suasana hangat yang tercipta di malam penuh bintang.

Di tempat lain, Leo yang tengah keluar rumah membulatkan mata saat melihat keduanya tengah enak-enak berpelukan di atas pagar pembatas. "Lah, si Jamet. Dicariin dari tadi malah pacaran! Dasar adik durhaka!" Daripada jiwa jomblonya keluar dengan cara menyesakkan, lebih baik ia segera bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Pilihannya jatuh pada kasur empuk yang bisa diajak pacaran, setidaknya itu lebih baik. Masih bisa diajak ndusel-ndusel manja meskipun tidak nyata.

"Kamu masih sedih?"

"Sedih kenapa?" tanya Rio santai sembari terus menghirup aroma strawberry yang membuatnya candu.

"Itu..." Luna tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tangannya sudah tidak lagi memengang snack cemilan.

"Enggak," jawabnya yakin. "Kan, udah ada kamu. Ngapain sedih segala."

Tanpa dikomando, bibirnya terangkat membentuk senyuman. Jika boleh menyimpulkan, Rio adalah sumber segudang kehangatan dan kelembutan untuknya.

Tidak pernah ia merasa sebahagia itu sebelumnya. Tidak pernah ia merasa bunga-bunga kuncup di hatinya bermekaran dengan subur dan mengundang sekelompok kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Sangat menyenangkah bahkan.

"Rio," panggil Luna dengan kepala yang sedikit mendonggak. Ia lantas kembali menundukkan kepalanya, tak mau berlama-lama menatap Rio dari bawah. Mau dari samping atau bawah, tetap sama saja menurutnya. Sama-sama berbahaya.

"Hmm?" gumam cowok itu dengan mata terpejam, mengeratkan pelukannya saat angin yang cukup kencang menerpa mereka.

"Kemarin aku liat instastory Justin, dia lagi liat kembang api," tutur Luna memberi tahu. Kepalanya sudah kembali ia tenggelamkan di ceruk leher cowok berikat kepala biru terang itu.

Luna memang ingin bercerita perihal idola kepada Rio, dan sepertinya sekarang waktu yang tepat. Ia ingin mencari topik perbincangan lain agar cowok yang tengah mendekapnya ini tidak perlu bersedih lagi.

"Terus?"

"Aku jadi pingin."

"Pengen apa?" Tangannya yang sedikit berotot beralih mengelus surai lurus itu yang dikucir kuda. Lebih halus dari yang ia bayangkan ternyata.

"Lihat kembang api."

"Sama Justin?"

"Sama kamu!" jawab gadis bersurai lurus itu dengan semangat. Ia lantas melepaskan pelukannya dan meraih kaleng cola. Menenggaknya dengan Rio yang terus memandang ke arahnya. "Mau nggak?" tanya Luna memastikan tanpa menoleh. Bukan menawarkan colanya, melainkan meminta kepastiaan perihal keinginannya.

Tiba-tiba, sebuah suara ledakkan menggelegar menaunggi langit. Seakan berloma menunjukkan siapa yang paling terang di antara bulan dan ribuan bintang.

Luna terlonjak, kaleng colanya jatuh begitu saja dengan isi yang masih setengah. Ia juga nyaris terjatuh menyusul kaleng cola jika Rio tidak dengan sigap menahan tubuhnya. Wajah kagetnya mendominan, seperti orang ling lung yang lupa jalan pulang.

Setelah memastikan jika gadisnya baik-baik saja, Rio terkekeh geli. "Kaget banget, ya?"

Karena gadis bersurai lurus itu hanya diam, Rio mengarahkan kepala Luna agar menghadap ke langit yang kali ini terlihat lebih indah dari semula. "Itu jawabannya."

Seakan tak percaya, Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Menatap kembang api yang tampak indah menghiasi langit. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia menolehkan kepalanya ke samping. Memandang Rio yang tengah menunjukkan senyumannya yang kelewatan manis. Tidak serupa, melainkan lebih indah dari senyum milik Justin Bieber.

Luna kembali menatap langit, tersenyum lebar dengan rona bahagia yang memancar layaknya anak kecil yang berbinar menatap penjual ice cream.

Bagaimana mungkin keinginannya terwujud secepat itu? Ia harus berterima kasih dengan seseorang yang menyalakan kembang api tersebut malam ini.

"Cakep banget!" pekiknya girang.

"Cakepan yang di atas atau yang di samping?"

"Samping!" jawab Luna tanpa sadar. Ia jadi seperti anak kecil yang jika diberikan pertayaan selalu memilih pilihan ke dua karena pilihan kedua merupakan pilihan terakhir yang masih tersimpan dengan jelas di ingatan.

"Eum, jawaban memuaskan," timpal Rio dengan senyumannya yang tak luntur.

Luna sama sekali tidak menyadari apa maksud Rio. Ia terlalu bersemangat memandang kembang api dengan kepala mendonggak ke atas.

Malam itu, dua pasang manusia sama-sama menciptakan lengkungan indah. Tidak lagi terpaku dengan beban yang mengelanyuti. Menikmati dengan pasti tiga cahaya malam yang menghiasi langit dengan semilir angin sebagai pelengkapnya.

— End —






























































































































































































































Tapi boong hehe.

Sebagai permintaan maaf karena udh boong, nih ada yang manis-manis.

Anggap aja Rio klo lepas iket kepala. Atau anggap saja, dia masa depanku....🤣

19-05-20

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 146K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
445K 48.3K 22
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...
824K 62.1K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
483K 18K 32
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...