BLUE [Completed]

Listikay द्वारा

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... अधिक

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

19. Tertangkap basah

90 19 0
Listikay द्वारा

Jika boleh jujur, sekarang Luna sedang gugup. Sangat. Rasanya ia seperti sedang berhadapan dengan Justin Bieber, antara senang bukan main dengan degup jantung yang kembali menggila. Apalagi saat Rio terus memandangnya. "Bo-boleh tanya sesuatu?"

Luna berharap ia bisa mengutuk mulutnya yang mendadak menjadi memalukan begini saat Rio memandangnya dengan senyuman lebar. Cowok itu memandangnya geli dan bertanya lembut. "Apa?"

"Helma..." Luna tak kuasa terus ditatap sedalam itu. Atas dasar malam yang membahagiakan ini, ia menundukkan kepalanya. Tak mampu melanjutkan kalimatnya dan memilih memilin ujung baju yang dikenakannya.

"Dia salah satu orang yang ada di alam semesta, yang artinya harus dapet bagian dari bulan yang dibagi-bagi. Tapi..." Oleh Rio, dagunya diangkat. Membuat tatapan mereka bertubrukan dalam tingkat bahagia yang mungkin serupa. "Dia nggak berhak dapet bagian dari bulan yang udah jadi milik kamu."

Luna tak masalah jika degup jantungnya sekarang tidak normal. Tapi ia juga tak akan membiarkan telinganya ikut tertular dan tidak berfungsi dengan benar.

Semakin ingin lenyap saja Luna saat menyaksikan senyum Rio yang terlihat permanen, tidak pernah hilang dan luntur saat Luna justru terlihat seperti orang bodoh. Semakin memuncak lagi saat ia merasakan sesuatu yang menjalar hangat bermula dari dahinya yang dikecup amat lembut oleh cowok berikat kepala biru terang itu.

Sebuah perintah tanpa sadar membuat gadis bersurai lurus itu menubruk pria berikat kepala di sampingnya ini, yang berhasil menumbuhkan rasa bahagia terlalu dalam. Menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas di dada bidang penuh kehangatan ini.

Luna tidak mau mengambil resiko perihal Rio yang menanyakan rona merah di pipinya. Itu terlalu memalukan.

Cowok berikat kepala biru terang itu sempat terteguh, sebelum akhirnya tergelak dan memeluknya lebih erat. Memunculkan kembali rasa hangat dan euphoria yang meluap.

"Tapi Helma..." Tak bisa dipungkiri jika rasa takut sering menguasai Luna tanpa henti.

Sebuah suara lembut mengalun dengan begitu indah di telinganya, terdengar lebih bagus dari suara sang idola yang tak lagi menjabat di hatinya. "Besok kita buktiin siapa dia dan siapa kita."

Luna tak tahu jawaban lain selain mengangguk dan melanjutkan menghirup aroma maskulin cowok berikat kepala ini.

Keduanya memilih diam selama beberapa menit, menyalurkan rasa bahagia di tengah sinar bulan dan bintang yang tak meredup sedikit pun. Seolah ikut merasakan makhluk bumi yang sedang diterpa angin besar penuh senyuman.

Entah bagaimana ceritanya, pelukan mereka sudah terlepas begitu saja. Luna sudah kembali duduk tegak dengan kepala menunduk, sedikit menyesal karena rambutnya yang cepol oleh Rio menjadikannya tak bisa menyembunyikan wajah sepenuhnya.

Suara kekehan halus terdengar. "Jangan nunduk terus gitu dong."

"Jangan lihatin terus makanya," sahut Luna pelan, hampir seperti sebuah bisikan.

Merasa sedikit aneh karena ia tidak mendapatkan respon apa pun, Luna memberanikan diri mengangkat kepalanya sedikit. Matanya menilik penuh waspada, lantas kembali menundukkan kepalanya lagi dengan cepat karena Rio masih saja memandangnya.

Cowok itu tergelak sebelum akhirnya menyodorkan tangannya di hadapan Luna, gadis bersurai lurus itu menerima uluran tangan Rio dengan malu-malu yang kembali menimbulkan tawa khas cowok berikat kepala itu.

Dengan kepala yang masih tertunduk, Luna bisa mendengar dengan jelas kalimat cowok itu. Yang rasanya membuat ia ingin lenyap saat itu juga. "Yahh... udah minta digandeng aja, nih. Tapi bentar, aku mau minjem hp sebenernya. Habis itu nanti kita gendengan, deh."

Sepertinya telinga Luna tidak memiliki gangguan. Dan mungkin memang Rio sudah mengganti pola kalimat panggilannya menjadi aku-kamu. Sialnya terdengar sangat manis di telinga gadis bersurai lurus itu.

Luna melepaskan tangannya dengan cepat. Sebelum tangannya benar-benar terlepas, ia menyempatkan diri mencubit lengan Rio dikarenakan ulahnya yang sudah membuat Luna malu bukan main.

Rio mengaduh sembari menerima ponsel Luna yang sudah disodorkan gadis bersurai lurus itu. Memulai wajah serius saat ia mengotak-atik ponsel Luna.

"Mau ngapaian?"

Rio tidak menjawab, cowok itu justru mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan di hadapan Luna.

Dengan lipatan dahi yang begitu ketara, Luna mengambil ponsel Rio bersamaan suara cowok berikat kepala yang berusaha menjelaskan. "Sekarang, kita harus ngirim pesan ke Justin Bieber sebanyak-banyaknya."

"Hah?"

"Iya, kita kasih tahu dia," lanjut Rio seraya membuka instagram Luna dengan wajah serius. Ia sempat terteguh saat membuka filtur instagram pojok kanan atas. Ternyata gadis yang sudah menjadi miliknya ini sering kali mengirimkan rentetan pesan pada pria yang sudah beristri itu.

"Kasih tahu apaan?"

Rio mulai mengetikkan sesuatu dan membacakan apa yang ia tuliskan di sana. "Hi Justin! How are you? I am better than before because now I have a partner. She is very funny when she's shy."

Luna masih saja terlihat bingung dengan pipi yang memanas, tidak mengerti jalan pikiran cowok itu. Mengapa juga mereka harus memberi tahu Justin yang jelas-jelas tidak akan membaca pesan yang dikirimkan nantinya.

"Jadi gini." Rio kembali membuka suara, masih sibuk dengan ponsel Luna. Mengirimkan pesan sebanyak-banyaknya dengan isi yang sama. "Ada dua hal yang nggak bisa jauh-jauh dari perasaan manusia." Kali ini cowok berikat kepala biru terang itu sudah menatapnya. "Seneng... dan sedih. Perasaan seneng kebanyakan lebih cenderung tak tertutupi, selalu ditampakkan dengan mudah. Tapi kalo sedih, pasti selalu ditutup-tutupi, kan?"

Luna mengangguk. Meski belum sepenuhnya mengerti dengan arah perbincangan cowok itu.

"Lebih milih nampakin diri dengan kelihatan baik-baik aja padahal nggak lagi baik-baik aja. " Rio menjeda kalimatnya. "Kamu sekarang seneng nggak?"

Pertanyaan Rio tidak Luna jawab, karena ia yakin Rio sudah tahu jawabannya. Samakin terbukti saat cowok berikat kepala biru terang itu mengulumkan senyum dengan mengusap puncak kepalanya penuh kelembutan.

"Karena kita lagi seneng, jadi udah sewajarnya kalo kita mengekspreksikan perasaan yang sekarang ini. Ngasih tahu seluruh Dunia bukan solusi yang tepat."

Luna hampir saja tertawa mendengar kalimat terakhir cowok itu.

"Jadi kita cukup kasih tahu Justin Bieber aja, biar nggak ribet juga."

Rio selalu memiliki cara yang tak terduga. Cowok itu memang terlihat berbeda dengan cowok lain di luar sana yang pernah ia temui sebelumnya.

Mulai dari bagaimana cara Rio tersenyum padanya, mengajaknya berbicara, memperlakukannya dengan begitu lembut, memeluknya penuh kehangatan, menyelipkan nomor ponselnya di rambut Luna, dan mungkin juga seperti sekarang ini. "Tapi dia nggak mungkin —,"

"Nggak masalah," sela cowok itu.

Luna tersenyum, terlampau lebar untuk disebut senyuman biasa. Ia mulai membuka ponsel Rio yang sudah berada di tangannya. Melakukan hal yang sama dengan cowok itu.

Semesta harus tahu, jika malam ini merupakan malam paling bersejarah baginya. Jauh lebih mengesankan daripada malam-malam sebelumnya selama ia dilahirkan di Bumi. Dengan cowok berikat kepala biru terang yang menjadi alasannya. Yang mungkin saja sudah menjadi bagian dari dirinya, dari perjalanannya.

***

Di pagi hari yang begitu indah, Luna mendadak menghentikan langkahnya di ambang pintu kelas. Merasa heran dengan Rio yang sudah berada di kelas pagi-pagi begini. Biasanya, Rio dan Bejo lebih memilih berangkat di jam yang sudah mepet.

Dan kali ini ia tidak mengerti dengan benar alasan cowok berikat kepala itu berangkat lebih awal. Luna tahu hari ini kelasnya sedang free pekerjaan rumah.

Sebuah alasan terlintas di otaknya, membuat gadis itu memutar wajah. Meneliti dengan kehati-hatian pada jadwal piket yang tertempel di dekat pintu. Ternyata bukan itu alasannya, karena Rio tidak mendapat jadwal piket hari ini.

Dirasa tidak segera menemukan jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuju bangku paling menyenangkan yang pernah ia dapat.

Rio memandangnya dengan senyuman, yang dibalas Luna tak kalah lebar. Setelah mendudukkan diri, Rio menyodorkan permen karet di atas mejanya yang berhasil menciptakan kerutan di dahi gadis itu. Hanya sesaat karena wajah merekahnya sudah mengambil alih. "Wahh, makasih."

Dove menolehkan kepalanya, lalu beranjak berdiri. Memposisikan dirinya di sebelah Luna dan membisikan sesuatu diikuti tatapan heran milik Rio.

"Sekarang gue percaya apa yang Lo omongin kemaren, Lun," bisik Dove.

"Yang mana?" tanya Luna bingung.

"Yang kata Lo, Rio aneh. Itu emang bener, sih. Mana pernah dia berangkat pagi bener, sebelum gue sampe di sekolah malah. Terus masa dia tiba-tiba ngasih gue coklat. Aneh banget, kan?"

Aneh yang dimaksud Luna saat itu bukan seperti apa yang ada di pikiran Dove sekarang sebenarnya.

"Tapi Lo suka, kan?"

"Iya sih." Jawaban Dove kali ini tanpa perlu berbisik. Menunjukkan deretan gigi putihnya sebelum kembali ke tempat duduk cowok bergelang karet itu.

Rio mendekatkan kepalanya sembari memandang punggung Dove. "Ngomong apa dia?" tanyanya ikut berbisik.

"Enggak," sahut Luna cepat. Merasa canggung karena jarak mereka terlampau dekat.

Rio tak menanggapi lebih jauh, memposisikan kembali tubuhnya seperti semula. Tentu saja diamnya cowok itu menimbulkan rasa heran untuk Luna.

Luna menatap Rio dari samping penuh tanya, sebelum akhir menggoyangkan lengan cowok berikat kepala itu lebih kencang dari yang seharusnya.

"Apa?"

Anehnya, Luna tak tahu ingin mengatakan apa saat Rio menolehkan kepalanya cepat. "Nggak pa-pa."

Sebelah alis Rio terangkat, memandang Luna tak mengerti. Memilih tak peduli, cowok itu memainkan ponselnya sembari memikirkan sesuatu.

Dari mana Luna mengetahui Helma? Yang Rio tau mereka memang pernah bertatap muka, hanya itu. Bahkan mereka belum sempat memperkenalkan diri.

Cowok berikat kepala itu terkesiap, lengannya kembali diguncang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Luna. Gadis dengan surai lurus yang selalu membuatnya hampir gila. Sampai-sampai ia bisa bangun pagi dan menyempatkan diri manghentikan laju sepedanya di mini market hanya untuk membeli sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

"Kamu ngapain, sih?"

Luna menekuk mukanya masam, yang justru terlihat mengemaskan di mata Rio.

"Kamu mau apa, heum?" tanyanya kemudian dengan begitu lembut, menahan tangannya yang terasa gatal untuk tidak menyentuh gadis di sampingnya ini.

"Aku... mau kamu."

Jawaban yang terdengar penuh malu-malu itu berhasil membuat Rio tergelak dan mengusap lengannya yeng begitu lembut. "Iya, kan, sekarang aku udah jadi punya kamu ini."

Masih ingat, kan, jika Luna sering kali mengikuti gaya bahasa lawan bicaranya? Seperti sekarang ini contohnya. Rio kira, Luna yang terlihat liar ini harus dibujuk dulu agar memanggilnya dengan pola kalimat yang sama.

"Tapi kamu sibuk sama hp, kan?"

Luna tidak tahu sejak kapan Rio lebih suka menyibukkan diri dengan ponselnya, padahal ia sangat jarang melihat Rio memainkan ponselnya.

"Buset, gila, anjing najis!"

Serangkaian umpatan yang disusul tawa menggelegar membuat keduanya menoleh dengan wajah memanik. Ini tidak benar, Bejo biasanya datang dengan berteriak. Tapi kenapa kali ini tidak? Setidaknya Rio masih bisa bersyukur, karena teriakan Bejo tidak membuat gaduh seisi kelas.

"Woy —,"

Rio dengan cepat beranjak dari duduknya, mencondongkan tubuhnya dan membekap mulut Bejo dengan cepat. Sebelum Bejo memberontak lebih jauh, Rio berucap penuh penekanan. "Diem kalo Lo mau pomade gratis!"

Ia lantas melepaskan tangannya, mengambil pomade di loker yang sudah ia siapkan sebelumnya. Rio melemparkannya yang langsung ditangkap Bejo dengan senyuman.

"Satu doang?" tanya cowok berambut klimis itu tak tahu diri.

"Bukannya bilang makasih."

"Ngapain bilang makasih kalo cuma satu doang?"

"Sialan, Lo!"

"Ri." Dove membalikkan badan. "Sebenernya gue nggak butuh ini," ujarnya sembari mengangkat coklat di tangannya. "Mending Lo kasih cewek Lo aja."

Sial, Dove mendengarnya juga ternyata. "Luna nggak suka coklat," jawabnya tanpa sadar sembari kembali mendudukkan diri.

"Wow, beneran ternyata."

"Beneran apa?" tanya Rio dengan menaikkan sebelah alisnya. Dari tadi Luna hanya diam, memilih menyimak tanpa buka suara. Merasa beruntung karena tidak ada reaksi tubuhnya yang tak biasa. Jika sampai hal itu terjadi, sudah dipastikan Dove dan Bejo akan meledeknya habis-habisan.

"Beneran pacaran! Aku-kamuan lagi ckck."

"Serah guelah!"

"Iya, serah yang udah nggak jomblo aja." Dove memasang wajah serius. "Sebenernya ya, gue lebih butuh penjelasan Lo berdua daripada coklat ini."

"Fyi, biasanya sih hubungan yang dilalui dengan menistakan kaum jomblo bakal cepet kandas." Bejo mengompori.

"Menistakan apa lagi, astaga!" Rio mengusap wajahnya secara kasar.

"Harusnya Lo ngasih lebih dari ini kalo udah beneran pacaran," jawab Bejo sembari memutar-mutar pomade di tangannya.

"Bener-bener nggak tahu makasih ya, Lo!"

Bejo tertawa puas saat menyaksikan wajah Rio yang memerah. "Just kidding, Man. Sensian, Lo! Tapi apa yang Dove bilang emang bener. Buru cerita, gih!" perintah Bejo sekenanya yang diangguki Dove dengan semangat.

Beberapa menit kemudian, hening menyelimuti lingkup keempat orang tersebut.

"Basi, Lo!" sunggut Bejo dan Dove secara kompak saat Rio sama sekali tak membuka mulutnya. Apalagi Luna.

"Nih anak dari tadi diem aja lagi! Mentang-mentang udah ada yang belain."

Luna tak menjawab, matanya menatap tajam ke arah Dove bertepatan bel masuk yang berbunyi disusul seorang guru yang memasuki kelas. Memaksa mereka untuk tidak lagi memojokkan Rio dan Luna.

Bukannya Rio menolak semua orang mengetahui sebuah bahagianya, tapi ia hanya menjalankan apa yang Luna inginkan. Lagi pula menurut Rio, saran Luna sangatlah menarik. Untuk apa mengumbar sesuatau yang tidak tahu bagaimana kedepannya?

***

Mungkin benar apa yang dikatakan Rio beberapa hari lalu, jika Luna sudah tidak lagi memanjat pohon jambu biji milik Bu Ndar akhir-akhir ini.

Jadi, setelah pulang sekolah bersama cowok berikat kepala itu, Luna memutuskan untuk kembali melakukan kegiatan menyenangkannya yang terlupakan begitu saja.

Tanpa diperintah, Rio sudah lebih dulu naik ke atas. Disusul Luna yang gerakannya lebih gesit daripada cowok itu.

Luna senang jika mengajak Rio sekaligus naik ke pohon ini, karena tangannya yang lebih panjang dari Luna memudahkannya menjangkau jambu-jambu mengiurkan.

"Tolong dong, yang itu ambilin," pinta Luna sembari menunjuk jambu incarannya.

Rio mendongakkan kepalanya sebelum menjulurkan tangannya dan memetik jambu tersebut dengan mudah, menyerahkannya pada Luna yang langsung diterima gadis bersurai lurus itu dengan senang hati.

Cowok berikat kepala itu bergidik menatap Luna. Gadis bersurai lurus di hadapannya tampak begitu rakus memakan jambu di tangannya tanpa dicuci terlebih dahulu. Hanya sempat membersihkan semut kecil yang menempel di sana, selebihnya tidak ada lagi. "Dicuci dulu kali, Na."

"Kelamaan," sahutnya sembari mengigit kembali jambu curiannya. "Oh, ya. Kata kamu banyak jambunya. Mana? Orang dikit gitu," lanjutnya kemudian dengan mulut tak henti mengunyah dan pandangan yang menatap rimbunnya pohon jambu.

"Habis dipetikin sama yang punya mungkin."

"Hmm, terbukti pelitnya," gumam Luna membuat Rio mengulaskan senyum tipis.

"Emang yang punya pohon jambu ini orangnya kayak gimana, sih, Na? Kok aku nggak pernah lihat," tanya Rio penasaran.

"Sama kayak namanya, bulet dia."

Sontak, Rio tertawa mendengarkan kalimat Luna yang terkesan blak-blakan.

"Udah badannya gede, banyak lemak, pendek, item. Ya gitulah pokoknya," lanjut Luna lagi. Lebih terkesan menghina daripada mendeskripsikan rupa seseorang.

"Emang namanya emang gitu, ya?"

"Aslinya sih namanya Ndari, tapi nggak ada tuh yang manggil dia gitu. Kalo orang pada manggil ya Bu Ndar. Biasanya, kalo dia diomongin nanti tiba-tiba muncul tau." Suara Luna seakan sudah seperti Ibu-ibu kompek yang demen ghibah.

"Ah, masa? Emang dia cenayang?" Rio kembali bertanya, memancing. Ia suka melihat Luna bercerita seperti itu. Apalagi dengan mulut yang mengembung.

"Bisa jadi."

Menurut Luna, memakan buah yang dipetik langsung dari pohonnya sangatlah nikmat. Apalagi jika dimakan di atas pohon begini. Menyadari jika dari tadi Rio hanya memperhatikannya, ia lantas menyodorkan jambunya yang tinggal setengah. "Mau?"

Rio menggeleng pelan, membuat Luna menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Takut sakit perut? Ah, cemen!"

Jika Rio boleh menyimpulkan, gadis di hadapannya ini memang seperti tidak berakhlak. Tapi anehnya ia bisa jatuh hati begitu mudah. Setelah mengenal Pamela, Rio rasa beliau tidak memiliki sifat seperti Luna. Sementara Darma? Ya walaupun ia belum begitu mengenal beliau, tapi sepertinya Darma yang terlihat garang juga tidak mungkin seperti Luna.

"Kalo dia canayang, kenapa kamu nggak pernah ketahuan?"

"Pernah kok, dulu sering malah. Sampe heran, jangan-jangan di pohon ini ada cctv," jawabnya sembari menembus masa lalu.

"LUNNAAA!"

Keduanya terlonjak. Luna tersedak dan jambunya yang masih tersisa jatuh begitu saja, hampir terjungkal jika saja Rio tidak menahan tubuhnya.

Ternyata, suara itu berasal dari sesosok wanita paruh baya seperti yang sempat Luna gambarkan. Berkacak pinggang dengan tubuh gempalnya.

"TURUN KAMU!"

Sebelum kalimat itu memasuki indra pendengarannya, Luna juga sudah tahu jika hal itu yang harus dilakukannya sekarang. Ia bergegas turun saat acara tersedaknya sudah selesai dengan cepat, masih sempat berucap disela-sela kegiatannya. "Tuh, kan, dia muncul beneran."

Rio menyusul turun, ia cepat-cepat meraih ranselnya dan menaiki sepeda. Tanpa perintah, Luna sudah berdiri di belakangnya saat cowok berikat kepala itu sudah mulai mengayuh dengan kecepatan maksimal.

Bu Ndar berteriak tak terima sembari berusaha berlari, yang justru menimbulkan tawa bahagia milik Luna. "Bu Ndar semangat, ya! Sekalian nurunin berat badan," ujarnya kembali tertawa.

Rio membuat zig-zag laju sepedanya, hanya untuk melihat hal yang bisa menciptakan tawa Luna dengan begitu mudah. Ia ikut tertawa, sedikit takut dosa sebenarnya. Tapi tawanya juga tidak bisa ditahan begitu saja, apalagi saat mendengar tawa Luna yang begitu lepas.

"DASAR BOCAH KURANG AJAR!"

Semakin kencang tawa keduanya melihat Bu Ndar yang melempar sebelah sandal jepitnya. Jarak mereka dan beliau sudah cukup jauh, jadi sangat tidak mungkin sandal khas warung itu mendarat di kepala Luna.

Kadang tawa bisa muncul dalam hal yang mengikat kata sederhana. Tapi di waktu lain, senyum penuh dusta tidak mampu singgah sejenak dalam ruang luka.

****

28-04-20

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

MAHESA anotherfavgirl23 द्वारा

किशोर उपन्यास

574K 44.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
Monster Tyrant [END] Nursida122004 द्वारा

किशोर उपन्यास

1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
MARSELANA kiaa द्वारा

किशोर उपन्यास

1.8M 85.9K 39
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
HERIDA Siswanti Putri द्वारा

किशोर उपन्यास

641K 25K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...