BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

11. Pengakuan temaram

88 20 2
By Listikay

Jika berada di dekatmu saja sudah membuatku bahagia, untuk apa pengakuan itu ada?

Tapi ini tak adil. Pengakuan itu sudah terlanjur terucap, di bawah sinar rembulan dan bumi yang menggelap.

***

Langit tidak terasa kosong kali ini, atau mungkin sebenarnya memang tidak pernah kosong. Walaupun tidak ada taburan bintang atau mungkin bulan yang siap mengisi gelapnya malam.

Masih ada semburat orange yang memancar di ujung barat garis cakrawala, meskipun cahayanya tidak terasa sempurna karena terhalang gedung-gedung yang menjulang, seolah menggambarkan perilaku manusia yang selalu saja bersikap egois.

Leo tidak tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Entah Luna yang berucap tidak sopan dengan orang tua, apa lagi membawa namanya begitu saja. Ia benar-benar tidak tahu dari mana kesimpulan yang adiknya dapatkan, dan juga tidak bisa membayangkan jika ia memanglah... anak yang sebelumnya tidak di inginkan?

Anak haram?

Tidak, tidak. Itu bahkan terlalu mengerikan untuk sekedar dibayangkan.

Jadi, sebenarnya siapa yang salah? Leo jadi bingung sendiri. Luna? Atau Papanya yang sudah memberikan tamparan tanpa pikiran?

Karena menurutnya kali ini bukahnlah masalah kecil seperti biasa, jadi taman belakang rumah dan kamar Luna bukanlah pelarian yang tepat. Ia memutuskan untuk mencari tempat yang sedikit lebih jauh, yang bisa memberikan ketenangan.

Dan di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman tepi danau. Duduk di salah satu kursi yang dekat dengan orang berlalu lalang. Ia sudah membersihkan darah yang mengalir dari sudut bibir Luna. Sebelum keluar rumah, ia juga sudah sempat melepaskan ransel Luna dan menaruhnya di teras depan.

Leo pikir Luna akan menangis seperti biasa. Tapi ternyata tidak, Luna bahkan tak meringis sama sekali saat Leo tak sengaja menekan sudut bibirnya sedikit kencang. Luna hanya diam dengan tatapan kosongnya. Diam seribu bahasa. Gadis bersurai lurus itu hanya menangis saat mengungkapkan apa yang ia rasakan tadi di depan Darma, setelah itu air matanya mengering begitu saja.

Leo tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain mendekap adiknya dengan mengelus kepalanya. Atau sesekali mengecup puncak kepalanya.

Luna bahkan tak membalas pelukannya dengan erat seperti biasa. Ia merasa seperti tengah mendekap mannequin.

Tindakan Leo ternyata berhasil menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang di depan mereka. Memandangnya dengan cara tak biasa.

Mungkin saja mereka berpikiran jika tampang boleh saja oke, tapi membawa anak gadis orang bukanlah cara yang baik. Mungkin juga beberapa di antaranya kembali yakin karena Luna masih mengenakan seragam sekolah. Berbeda dengan Leo yang tubuh indahnya sudah dibalut dengan T-shirt abu polos dan celana jeans di atas lutut, benar-benar pakaian rumahan.

Jika saja Leo tidak punya rasa malu, mungkin ia sudah berteriak tepat di depan wajah mereka satu per satu. Menegaskan bila gadis yang kini berada di pelukannya adalah adiknya, bukan seperti yang mereka pikirkan.

Tak hanya itu, ia bahkan mendapatkan tatapan memuju dari para gadis yang lewat di hadapannya. Membuatnya mendengus, menjadi orang tampan memang tak sepenuhnya menyenangkan.

"Mau pulang kapan?" tanya Leo sembari terus mengelus kepala adiknya saat menyadari hari kian semakin mengelap, pengunjung taman juga tak seramai tadi. Suaranya terdengar lembut dan penuh perhatian.

Leo lantas menghela nafas lega saat Luna membalas pelukannya, seperti biasa. "Nggak mau pulang," jawab gadis itu yang kemudian menenggelamkan wajahnya di dada bidang Leo.

"Maunya digoyang?"

Beberapa detik kemudian, Leo lantas tercekat. Ahh, sepertinya lagu itu juga sudah tidak jaman. Termakan oleh waktu begitu saja.

Luna tak merespon, selain mengeratkan pelukannya. Tentu saja Leo merasa bingung. Jika Luna tidak mau diajak pulang, lantas mereka akan tidur dimana malam ini? Leo bukan orang kaya yang sudah bisa membeli apartemen dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri.

"Terus maunya apa?" tanyanya lembut dengan tangan yang terus mengelus puncak kepala Luna. "Milk shake mau?"

Bukan seperti biasa saat Luna justru menggelengkan kepalanya. Padahal sebelumnya Luna tidak pernah menyia-nyiakan milk shake begitu saja, seakan minuman tersebut merupakan segelintir emas yang menggiurkan. "Es krim?"

Ternyata jawabannya masih sama.

"Kalo nggak mau apa-apa, pulang ya. Kasian, Mama pasti khawatir," bujuknya kemudian.

"Mama aja nggak kasihan sama aku. Kenapa aku harus kasihan sama, Mama?"

"Mama gitu juga karena sayang."

"Gitu gimana?" tanya Luna dengan mendongakkan sedikit kepalanya, masih dengan posisi yang sama.

"Itu... protective."

Luna kembali mengeratkan pelukannya. "Rasa sayang Mama justru bikin aku tertekan, Bang."

"Mama sama Papa cuma mau kamu jadi anak baik-baik."

"Aku emang bukan anak baik, tapi itu bukan berarti buruk, kan? Apa perlu, aku tunjukkin ke mereka gimana namanya anak buruk yang bisanya cuma nyusahin?"

Leo memilih diam, membiarkan Luna mengungkap sesuatu yang ada di benaknya.

"Harus banget ya, aku yang ngerti semua kemauan mereka? Harusnya mereka yang bisa ngertiin aku. Mereka pasti udah tau banyak hal gimana yang namanya pengalaman. Aku, kan, masih kecil. Aku juga belum tau banyak pengalaman kayak Mama sama Papa."

Luna mendongakkan kepalanya, menatap Leo yang juga tengah menatapnya. Leo lantas memeluk Luna kelewatan erat. "Iya, adik Abang ini emang masih kecil. Dan selalu jadi kesayangan Abang."

Jika boleh hiperbola, Luna rasanya sudah akan gepeng macam papan triplek. Nafasnya juga tidak selancar tadi, itu semua karena ulah Leo yang tak tahu diri. "Sakit." Suaranya bahkan hampir tak terdengar.

Dengan gelagapan, Leo lantas melepaskan pelukannya. Memeriksa seluruh tubuh Luna sebelum berucap, "iya, iya maaf."

Luna rasa, ia akan merasa sangat bahagia bila yang ada di sampingnya ini adalah sosok Darma. Leo selalu membelanya, memeluknya, menenangkannya, dan mengerti perasaannya. Berbanding terbalik dengan Darma.

Tapi jika memiliki kakak macam Leo saja sudah cukup membuatnya merasa tenang, lantas mengapa harus berandai-andai?

Sebentar-sebentar, Luna mulai merasa ada yang tidak beres. Ia lantas memicingkan matanya, menatap Leo yang terlihat tersenyum dengan ketulusan. Lalu matanya membelalakkan begitu saja. "Abang!"

Teriakan Luna berhasil menciptakan lipatan di kening Leo dengan mudah. "Apa, sih? Abang di sini, nggak akan kemana-mana, jadi nggak usah teriak."

Tanpa membuang banyak waktu, Luna menjulurkan tangannya. Menyentuh bercak coklat yang ada di bawah rahang Leo. Ia lantas mengendus tangannya sendiri, lalu berdecak dengan sebal. "Ini masker siapa?"

Luna memang bukan cewek yang sangat girly, tapi diam-diam ia suka mengenakan face mask di malam hari dan terkadang sampai ketiduran hingga pagi menjelang.

"Hehe..." Leo menunjukkan deretan giginya tanpa rasa dosa. "Nyobain dikit doang," ucapnya kemudian.

Luna memberengut. "Bohong! Pasti dihabisin!"

"Enggak. Orang cuma make dikit banget," jawab Leo berusaha membela diri.

"Dikit itu nyisainnya, kan? Pasti pake banyak!"

Leo mendengus. "Ya udah, maaf."

"Tuh, kan."

"Udahlah, ayok pulang." Leo lantas berdiri dari duduknya, beralih berjongkok di depan Luna yang membuat gadis bersurai lurus itu menatapnya heran. "Sebagai gantinya, sini naik," ujarnya seraya menepuk-nepuk punggungnya sendiri.

"Nggak mau! Aku, kan, pake rok," jawab Luna kemudian. Tentu saja karena ia tak mau paha mulusnya menjadi tontonan tanpa bayaran di sapanjang jalan. Mau dibayar sekalipun ia juga tak akan pernah mau. Tapi tawaran Leo cukup menggiurkan sih sebenarnya.

"Ya udah, jalan sendiri. Ayok," ucap Leo setelah berdiri di hadapan Luna.

"Tapi nggak mau capek," rengek Luna.

"Terbang aja sana kalo nggak mau capek," jawab Leo setengah jengkel.

"Abang!"

***

Luna sudah bertekad, jika ia tak salah maka tidak akan ada kata maaf yang terucap dari bibirnya. Tidak sepenuhnya salah saja ia tak mau mengucapkan kata sakral itu, apa lagi tak bersalah sama sekali.

Seperti kali ini, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri.

Tapi Luna bukan orang pendendam, ia akan menerima segala ucapan maaf yang keluar dari mulut orang tuanya. Dan memaafkannya tentu saja, tapi dengan persyaratan.

Kebebasan dan kepercayaan.

Sudah, hanya itu.

Tapi bila mereka tak mengucapkan kata tersebut, Luna juga tidak akan menunggunya.

Ia lantas berjalan mengendap-endap ke luar rumah. Rasanya Luna sangat butuh angin malam dan makanan lezat yang bisa menemaninya kali ini.

Luna bernafas lega saat sudah keluar rumah dengan aman. Gadis bersurai lurus itu sampai heran, sejak ia pulang bersama Leo tadi, Papa dan Mamanya tidak terlihat sama sekali. Mungkin saja merenung di kamar, memikirkan semua yang mereka lakukan dan menganggapnya kesalahan.

Itu bukanlah cara yang tepat untuk seorang gadis liar semacam Luna. Ya, semoga saja begitu.

Setelah mengucapkan semua yang ia rasakan tadi, rasanya ia sudah tidak memiliki beban. Merasa bahagia meski tidak tahu apa penyebabnya. Tapi bukan berarti ia anak durhaka yang berani melawan orang tuanya.

Ah, ini memang susah dimengerti oleh orang lain yang tak pernah merasakan hal serupa.

Luna melangkahkan kakinya dengan riang. Menembus jalanan temaram dengan hoodie segelap malam. Ia bahkan menutup kepalanya dengan penutup hoodie, juga mengenakan celana panjang berwarna hitam. Ini terlihat seperti orang misterius, atau mungkin seorang psikopat yang tengah berkeliaran.

Luna terjengkit kaget saat seseorang muncul begitu saja dari balik gang sempit. Bertambah bingung saat seseorang tersebut terengah setelah menghentikan larinya tepat di depan Luna.

Luna boleh saja berpikir jika orang tersebut tengah jooging jika sekarang pagi hari. Tapi sekarang ini langit sudah mengelap, bulan tampak bersinar dengan terang, membantu pencahayaan yang temaram, juga bintang yang bertaburan layaknya kebahagiaan.

"Gila!" Umpatan itu terdengar sama dengan yang siang tadi. Disusul suara terengah khas orang yang baru saja berlari maraton.

"Ngapain?"

Luna kira, bukan hanya ia yang akan dibuat heran dengan tingkah aneh cowok di depannya ini.

"Capek banget... hah, astaga!"

"Lo ngapain, sih?" tanya Luna sekali lagi.

Yang ditanya tetap bungkam. Masih sibuk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Setelah beberapa menit kemudian, barulah cowok itu membuka mulut. Terlihat dengan susah payah. "Ada ya, banci... hah, klayapan jam segini."

Luna terdiam.

"Gila, capek banget sih, anjay!"

Setelah itu, tawa Luna pecah begitu saja. Seakan baru saja menyaksikan acara comedy yang begitu menggelitik perutnya. Ia bahkan sampai memegangi perutnya yang mulai terasa nyeri akibat guncangan tawa.

Rio menatap Luna heran. Secara perlahan, nafasnya mulai kembali seperti semula. Kembali stabil di waktu yang tepat, karena ia bisa mengumpat dengan lancar. "Sialan! Malah diketawain."

Luna masih saja tertawa tanpa dosa saat kedua tangannya terjulur tanpa sadar. Mencubit kedua pipi cowok itu dengan sisa tawa yang ketara. "Oh, jadi habis dikejar banci? Unch banget, kan, sampe banci aja ngejar-ngejar?" Setelahnya tangannya merosot turun karena tubuhnya kembali terguncang oleh tawa.

Rio mengeram. "Banci aja naksir gitu sama gue, gimana Lo enggak?"

Tepat setelah Rio mengatup mulutnya rapat-rapat, Luna baru bungkam saat itu. Bersamaan dengan aliran darahnya yang lebih cepat dari semula. Disusul degupan aneh yang menggila.

Luna lantas mencubit perut cowok berikat kepala di hadapannya ini, guna menutupi reaksi tubuhnya yang tak wajar untuk disebut biasa saja. "Apa, sih Lo? Garing!"

Rio mengaduh pelan, sembari mengelus perutnya yang sedikit nyut-nyutan bercampur kebahagiaan. "Ngapain garing, orang gue nggak lagi ngelawak," ucapnya yang kemudian membelalakkan mata begitu saja.

Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Rio menangkup kedua pipi Luna dengan cepat. "Na, kok pipi Lo merah, sih?"

Luna dibuat gelagapan. Menyumpah serapahi pipinya yang tak bisa diajak kerja sama. Ia lalu terkejut saat tangan lembut itu mengelus pipinya pelan. "Nggak mungkin, kan, Lo pake blush on?"

"Iya! Nggak mungkin," sahutnya dengan cepat, yang ternyata membuat usapan nyaman itu terhenti begitu saja. Membuatnya bertanya-tanya dalam hati.

"Tapi kenapa bisa merah gini, sih?" tanya Rio dengan bingung. Yang kemudian kembali mengusap kedua pipi Luna dengan lembut.

Bagus, Luna! Lo salah ngomong.

Bagaimana bisa ia menjawab dengan mantap dan berujung terjebak oleh ucapannya sendiri. Luna tidak tahu Rio memang tripikal pria bodoh yang tak mengerti bagaimana rupa perempuan yang sedang bersemu, atau memang hanya pura-pura tak mengerti. Tapi yang jelas, ia tidak tahu harus menjawab apa.

"KAKANDA!"

Keduanya terperangah secara bersamaan, secara reflek kepala mereka menoleh ke arah sumber suara. Luna kembali tertawa saat melihat banci ala lampu merah sedang berkacak pinggang di ujung gang. Yang pertama, karena itu memang terlihat menggelikan. Dan yang kedua, karena tindakan tersebut bisa menetralkan kembali detak jantungnya yang sempat menggila.

Ia harus bersyukur karena teriakan itu berhasil membuatnya tak perlu menjawab pertanyaan cowok berikat kepala yang sialnya selalu saja berdampak dengan hal-hal menyenangkan nan menegangkan.

"Mampus!" Umpatan Rio terdengar sangat lirih. Tangannya beralih menggenggam telapak tangan Luna. Terasa lebih erat dari yang seharusnya.

Dalam hitungan detik, Luna berlari dengan terseok-seok di belakang Rio. Itu semua karena tawanya yang tak kunjung mereda.

"KAKANDA!"

"KAKANDA, KENAPA KAUMENINGGALKANKU?"

Tawa Luna semakin kencang mendengarkan siluman yang kini tengah mengejar mereka dengan raut wajah yang terlihat mendramatis di mata Luna.

"KAKANDA!"

"KAU BERKHIANAT...."

"KENAPA KAUBERSELINGKUH DENGAN PEREMPUAN ITU?!"

"KAKANDA...."

Perut Luna kembali terguncang, kali ini sepertinya bertambah berkali lipat dari yang sebelumnya. Tentu saja apa yang dilakukan Luna sekarang membuat Rio jengkel. Ia sudah sangat malas mendengarkan teriakan manusia aneh itu dan sekarang harus menyeret Luna sekuat tenaga setelah tadi baru saja bisa bernafas lega.

"KAKANDA JANGAN TINGGALKAN AKU!"

Shit! Ini terlalu bertele-tele. Rio menghentikan langkahnya, membuat Luna yang tak siap lantas menabrak sebelah bahunya. Setelah itu, ia mengangkat Luna di atas pundaknya layaknya karung beras.

Membawanya berlari dalam gelapnya malam.

"RIO TURUNIN!"

"KAKANDA!"

Suara itu seakan bersahut-sahutan dengan nada tak seirama di telinga Rio. Ia berusaha mengabaikannya dengan terus berlari sekuat tenaga.

"KAKANDAKU..."

"RIOOO PUSING!"

"KAKANDAKU JANGAN PERGI!"

"RIO KEPALA GUE PUSING, TURUNIN....!!!"

"AKU TAK BISA HIDUP TANPAMU KAKANDA!"

Mungkin memang seharusnya Rio tak perlu punya telinga saja. Itu terdengar lebih menarik untuk sekarang.

***

Rio menurunkan Luna saat dirasa sudah berlari cukup jauh. Ia lantas menatap Luna yang wajahnya mendadak pucat basi. Dengan tangan sedikit bergetar, ia menangkup kedua pipi Luna dengan panik. "Na, lo pusing beneran?!"

Pertanyaan itu terdengar seperti sentakan, tapi tetap saja selalu selembut kapas.

Luna menganggukkan kepalanya lemah.

Dengan posisi kepala terbalik, dibawa berlarian dengan jarak yang cukup jauh, tentu saja membuat Luna pusing bukan main. Tapi tak apa, asal dengan orang ganteng Luna rela merasa pusing tujuh hari tujuh malam, hehe.

Rasanya Luna sudah tidak kuat untuk sekedar menopang tubuhnya sendiri. Sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, Rio dengan sigap menangkap tubuh Luna. Membawanya ke dalam pelukan yang terasa memabukkan. "Jangan... jangan pingsan, plis. Gue nggak terbiasa ngangkatin karung beras, Na. Jadi, kemungkinan besar gue nggak kuat bawa Lo pulang sampe rumah."

Jika saja Luna tidak merasa lemas seperti ini, mungkin ia sudah memberikan pukulan tepat di garis rahang cowok berikat kepala ini.

"Na," panggil Rio disela-sela dekapannya yang kian mengerat. "Lo nggak beneran pingsan, kan?"

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Luna menjawab dengan lirih. "Gue nggak selemah itu."

Jawaban Luna membuat Rio menghela nafas lega. "Syukurlah."

Secara perlahan, Luna mengangkat tangannya. Menempatkannya tepat di atas pinggang Rio, kali ini dengan kesadaran penuh. Ia rasa Tuhan terlalu baik, karena telah mengabulkan keinginannya tadi siang.

Mencubit pipi cowok berikat kepala biru terang dan kembali merasakan dekapan hangat selain milik Leo.

Senyum samar muncul di sudut bibirnya dengan begitu saja tanpa bisa dicegah.

Kalo banci aja bisa naksir sama Lo, kenapa gue enggak, Yo?

Sayangnya selantang apa pun ucapnya, Rio tentu saja tak akan bisa mendengar. Karena hanya suara hatinya saja yang punya keberanian untuk saat ini. Tapi itu saja sudah cukup baik, kan? Ya, cukup baik karena ia sudah berani mengakui perasaannya sendiri.

****

Lagi nggak mood, maklum freak.

I hope feelnya tetep dapet.





01-04-20

Continue Reading

You'll Also Like

9M 955K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...
801K 95.8K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
546K 20.8K 34
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
6.8M 290K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...