BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

5. Ada apa-apa

158 51 4
By Listikay

Mungkin sekarang memang tidak pa-pa, tidak ada apa-apa. Tapi itu hanya perasaan manusia, yang bisa saja hanyut oleh waktu. Yang bisa saja berlalu dengan ketakutan hingga pagi bukan lagi keistimewaan.

***

Jangan tanyakan bagaimana reaksi Luna saat Rio dengan tak tahu diri menghampiri dan menarik tangannya tanpa ijin. Saat sorot mata kebingungannya menyirat, Rio menuntunnya menaiki sepeda yang kala itu pernah Luna tumpangi bersama sang pemilik menuju warung bubur.

Dengan lembut, Rio mengarahkan tangan Luna agar berpegangan dengan erat di bahunya. Tentu saja keinginan untuk memberontak sangat besar. Apalagi saat pandangan seluruh siswa terarah padanya. Dan juga tatapan bingung yang berubah menjadi tatapan penuh permusuhan milik Devandra.

Lidahnya kelu, badannya seperti bisa dengan mudah menerima perlakuan cowok berikat kepala yang selalu menarik perhatian kaum hawa, otaknya seakan hanya bekerja saat mendengar suara lembut yang keluar dari bibir merah muda milik cowok itu. Dan itu semua di luar akal pemikiran Luna.

Rio sudah bersiap mengayuh sepedanya. Sebelum benar-benar meninggalkan sekolah, Rio menyempatkan diri menolehkan kepalanya ke samping. Menatap Devandra yang masih tak bereaksi kecuali tatapan nyalang miliknya. "Sorry ya, gue buru-buru. Bye...."

Awan yang bersinar cerah setelah tadi sempat turun hujan menaunggi mereka berdua saat sepeda Rio sudah memasuki jalanan. Hening menyelimuti. Rio sepertinya masih enggan membuka mulutnya, setidaknya sekedar memberi alasan mengapa ia menarik Luna tanpa penggajuan. Sedangkan Luna seperti masih terhipnotis dengan suasana sekitar.

"Maaf." Satu kata yang berhasil menelusup ke dalam indra pendengaran Luna membuatnya menggerjapkan mata berkali-kali. "Gue nggak tahu seberapa ganasnya Devandra ke cowok-cowok, dan yang tadi itu sebagai bukti kalo gue terganggu sama sifat dia yang... yah mungkin dengan itu dia pikir bakal bikin semua cowok terpesona."

Rio menunggu respon Luna, hingga yang pertama ia dapat adalah pukulan tanpa sesalan di bahunya.

"Aduh." Rio meringis. "Sakit dong, Na."

"Bodo amat! Itu nggak sebanding ya sama Lo yang tiba-tiba aja nyeret-nyeret, dan sok-sokan ngajak pulang bareng."

Ini baru Luna yang sesungguhnya.

"Kan gue udah minta maaf, Na." Rio berusaha membela diri. "Lagian itu juga karena kebetulan ada Lo tadi."

Luna menundukkan kepalanya. Menatap rambut Rio yang selalu berantakan dengan hiasan ikat kepala warna biru terang. Jika dilihat dari dekat, rambut Rio terlihat halus. Belum lagi aroma harumnya yang tanpa ijin memasuki rongga hidung Luna. "Ngeles aja Lo! Nggak ada yang namanya kebetulan ya."

Rio terdiam sejenak, sebelum akhirnya sebuah seringai tercipta di sudut bibirnya. "Berarti kita ketemu itu karena jodoh ya, Na?"

Luna mendesis, sebelah tangannya kembali terangkat dan melayangkan sebuah pukulan di bahu Rio. Lagi.

"Aduh."

"Sembarangan! Amit-amit Ya Allah." Luna menenggadahkan kepalanya ke atas dengan kedua tangan yang masih berpeganggan pada bahu Rio, seolah ia tengah berdoa dan berharap Tuhan mengaminkan.

"Astaga, Na. Gitu amat lo sama gue, kemakan omongan sendiri sukurin!"

"GAK AKAN!"

Rio lebih memilih diam. Fokus mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Walaupun ada Luna yang juga berdiri di atas sepeda kesayangannya, tapi itu sama sekali tidak membuatnya merasakan keberatan. Malahan rasanya seperti ketika ia menaiki sepedanya seorang sendiri.

Plak!

Rio mendengus, berusaha sabar dengan pukulan ketiga yang ia terima. Jika terus-terusan begini, lebih baik ia digoda Devandra daripada pulang bersama Luna. Walaupun pukulan Luna tidak terlalu bersemangat dan rasa nyeri yang ditimbulkan tidak begitu terasa, tapi jika dilakukan berkali-kali pasti rasa sakit itu akan ada, bukan?

"STOP... STOP!!!"

Suara decitan terdengar. Bukan dari ban motor yang dipaksa berhenti di atas aspal, melainkan dari kampas rem yang berhimpitan dengan besi ban sepeda.

Plak!

Sabar, Rio. Sabar.

"Nggak usah ngerem mendadak juga kali!" omel Luna seraya turun dari sepeda Rio.

Rio menatap Luna yang sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan datar. "Nggak usah mukulin juga kali," balas Rio menirukan nada suara Luna barusan. "Lama kelamaan yang ada nanti, KDRP!"

Luna menatap Rio dengan kening berkerut. Merasa asing dengan kata terakhir yang keluar dari mulut Rio. Seolah mengerti jika Luna tak paham, Rio berusaha menjelaskan. "Kekerasan Dalam Ruang Pertemanan."

Luna memutar bola matanya malas. "Dah lah. Lo tunggu sini dulu, bentar."

Rio sudah akan memperotes ketika Luna justru membalikkan badan dan berjalan mendekati sebuah rumah dengan pagar besi sebatas dada orang dewasa. Hanya berjarak beberapa rumah saja dari tempat Rio berdiam diri di atas sepedanya.

Rio mencoba menerka-nerka dalam hati, siapa pemilik rumah tersebut? Dan apa hubungannya dengan Luna? Ia kembali menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Luna yang terlihat tengah mencari-cari sesuatu di dalam ranselnya sembari berdiri tepat di depan gerbang besi tersebut.

Ia tidak mau lagi mencari tahu apa yang Luna lakukan saat pemikiran aneh melintasi kepalanya. Hingga tiba-tiba Luna sudah berdiri di tempat semula dengan wajah memanik. Luna mencekram bahu Rio erat dengan nafas terenggah-enggah.

Sebelum sebuah perintah keluar dari bibir Luna. Rio sudah cukup mengerti apa yang harus ia lakukan saat suara gonggongan anjing terdengar sangat nyata, sebuah bukti jika jarak mereka dengan si anjing terlampau dekat.

Dengan kekuatan yang dikerahkannya, Rio mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Berusaha menciptakan jarak dengan anjing yang berlari dari arah belakang.

Sebuah ide dengan keterpaksaan mengharuskan Rio menghentikan sepedanya tepat di bawah sebuah pohon yang menaunggi pinggir jalan, membuat Luna semakin panik dengan hal yang Rio lakukan. Lalu musnah saat sebuah perintah terdengar. "Naik, Na. Cepet!"

"Hah?" Luna tampak memasang wajah bingung saat mereka sudah turun dari sepeda.

"Cepet naik ke atas!" Rio dengan gelisah memandang anjing yang semakin mendekat dan wajah Luna yang tampak linglung secara bergantian. "Nggak ada waktu lagi, Na. Cepetan!"

Luna mengangguk mantap. Dengan cepat ia segera mendekati pohon, siap akan naik ke atas namun tertahan oleh sesuatu. "CEPET, LUNA!"

"Tapi jangan ngintip ya," ucap Luna mewanti-wanti.

Jika bisa, rasanya Rio ingin melepar Luna agar cepat berada di atas pohon. Ia sudah sangat panik tapi justru Luna masih saja memikirkan hal yang sama sekali tidak terlintas dalam kepala Rio. Mana mungkin dalam keadaan genting begini ia masih sempat mengintip.

Sedangkan menurut Luna, dalam keadaan seperti ini pastinya merupakan kesempatan bagus jika Rio ingin mengintip. Mungkin saat ia memanjat pohon jambu milik Bu Ndar bersama Rio kala itu, Luna tak perlu memikirkan hal yang aneh-aneh karena ia menggenakan celana. Tapi kali ini berbeda, kan? Ia saja masih menggenakan rok abu-abunya.

"Na, please..." Suara Rio terdengar lirih, juga tatapannya yang menyorot penuh harapan.

Tak perlu berpikir dua kali lagi, Luna dengan gesit menaiki pohon yang ia sendiri tidak tahu jenis dan namanya. Rio nampak akan digigit anjing yang sudah melompat-lompat di bawah pohon jika Luna tak menarik tangannya dengan cepat.

Guk, guk... gukkk.

Rio bernafas lega, begitu pun dengan Luna.

Dengan suara gonggongan anjing yang masih bergema di bawah sana, Rio menolehkan kepalanya ke samping. Terkejut karena jarak wajah mereka sangat dekat. Dan tanpa gadis itu sadari, tangannya mencengkram lengan Rio dengan erat, tatapannya mengarah ke bawah dimana sang anjing masih betah bersuara.

Rio ikut menatap ke bawah. "Lo utang penjelasan gimana itu anjing bisa ngejar kita."

Luna menolehkan kepalanya ke samping. Jarak wajah mereka tidak sedekat tadi karena Rio berhasil mengatasinya. "Atau mungkin hal gila apa yang Lo lakuin sampe-sempe anjing yang biasanya anteng tanpa adanya gangguan mendadak ngejar orang gitu aja."

Kala itu Luna pernah dimarahi Mamanya saat ia mencuri jambu dari pohon yang menurut cerita Luna, pemiliknya amat pelit. Dari situ Rio cukup mengerti jika Luna memang suka melakukan hal-hal yang memang seharusnya tak perlu dilakukan. Tidak menutup kemungkinan jika insiden ini terjadi karena ulah Luna juga.

"Yaa maaf."

Rio tidak mengerti ucapan itu tulus atau tidak. Tapi sepertinya kalimat ini sama saat Luna menggucapkan kata maaf di depan Mamanya.

Selalu begitu. Melakukan kesalahan dan ngomong maaf. Semua orang juga bisa melakukan itu asalkan mereka masih punya mulut. Kamu nggak perlu lagi bilang maaf kalo hati kamu nggak ikut berperan dalam ucapan itu.

Ucapan Mama Luna kala itu masih ternggiang dengan jelas di kepala Rio. Membuatnya semakin percaya jika ucapan Luna tidak tulus.

Mungkin memang benar jika menggucapkan kata maaf dan terimakasih sangat sulit. Lebih sulit lagi jika kalimat itu terlontar tanpa ada hati yang ikut berperan.

"Tadi itu, kan gue nggak sengaja liat ajing yang lagi tidur di bawah pohon. Terus gue lempar pake permen chacha, nggak tahunya anjingnya bakal bangun dan ngejar. Gue kira anjingnya diiket."

Ternyata benar.

Kalimat yang Luna lontarkan seakan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tentu saja Rio ingin marah, tapi ia harus ingat jika Luna bukanlah anaknya. Rasanya tak pantas saja jika ia melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan Mama Luna.

Dan juga, mengapa pemikiran tak masuk akal tadi sempat terlintas di kepalanya?

Rio sempat berpikir jika rumah yang Luna hampiri tadi, merupakan rumah pacar Luna. Atau gebetan Luna. Atau mantan Luna. Atau doi Luna. Atau apalah itu semacamnya.

***

Rio menghentikan laju sepedanya saat mereka sudah sampai di depan halaman rumah Luna. Luna sempat heran, mengapa akhir-akhir ini gerbang rumahnya selalu dibuka lebar-lebar begitu saja?

Terlihat Pamela berdiri dengan tatapan menyorot ke arah Luna. Luna juga tak mengerti jenis tatapan apa yang diberikan Mamanya itu.

Luna segera turun dan menatap Pamela heran. Beliau berjalan mendekat dengan berkacak pinggang. Pamela bahkan tak menatap Rio sama sekali, seakan Rio adalah makhluk tak kasat mata yang kebetulan berada di rumahnya. "Abang kamu udah pulang dari tadi, kenapa kamu baru pulang, hah?"

Itu sama sekali bukan kalimat sapaan yang Luna inginkan.

"Maaf, Tante. Luna pulang telat gara-gara Rio yang ngajak Luna manjat pohon." Itu suara Rio, yang berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Meskipun dengan kronologi yang dilompati satu kejadiaan saat Luna tengah melempari anjing yang tidak berdosa itu.

Pamela baru menatap Rio, lalu tersenyum kecil. "Rio juga punya hobi manjat pohon?" tanya beliau dengan nada suara yang terdengar sangat berbeda. Membuat Luna mendengus malas.

Saat berbicara dengan anaknya sendiri saja, tidak ada manis-manisnya. Giliran dengan anak orang, lembutnya nggak karu-karuan.

Rio tercenggang, ia lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung ingin menjawab apa, antara jujur atau bohong. "Dikit sih," jawab Rio kemudian dengan menunjukkan deretan gigi putihnya.

Karena pilihannya adalah 'ya', yang di sini berisi kebohongan, dan 'tidak' yang berarti ia harus mencari alasan lain mengapa tiba-tiba mengajak Luna memanjat pohon, jadilah ia memilih kata sedikit. Niatnya sih agar terhindar dari marabahaya dan tipudaya.

Pamela kembali tersenyum, lalu kembali menatap Luna dengan raut wajah yang berubah seratus delapan puluh derajat. "Nggak mungkin, kan manjat pohon selama itu? Kamu ngapain aja?"

Luna memaksa otaknya untuk berpikir keras sekilat mungkin, lalu menjawab tanpa perlu memikirkannya dua kali alasan yang ia dapat secara dadakan. "Itu, Ma. Habis manjat pohon, kan, Luna ngajak Rio jajan di pinggir jalan. Soalnya Luna laper nggak sempet jajan di sekolah. Rio itu nggak mau ngomong jujur dan lengkap karena nanti kalo Mama tau, Rio nggak mau Mama ganti uangnya ke dia. Rio tadi traktir Luna, Ma. Beuhh." Luna mengacungkan kedua jempolnya seheboh mungkin. "Dia itu baik banget, Ma! Serius deh," lanjutnya kemudian.

Pamela beralih menatap Rio. "Benar itu?"

Seakan mengerti dengan tatapan Luna yang ingin ia menggiyakan pertanyaan Pamela —Rio menganggukkan kepalanya seraya menjawab. "Iya, Tante."

Pamela terlihat lega dengan jawaban Rio. "Luna minta jajan apa aja tadi? Pasti banyak, kan? Kalo gitu Tante ambil uang dulu."

Pamela sudah siap akan masuk ke dalam rumah sebelum suara Rio terdengar. "Ehh. Nggak usah, Tante."

Luna ikut menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia akan tak terima bila Mamanya benar-benar memberikan uang sebagai ganti. Enak sekali dong si Rio, tidak membelikannya apa-apa tapi bisa mendapat uang. Itu namanya tidak adil. "Iya, bener. Lagian Rio itu tadi sekalian..." Luna memutar otaknya saat Rio dan Pamela sudah menatapnya. "Sekalian ngerayain hari putus sama mantannya!" lanjutnya asal.

Rio membelalakkan matanya. Yang benar saja! Mana ada hari putus diraya-rayakan. Alasan Luna sangat tidak masuk akal menurutnya.

"Ya udah, deh. Luna masuk dulu ya, Ma. Capek, bye." Daripada dihantam banyak pertanyaan, Luna memilih melarikan diri saja. Mencari aman.

Rio masih menatap punggung Luna yang kemudian menghilang di balik pintu bertepatan dengan suara Pamela yang mengalun di telinganya. "Ahh, maafin Luna ya. Dia emang susah diatur. Nggak bisa kalo disuruh diem, suka nyusahin orang yang ada di sekitarnya juga. Tante harap, kamu bisa betah ya tetanggaan sama Luna."

Rio tersenyum ramah. "Enggak kok, Tante. Luna nggak nyusahin, dia asyik. Dan siapa yang nggak betah tetanggaan sama cewek hiperaktif kayak Luna?"

"Saking hiperaktifnya, celananya sering sobek kalo manjat pohon."

Keduanya tertawa secara bersamaan.

Pamela tercekat saat tawanya sudah mereda, seakan ia baru saja menyadari sesuatu. "Kenapa Luna bisa pulang bareng kamu?"

"Kebetulan ternyata kita satu sekolah, Tante. Satu kelas juga malah."

Belum sempat Pamela memberikan respon heboh ala emak-emak narsis, Leo sudah muncul dari balik pintu dengan wajah panik. "MA, AYAMNYA GOSONG!"

Pamela membulatkan matanya, lantas berlari secepat kilat menuju dapur. Gara-gara menunggu Luna pulang, beliau sampai melupakan ayam goreng yang sempat dimasaknya.

Sedangkan Leo, bukannya masuk ke dalam rumah, ia malah berjalan menghampiri Rio yang masih berdiri di sebelah sepedanya. Rio tersenyum saat Leo sudah berdiri tepat di hadapannya, berusaha menutupi kebingungannya. Mengapa juga Abang Luna mendatanginya? Menurut Rio sih, orang yang ada di hadapannya ini tidaklah pantas disebut sebagai Kakak Luna. Tapi lebih pantas disebut dengan kekasih Luna mungkin. Masalahnya muka mereka tidak ada mirip-miripnya sama sekali.

"Luna sama Lo tadi?" Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Leo.

"Iya, Bang," jawab Rio sedikit ragu saat menyuarakan kata terakhir.

Leo menautkan kedua alisnya. Lalu tangan yang tadinya bersedekap dada, beralih mengusap atas bibirnya. Menurut penilaian raba-raba Leo, kumisnya sangat tipis. Tidak setebal milik Bang Kumis yang lebat dan hitam legam. "Apa gue kelihatan setua itu?" tanyanya kemudian.

Seakan mengerti jika Rio linglung, Leo melanjutkan ucapannya. "Nggak usah panggil gue Bang. Adek gue aja jarang manggil gitu. Panggil Leo aja."

"Oke."

"Luna nggak pernah mau gue ajak berangkat atau pulang sekolah barang. Tapi kenapa dia bisa mau gitu aja pulang sama Lo?" tanya Leo mulai mengintrogasi.

Rio tentu bingung ingin menjawab bagaimana, hingga akhirnya kalimat inilah yang keluar. "Kalo itu nggak tahu, sih."

Leo menaikkan sebealah alisnya, kembali menautkan kedua tangannya di depan dada. "Terus yang Lo tahu?"

"Luna suka milkshake coklat padahal dia nggak suka coklate," jawab Rio cepat.

"Luna cerita soal itu?"

"Enggak. Cuma kebetulan waktu itu asal nebak dan nggak tahunya bener."

"Kapan Lo nebak?"

Ahh, sepertinya Leo tidak seperti kelihatannya. Ternyata dia banyak tanya juga, mungkin itu merupakan sebuah upaya untuk melindungi adik perempuan satu-satunya.

"Waktu pertama kali ketemu Luna."

Leo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Menarik."

Jika dari tadi Leo yang menggerutkan keningnya, maka sekarang giliran Rio yang menggerutkan kening. Apanya yang menarik coba?

"Banyak cowok-cowok di luar sana, berlomba-lomba nunjukin motor atau mobil sport yang mereka punya ke semua orang. Tapi Lo dengan percaya dirinya naik sepeda ke sekolah, dan gue tahu orang tua Lo pasti mampu beliin kendaraan mewah. Salut sih gue. Luna juga, diboncengin pake motor nggak mau, giliran dibonceng pake sepeda mau, tuh. Pasti bakal ada apa-apa deh di depan nanti."

Rio tidak mengerti ada apa-apa di depan nanti seperti apa yang Leo maksud. Apakah akan ada buaya berkeliaran? Atau akan adakah singa yang memporak-porandakan rumah warga? Atau bagimana?

****

Sebenernya tu mo up minggu lalu, tapi gagal gitu aja karna jaringan.

Mungkin perlu aku tegaskan. Biar kalian nggak salah paham.

Jadi Luna itu emang sering ngelakuin kesalahan dan setelahnya ngomong maaf, gitu terus siklusnya. Dia bakalan mengulangi kesalahan tanpa rasa bersalah dan tanpa rasa kapok sedikitpun. Tapi kesalahan disini maksudnya kayak hal-hal yang bisa bikin dia seneng walau sifatnya cuma sementara. Bisa dibilang, kejahilannya.

Jadi bukan kesalahan yang mungkin berakibat fatal.

Udah gitu aja.

Vomennnnnnnnnn.

04-3-20

Continue Reading

You'll Also Like

539K 58.2K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
277K 26.2K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
1.1M 44.5K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
1M 15.3K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+