BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

18. Bulan di hidupku

80 19 4
By Listikay

Rio memandang jalanan dari balik kaca dengan kecemasan yang membuncah.

Mendung. Tidak ada notifikasi apa pun di ponselnya. Padahal pesan dari gadis bersurai lurus sangat ia tunggu-tunggu.

Di hadapannya, Helma tak berhenti mengoceh. Menceritakan hal apa saja yang menurut gadis itu menarik sembari sesekali meneguk vanilla lattenya.

Rio tidak mengerti dengan benar apa yang dikatakan gadis itu, karena rasanya hanya tubuhnya saja yang berada di sini. Sementara pikirannya berterbangan jauh di luar sana.

Diam-diam, ia mengetikkan pesan untuk Luna di bawah meja. Tangan kirinya berada di atas meja, sesekali ia menganggguk atau tersenyum kecil menanggapi ocehan Helma agar gadis itu tidak tahu jika ia tengah mengotak-atik ponselnya.

Lima menit pesan terkirim, tidak ada tanda-tanda pesannya akan terbalaskan. Batinnya terus aja bertanya-tanya tentang keberadaan dan keadaan gadis bersurai lurus itu.

Rio mengerjapkan matanya saat merasakan sesuatu menyentuh punggung tangannya yang bebas di atas meja. "Rio, kok Lo ngelamun, sih?"

Rio tersenyum, menjawab pelan penuh keyakinan. "Enggak kok."

"Gue kenal Lo," sahut Helma. "Apa yang Lo lamunin?"

Cowok itu mengedikkan bahunya membuat Helma memaksakan senyuman manisnya. "Oke kalo Lo nggak mau cerita, gue nggak akan maksa kok. Tapi Lo harus inget, sekarang gue udah di sini. Di samping Lo. Nggak perlu ngelamunin apa pun lagi yang bersangkutan dengan gue."

"Tapi gue butuh kata-kata Lo itu dulu, bukan sekarang," jawab cowok berikat kepala itu santai tapi tetap terdengar penuh penekanan di akhir kalimat. Ia tersenyum sinis sembari memandang jalanan yang masih saja ramai dalam lingkup awan hitam.

"Maksudnya? Kata-kata yang mana?"

"Di sini, di samping Lo," ulangnya.

Jawaban Rio berhasil membuat Helma mematung, bibirnya mengatup rapat, rasanya ia seperti dipukul dengan ribuan godam hanya karena kalimat sederhana tersebut.

Rio beranjak berdiri. "Mendung, gue pulang dulu. Jangan hubungi gue lagi kalo cuma buat ngomongin hal nggak penting kayak gini."

Kakinya sudah siap melangkah saat sebuah tangan mencekal pergelangannya. "Jadi sekarang gue udah nggak penting lagi buat, Lo?"

Rio kembali tersenyum sinis. "Harusnya Lo udah dapetin jawaban dari tatapan gue."

"Rio, itu nggak mungkin sesingkat ini, kan?" tanya Helma penuh harapan, cekalan di tangannya perlahan mengendur.

Sekarang bukan sebuah senyuman sinis, tapi sebuah tawa yang sama sekali tak enak didengar. "Manusia aja hidup di bumi sesingkat itu, kenapa perasaan seseorang nggak bisa mati sesingkat itu juga?"

Helma diam, tak berkutik.

"Gue pulang dulu. Cepet pulang kalo Lo nggak mau kehujanan."

Gadis dengan senyum manis itu memandang punggung Rio dengan tatapan terluka. Meskipun hatinya terasa hancur, tapi senyum manisnya berhasil tercetak dengan jelas di bibirnya. Rio tetaplah Rio yang ia kenal, Rio yang selalu peduli terhadapnya.

***

Luna menggerjapkan matanya perlahan, tidur saat hujan turun dengan selimut tebal memang terasa sangat menyenangkan. Sekarang suara hujan sudah tidak terdengar lagi di telinganya, menandakan reda yang sebenarnya tak ia harapkan karena masih ingin menambah jam tidur menyenangkannya.

Luna hampir saja berteriak saat matanya sudah terbuka dengan sempurna. Senyumannya memang sangat memabukkan, tapi kalo muncul tiba-tiba begini tetap saja tidak lebih dari hantu yang suka nongkrong di atas pohon.

"Udah bangun, Na?"

Gadis bersurai lurus itu menepis lengan Rio yang hendak mengusap dahinya.

"Ngapain Lo disini?!" pekiknya tak santai sembari mendudukkan diri, tatapannya begitu nyalang dengan mata yang sebenarnya masih ingin di istirahatkan.

"Nungguin Putri Tidur bangun," jawab Rio sembari tersenyum lebar. Cowok berikat kepala itu sudah melipat kedua tangannya di depan dada dan duduk santai di sisi ranjang Luna.

"Gue bukan Putri Tidur!" sahutnya ketus, memandang Rio penuh permusuhan. Niatnya ia ingin menghindari cowok ini jika besok berada di sekolah, tapi sekarang cowok berikat kepala ini malah sudah ada di hadapannya. Menyebalkan!

"Iya, emang bukan. Lebih cantik soalnya."

Luna mencibir, sebelum akhirnya menyeret cowok berikat kepala itu agar keluar dari kamarnya. "Sana! Apa-apaan sih masuk kamar cewek sembarangan?!"

"Oke-oke gue keluar. Tapi asal Lo tahu aja ya, Na. Gue nggak mungkin masuk gitu aja tanpa ijin," bela Rio dengan punggung bersandar di samping pintu, masih berada di dalam kamar Luna.

"Gue nggak ngizinin Lo, ya!"

Luna sudah bersiap mendorong Rio keluar dari kamarnya saat cowok itu menahan lengannya. "Gue emang nggak ijin sama Lo."

"Terserah! Bodo amat, sana keluar!" usirnya terang-terangan dengan berkacak pinggang.

Rio tersenyum simpul dengan tangan yang bersedekap dada. "Lima belas menit, Na. Gue tunggu di depan."

Sebelum menyemburkan banyak protesan tak terima, Rio sudah lebih dulu keluar dan menutup pintu kamarnya. Luna hanya bisa menggerutu tidak jelas, dan melebarkan mata saat pandangannya tak sengaja mengarah pada jam digital yang ada di atas nakas. "Dih, kok udah malem sih? Kalo gini gue bisa jadi Putri Tidur beneran."

"Lima belas menit Luna!"

Luna kembali mencibir, lantas membulatkan matanya saat suara Rio kembali terdengar. "Iler Lo jangan lupa dibersihin, tuh!"

***

Walaupun masih merasa kesal, Luna tetap menampakkan diri dengan penampilan terbaiknya. Ia bisa melihat dengan jelas Rio yang sedang mengobrol akrab bersama Pamela di ruang tengah. Kalo begitu, mari kita buktikan seakrab apa mereka sebenarnya.

Luna berjalan mendekat dengan mengendap-endap, memilih bersembunyi di balik tembok dan memasang telinga penuh penasaran. Ia benar-benar menajamkan pendengarannya, tapi sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berada di pihaknya karena hanya tawa keduanyalah yang bisa ia dengar sangat jelas.

Meskipun begitu Luna tidak mau putus asa, ia tetap berada di tempat persembunyiannya dan mengandalkan telinganya yang entah soak atau bagaimana ini. Keduanya kembali tertawa kencang membuatnya semakin heran.

"HEY! LUNA UDAH SIAP, NIH!"

Sial!

Gadis bersurai lurus itu menatap Leo tajam. Luna tahu pasti Leo sengaja memasang mulut toanya. Dasar Abang tidak berguna!

Luna berdecak sebelum akhirnya berjalan menghampiri keduanya yang menoleh dengan tersenyum lebar. Aih, mengapa dari tadi mereka terlihat begitu kompak?

Rio segera beranjak, menyalami Pamela dengan begitu sopan sembari meminta ijin. "Tante, pinjem Lunanya bentar, ya. Nanti dibalikin kok."

Pamela mengacungkan jempolnya dengan senyuman. "Nggak usah dibalikin juga nggak pa-pa sih sebenernya."

Rio terkekeh, sementara Luna merasa tambah bad mood saja. Semuanya terasa menyebalkan hari ini! Tidak Rio, tidak Leo yang sekarang sudah menghilang entah kemana, dan sekarang Mamanya sendiri. Untung Papanya -sepupu Bang Toyip yang tak pulang-pulang itu tidak ikut-ikutan.

Ia lantas melakukan hal yang sama, meyalimi punggung tangan Pamela dengan ogah-ogahan sebelum akhirnya tangannya sudah ditarik tanpa pengajuan.

Setelah sampai teras, barulah Luna menepisnya dengan tak santai. Rio tidak terganggu sedikit pun. Tetap melangkah dengan pasti di jalanan komplek yang temaran. "Mau kemana, sih?" tanyanya kemudian tidak tahan.

"Cari makan Na, di depan. Emak gue nggak pulang, mana nggak ada makanan lagi," jawabnya.

"Kalo makan doang mah di rumah gue juga bisa!"

"Ya kali gue ke rumah Lo cuma minta makan doang, Na."

Setelah itu, keduanya kembali terdiam sampai langkah yang sudah membawanya ke jalan raya depan kompek. Luna sebenarnya dari tadi mati-matian menahan rasa jengkel. Seenaknya saja cowok ini meninggalkannya tadi dan kembali muncul tanpa rasa bersalah.

Walaupun dalam hati ia tengah bersorak karena kedatangan Rio yang terasa tiba-tiba dan terkesan seperti kejutan, juga menganggumi cowok berikat kepala biru terang yang malam ini menggenakan T-shirt putih bertuliskan Dior di bagian depannya, tak lupa dipadukan jeans senada dan jaket denim.

"Kok jauh-jauh gitu sih, Na? Sini dong, deketan."

"Ogah!" jawab Luna cepat dengan wajah murung. Tingkat kejengkelannya semakin bertambah saat mendengarkan suara kekehan cowok itu.

"Sini." Rio mengeluarkan salah satu tangannya dari saku celana, mengisyaratkan Luna agar mendekat ke arahnya.

"Nggak mau!"

Bukannya menjauh dengan jarak depan belakang, Luna malah menjauhkan tubuhnya ke arah jalanan. Memang benar hal yang ia lakukan itu berhasil menciptakan jarak, tapi...

Dengan cepat, Rio menarik lengan Luna kuat di waktu yang benar-benar tepat saat sebuah truk besar melintas. Hampir saja gadis bersurai lurus itu tertabrak jika gerakan Rio telat satu detik saja.

"Are you okay?"

Luna tidak menjawab. Tatapannya kosong, tangannya bergetar saat sebuah klakson terdengar bergema di telinganya. Truk besar itu sudah melintas dengan suara klakson yang telat dibunyikan.

Oleh cowok itu, kedua telapak tangannya digenggam. Berniat memberikan kehangatan dan menghilangkan ketakutan.

"Nggak pa-pa." Itu seharusnya jawaban yang perlu Rio dengar. Tapi sayang kalimat singkat tersebut keluar dari mulutnya sendiri. Meyakinkan Luna jika memang gadis itu baik-baik saja.

"Nggak pa-pa, Na. Lo aman sakarang," ulangnya karena kedua tangan Luna masih bergetar dan terasa dingin. Rio meniup kedua mata Luna. "Kedip dong, jangan ngelamun gitu."

"Na?"

Tidak ada jawaban. Luna masih saja seperti patung yang menyerupai manusia. Tanpa banyak kata lagi, Rio melepaskan kedua tangannya dan mendekap tubuh gadis itu erat.

"Nggak pa-pa." Kata itu terus saja ia bisikkan, yang kemudian berhasil membuat pergerakan. Luna membalas pelukannya tak kalah erat.

Nafas gadis bersurai lurus itu terenggah, seperti baru selesai berlari maraton. Dengan bibir bergetar dan terbata-bata, sebuah kalimat penuh ketakutan terdengar jelas di telinga Rio. "G-gue... ha-hampir mat... ti."

"Enggak," tegas cowok itu. "Lo aman."

Rio hendak melepaskan pelukannya, tapi cengkraman ketakutan Luna menahannya. Nafas cewek itu masih saja terenggah, dan Rio tebak bibir Luna begitu pucat sekarang.

Ini kedua kalinya ia melihat Luna ketakutan begini. Pertama saat mimpi buruk menyapa cewek itu, dan yang kedua ya sekarang ini. Tidak ada air mata sekarang, itu bedanya.

Rio mengelus belakang kepala Luna. Perlahan, nafasnya mulai terdengar teratur.

"Lo tahu, Na? Nggak selamanya jarak itu baik-baik aja. Lain kali, jangan pernah lagi nyiptain yang namanya jarak... di tengah-tengah kita."

Kita?

***

Awalnya Luna meminta pulang. Tapi Rio berhasil meyakinkan cewek itu untuk tetap ikut bersamanya. Luna sendiri sampai tidak mengerti mengapa cowok berikat kepala biru terang itu selalu bisa membuatnya menemukan sisi lain dari dalam dirinya yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia temukan.

Rio tidak menjanjikan kebahagiaan, tapi cowok itu berhasil menepati janjinya pada dirinya sendiri untuk membuat Luna tersenyum. Dan hebatnya berhasil, seakan hal tersebut sama mudahnya dengan pelajaran matematika kelas satu SD.

"Mau?" Luna menyodorkan ice cream vanillanya. Saat ini, mereka tengah duduk santai di kursi taman kota setelah lelah berkeliling dan menyantap makanan. Sepertinya kursi panjang yang mereka duduki ini sudah diisi orang lain sebelumnya. Karena kursi ini tidak basah oleh air hujan sore tadi.

Rio menggeleng pelan, sementara Luna kembali menjilati ice creamnya dengan begitu semangat membuat cowok itu tersenyum sangat tipis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bawa karet, Na?"

Luna menoleh, masih asyik dengan ice creamnya. "Karet apa?"

"Itu iket rambut."

Gadis bersurai lurus itu lantas mengangkat tangan kirinya, yang kebetulan terdapat sesuatu berwarna hitam di bagian pergelangannya. Entah itu gelang atau ikat rambut, Rio tidak mengerti.

Rio lantas meraih tangan Luna membuat si empu menatapnya heran, melepaskan karet hitam tersebut dan memerintah dengan kelembutan. "Balik badan."

"Hah?" Mulut Luna menganga dengan ice cream di dalamnya yang belum sepenuhnya meleleh.

Daripada menjelaskan dengan kata yang ujungnya akan ribet, Rio lebih memilih memutar tubuh Luna menjadi membelakanginya. Menyatukan rambut cewek itu yang tergerai. Mungkin tadi Luna sangat terburu-buru sampai tidak sempat mencepol rambutnya seperti biasa.

Luna hanya diam saat Rio seperti tengah mengikat rambutnya menjadi satu, ia menjilati lagi ice creamnya yang begitu nikmat walaupun di malam hari begini. Tubuhnya kembali diputar Rio saat acara mencepol rambut telah selesai.

"Biar nggak lengket kena ice cream."

Luna mengangguk, tak berniat menghentikan jilatannya sedikit pun sampai-sampai ice creamnya sudah habis tak tersisa. Ia lantas beranjak untuk membuang bungkusnya, lalu kembali duduk di sebelah Rio.

Lidahnya tampak harus dipuaskan rupanya. Oleh sebab itu, ia mengoyangkan lengan Rio dengan tersenyum semanis mungkin. Semua orang juga tahu kalau sudah begitu pasti ada maunya. "Apa?"

"Mau lagi," jawabnya sembari terus mempertahankan senyumnya. Matanya mengerjap agar terlihat lucu dan membuat cowok di sebelahnya ini menuruti permintaannya.

"Udah malem, Na. Nggak usah makanin es banyak-banyak." Dikarenakan suara cowok itu yang terdengar begitu lembut, Luna rasa itu tidak terdengar seperti sebuah penolakan.

"Enggak banyak kok, kan, cuma dua," sahutnya membela diri.

"Dua kan lebih dari satu, berarti banyak dong." Rio tak mau kalah. "Nanti Lo flu."

"Emang kenapa kalo gue flu?" tanya Luna memancing. Kedua tangannya masih bertengger di lengan cowok berikat kepala itu.

"Nanti gue ketularan."

Jawaban Rio bukan seperti yang Luna harapkan. Ia mencibir, melepaskan kedua tangannya secara kasar dan menggeser duduknya sampai menyentuh pembatas kursi.

Rio menggeser duduknya, membuat Luna terpepet. Ia lantas merangkul bahu Luna begitu saja tanpa rasa bersalah.

Sebelum tangannya bergerak untuk menepis lengan Rio, sebuah instruksi memerintah otaknya dengan mudah. "Liat ke atas."

Keanehan kembali terjadi saat Luna menurut dengan begitu mudah.

"Kalo disuruh milih, Lo mau bulan atau bintang?" tanya cowok itu dengan kepala yang sama-sama mendonggak ke atas. Menatap taburan bintang yang selalu setia menemani bulan dan mengisi gelapnya langit malam.

"Bintang," jawab Luna tanpa ragu.

"Kenapa, tuh?" tanyanya lagi dengan pandangan tak teralihkan.

"Kalo bintang, kan, ada banyak. Gue bisa pilih satu di antaranya, orang-orang juga bisa pilih yang lain asalkan jangan yang udah gue pilih. Kalo bulan cuma ada satu doang. Jadi harus dibagi-bagi berarti," jawab Luna masih dengan mendonggak.

Rio memandang Luna dari samping. Gadis di sebelahnya ini juga tidak kalah indah dengan cahaya yang menghiasi langit. Cantik, sangat cantik. Jadi ingin membawa pulang rasanya.

Rio memutuskan untuk melepaskan rangkulannya, takut jika rasa ingin membawa pulang gadis ini semakin besar. Kasihan emak bapaknya nanti.

"Dibagi-bagi ke siapa?" Rio kembali bertanya dengan pandangan yang kembali tertuju pada langit malam.

"Semua yang ada di alam semesta."

"Berarti Lo nggak suka berbagi ya, Na?" Nyatanya sekarang, memandang wajah Luna dari samping lebih menarik daripada memandang langit dari bumi.

"Ya tergatung apa dulu. Kalo makanan mah oke aja, buktinya tadi gue nawarin Lo ice cream, kan."

Iya memang, tapi ice cream tersebut Rio juga yang membelikan. "Jadi, Lo lebih suka satu di antara seribu, Na?"

"Ya enggaklah. Banyak orang pasti pingin jadi satu diantara satu."

"Tapi itu tadi...?"

"Lo kan nanyanya mau bulan atau bintang, bukan mau jadi bulan atau bintang."

"Hmm... bener juga."

Keduanya kembali diam, memilih menikmati kesunyian di balik ramainya orang berlalu-lalang. Setidaknya bersama Rio, Luna bisa mendapatkan kebebasan dan berani menuntut hak kebebasannya dari orang tuanya yang begitu mengekang.

"Na."

"Hmm?" sahutnya dengan gumaman tanpa menoleh.

"Lo punya mimpi?"

"Semua orang punya mimpi, Yo."

"Apa?"

"Apanya?"

"Mimpi, Lo."

"Apa pun itu yang penting bisa bikin orang tua gue bangga. Lo?"

"Apa?"

"Mimpi, Lo."

"Senyum, Lo." Jawaban Rio berhasil membuat Luna menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Lihat Lo senyum rasanya mimpi gue udah terkabul."

Luna mencibir yang dibalas kekehan cowok itu. "Gue serius, Na."

"Emang kayak gitu mimpi? Mimpi nggak sesederhana itu, Yo."

"Ya, itu mimpi gue yang sederhana. Tapi ada lagi mimpi gue yang lebih dari itu sekarang."

"Apa?"

"Lo... jadi bulan di hidup gue," jawab Rio tetap terkesan santai, namun menyiratkan raut wajah penuh keseriusan saat bayangan Luna terpantul di bola mata hitam pekat cowok itu. "Mau?"

Yang Luna tahu, Rio dengan tidak tahu diri sudah menembus masuk tanpa perlu mengetuk. Sebuah ketidaksopanan yang Luna suka. Menjadi seorang tamu tak diundang yang hadirnya selalu menumbuhkan sesuatu yang asing dalam tubuh Luna. Begitu asing namun menjadi candu baginya.

Tak hanya sebagai tamu asing saja peran cowok berikat kepala itu. Terlampau banyak hingga membuat Luna bingung. Tapi yang jelas, hari ini, cowok berikat kepala biru terang itu berhasil menyelamatkan nyawa Luna.

Seakan hadirnya membawa beribu bahagia dan ketenangan. Jadi, apa boleh Luna menyimpulkan sesuatu? Jika Tuhan memang mengirimkan Rio untuk menambah sisa hidupnya yang akan dihabiskan bersama cowok itu, nanti. Selepas malam ini.

***

25-04-20.

Continue Reading

You'll Also Like

637K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
2.7M 136K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET ๐Ÿšซ "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
2.6M 143K 62
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...