BLUE [Completed]

By Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... More

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

3. Murid baru

183 57 5
By Listikay


Bertemu dengan Justin Bieber merupakan mimpi Luna yang sangat tinggi, kemungkinan terwujud sangatlah kecil.

Ia ingin sekali berfoto ria dengan Justin sepuasnya, memeluknya sangat erat atau bahkan menyanyikan lagu love yourself bersama —lagu Justin yang sangat Luna suka, memiliki judul yang bermakna. Mungkin bisa juga lagu yummy yang masih hangat-hangatnya. Ah, lagu Justin dengan judul apa pun Luna juga suka.

Luna juga sempat kaget saat mengetahui Justin mendadak menikah dengan Hailey Badwin. Tentu saja ia sangat patah hati, baru saja merasa senang karena sang pujaan hati telah putus dengan sang kekasih alias Selena. Ia kembali dihantam dengan batu yang berukuran lebih besar.

Seperti sekarang ini. Dengan perasaan tak percaya luar biasa, Luna berusaha meyakinkan diri jika memang seseorang yang berada di hadapannya adalah Justin yang tengah tersenyum lebar.

"Hello, sweetheart!"

Sapaan pertama itu membuat Luna serasa ingin terbang ke langit delapan belas. "This is like a dream," balas Luna dengan mata berkaca-kaca.

"This is not a dream, sweetheart. Are you happy now?"

"Im so happy! Very very happy. Im so nervous," jawabnya dengan bibir bergetar serta kekehan bahagia. "I your fans from Indonesia!" lanjut Luna dengan bangga.

Ia pikir Justin sama angkuhnya seperti berita-berita yang mengabarkan tentang keangkuhan Justin Bieber, tapi nyatanya dia justru sangat friendly. Membuat kebahagiaan Luna semakin bertambah saja dibuatnya.

Senyum Justin seakan sapaan yang sangat tulus, merasa senang bisa bertemu dengan salah satu fansnya. Membuat orang lain bahagia hanya karena hal sederhana.

"Wake up, Luna!"

"Luna!!"

"Heh, Luna!" Pamela terus saja mengguncang bahu anak gadisnya dengan kening berkerut.

Bagaimana tidak, anaknya yang satu itu tengah tidur sembari memeluk guling kesayangannya, tersenyum menjijikan dengan sudut mata berair.

"Luna! Kamu nggak mau sekolah, hah?"

Luna sedikit menggeliat. Menggerutkan kening dengan mata yang masih terpejam. Mengapa suara Justin berubah menjadi suara wanita? Apa itu suara Hailey yang berniat melabraknya?

Ia lalu membuka matanya secara perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kerutan di keningnya semakin ketara saat ia mendapati wajah Mamanya. Apa Mamanya ini juga ingin bertemu dengan Justin? Ah, sudah tua saja banyakan gaya.

"Bangun!"

Luna lalu kembali membuka matanya. Kali ini berusaha menyadari suasana sekitar dan baru menyadari sesuatu, jika Justin mendadak menghilang tanpa pamit.

Ia berusaha menggumpulkan kesadarannya secara penuh dengan Pamela yang masih menatapnya garang. Beberapa detik kemudian, Luna baru sadar. Tidak ada Justin. Hanya ada dia, bersama kamarnya yang bernuansa biru langit. "Ini udah pagi Luna. Nanti kamu telat ke sekolah!"

Luna kembali memejamkan matanya. Ia yang baru saja bangun tidur tapi kenapa Mamanya yang mengigau? Ckck, aneh-aneh sama Mamanya ini. "Orang liburan ngapain ke sekolah sih, Ma? Emang Luna tukang kebun apa?"

"Kamu ini ya!" Pamela menarik Luna secara paksa. "Hari ini kamu udah sekolah!"

"Ahh, Mama masih ngantuk," renggek Luna saat Pamela menariknya untuk bangun.

"Nggak ada ngantuk-ngantukan, nggak ada tidur di kelas. Cepet mandi! Atau kamu mau kalau kamu telat dan Papa marah?" ancam Pamela membawa-bawa nama Darma, seakan tahu kelemahan anak gadisnya.

"Iya-iya," pasrah Luna dengan mata setengah terpejam. Berjalan gontai menuju kamar mandi. "Lagian ngapain udah masuk sekolah, sih? Ngasih hari libur kok nggak ihklas!" dumelnya.

"Kalau jalan melek nanti nabrak," ucap Pamela memperingati.

"Pengennya sih melek, Ma. Tapi matanya nggak mau dimelek— aduh."

"Nah, kan. Makanya kalau Mamanya ngomong itu didengerin bukannya dibantah."

Luna meringis, memagangi jidatnya yang bertubrukan ria dengan tembok. Menikmati sensasi nyut-nyutan manja. Menikmati apannya?! Ya kali sakit dinikmati.

Entah sudah berapa kali jidatnya menubruk tembok. Seharusnya ia mengarahkan tangannya ke depan saja seperti vampir. Untungnya sih temboknya masih bagus dan kuat-kuat saja setelah bertubrukan dengan jidat Luna.

***

"Mau bareng nggak?" tawar Leo yang tengah memanasi motornya di depan garasi.

Luna menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Leo seraya menggeleng pelan. "Enakan jalan kaki," jawabnya kemudian.

Leo mendengus. Sepertinya ia baru saja menanyakan pertanyaan retoris yang sudah jelas jawabannya. Luna selalu saja menolak ajakannya untuk berangkat sekolah bersama dan dengan alasan yang sama pula.

Katanya jalan kaki itu menyenangkan dan bisa membuat badannya sehat sehingga tidak mudah terserang penyakit.

Pamela sering kali berucap, jika Luna memang ingin berjalan kaki menuju sekolah, maka ia harus memakai masker agar tak terkena debu kendaraan atau polusi udara yang bisa dengan mudah menyerang pejalan kaki.

Tentu saja Luna menolak, alasannya karena terlalu alay dan bukan Luna banget. Setiap ingin diantar sekolah oleh siapa pun Luna juga selalu menolak. Dibelikan sepeda juga tidak dipakai. Padahal resiko telat akan menyerangnya dengan mudah ketika berangkat jalan kaki. Tapi syukurlah itu tidak pernah terjadi.

"Jidat kenapa lagi, tuh?"

Luna menunjukkan deretan gigi putihnya. "Kejedot hehe," jawabnya dengan kedua tangan memagangi tali ransel.

Rambut yang biasanya dicepol satu kini sengaja digerai begitu saja. Bukan hanya sekedar untuk penampilan semata sebenarnya, tapi juga untuk menutupi jidatnya yang sedikit benjol. Ahh, tembok kamarnya nakal juga ternyata.

"Lagi?" tanya Leo heran.

Luna hanya mengangguk. Lalu segera keluar area rumah dan menyusuri jalanan komplek. Seolah melakukan hal tersebut bisa membuat Luna sempai di sekolah lebih dulu daripada Leo, padahal mau Luna duluan pun pasti juga Leo yang akan sampai di sekolah duluan.

Tin tin.

Nah kan benar, tau-tau Leo sudah menyalipnya dan menghilang di belokan.

Biasanya Luna selalu bersemangat menyusuri jalan menuju sekolahnya, tapi kali ia merasa sedikit lesu. Biasanya jam-jam segini, kan, ia masih asik di rumah. Kadang masih betah dengan kasur ukuran kingnya, atau kadang tengah menjahili Budhe Mina.

Suara klakson kembali terdengar. Luna lalu menolehkan kepalanya, menatap sebuah mobil yang ada di sampingnya. Si pengemudi terlihat menurunkan kaca mobil. "Naik."

Luna lagi-lagi menggeleng seraya berucap, "nggak mau. Luna mau jalan kaki aja. Tapi kalo uang sakunya ditambah, itu baru Luna mau, Pa hehe."

Darma hanya menatap Luna datar. Membuat senyum Luna perlahan luntur yang kemudian tergantikan oleh bibir menggerucut. "Ya udah deh, Luna berangkat dulu," pamitnya dengan nada berat hati.

Ia kembali melangkahkan kakinya. Baru beberapa langkah, kakinya berhenti lagi saat mendengar suara Darma  "Luna."

Senyumnya mendadak merekah. Ahh, pasti Darma akan memberinya uang saku tambahan. Lagian mumpung tidak ada Leo juga. Memang seharusnya Darma berlaku seperti itu, kan?

Luna membalikkan badannya, tersenyum lebar seraya bertanya dengan nada yang sengaja dilembut-lembutkan. "Ya, Pa?"

"Lain kali kalau kamu merasa kurang dengan uang jajan dari Papa, kamu nggak perlu lagi minta sama orang tua."

Luna terdiam. Lekuk sabit di bibirnya berubah menjadi datar.

"Belajar yang bener," lanjut Darma yang kemudian kembali menjalankan mobilnya, meninggalkan Luna yang masih anteng bak patung.

Luna menggerjapkan matanya. Memasang wajah murung dan menendang kerikil yang ada di depan kakinya. "Papa nyebelin!"

Luna menundukkan kepalanya. Pantas saja kakinya seperti tidak menendang apa-apa, ternyata tak ada krikil yang ditendangnya. Dan yang tadi itu hanya angin. Ahh, ini tidak seperti di tv-tv tampaknya.

***

Luna bernafas lega saat sampai di depan kelas dengan selamat. Ia lalu melangkahkan kakinya, berjalan dengan pasti menuju bangku miliknya.

Luna menghembuskan nafasnya kasar saat ia sudah duduk dengan sempurna. Pergerakan tangannya yang tengah melepaskan ransel dari pundaknya terhenti begitu saja saat tatapannya tak sengaja mengarah pada bangku kosong di sebelahnya.

Luna tidak memiliki teman perempuan selain Shilla. Tidak ada anak perempuan yang mau berteman dengannya di kelas ini. Dan itu juga karena orang tuanya.

Bahkan teman Luna satu-satunya yang sudah menemaninya selama setahun lebih kini telah pergi. Memutuskan untuk pindah ke Bandung dengan alasan Ayahnya yang dipindah tugas di sana.

Shilla benar-benar tidak asyik menurutnya. Pergi begitu saja meski dia tahu jika Luna tidak memiliki teman dekat kecuali dia.

Brak.

Luna terjengkit kaget saat seseorang menggebrak mejanya.

"Ngelamun bae Mbaknya."

Luna menatap Adove dengan jengkel. "Apaan sih, Shampoo?!"

Luna pikir setelah pergantian semester, bangku milik semua siswi berpindah. Tapi ternyata tetap sama saja, Adove tetap duduk di depannya.

"Nama gue Dove ya, bukan Shampoo!"

Luna menggibas-ngibaskan tangannya. "Bodo amat, emang gue peduli."

Dove, pria yang penampilannya masih terlihat sama saat terakhir kali bertemu dengannya —tampak menatap Luna dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuat Luna balik menatap Dove dengan heran.

"Lun," panggil Dove kemudian, masih dengan jenis tatapan yang sama.

"Apa?!" tanya Luna dengan nada tak santai.

"Yaelah, nggak usah ngegas juga kali. Mentang-mentang Shilla pindah lo jadi sok sensian," tuturnya dengan wajah yang kini terlihat lebih santai, hingga tiba-tiba memasang wajah panik yang terlihat sangat heboh. "Atau jangan-jangan, Shilla pindah gara-gara hamil sama, Lo?! Oh my ghost, ini hot news banget! Gue harus kasih tahu —aww." Dove meringis karena kepalanya dipukul botol air minum milik Luna.

"Mulut lo kadang kalo ngomong suka pinter ya," ungkap Luna seolah memuji.

Dove mengangguk mantap. "Jangankan mulut gue, Lun. Bulu kuduk gue aja pinternya kelewatan udah. Kalo gue merinding, bulu kuduk gue pada berdiri semua tanpa diperintah. Dia bisa langsung tahu kalo ada situasi bahaya."

Luna menatap Dove dengan malas. Apalagi saat matanya tak sengaja melihat bola plastik yang dibelah menjadi dua, bertenger di kepala cowok itu. Belum lagi gelang karet yang biasanya dipakai untuk mengaitkan nasi bungkus, bertenger manis juga di tangan kirinya. Penampilan yang tak pernah berubah.

Luna sampai heran dengan makhluk satu itu. Membeli mobil mewah saja dia mampu, tapi kenapa membeli topi atau gelang yang harganya tak sebanding dengan mobil mewahnya, tak mampu?

"Daripada lo membangga-banggakan bulu kuduk yang katanya kelewatan pinter itu, mending Lo copot tuh karet sama bola itu deh, Shampoo. Saran aja sih ya."

"Enak aja! Itu tuh berharga banget ya bagi gue. Mungkin Lo emang nggak tahu seberapa berharganya barang branded punya gue ini, tapi Lo jangan suka nilai sesuatu dari harganya doang." Dove tampak menggelus karet gelangnya dengan penuh sayang. "Gelang gue ini nggak sesederhana yang ada dipikiran Lo."

"Ya gue emang ngggak ngerti ya berharga kayak gimana yang Lo maksud. Tapi yang jelas gue empet lihatnya!"

Dove mengalihkan tatapannya, beralih menatap Luna dengan tatapan tajamnya. "Lo boleh empet lihat gue, tapi jangan gue denger lagi Lo bilang empet lihat gelang gue," ucapnya dengan penuh penekanan.

Luna sendiri sampai heran. Memang apa istimewanya sih, gelang kareng nasi bungkus itu? Entah memang gelangnya yang benar-benar berarti atau Dove-nya saja yang suka hiperbola.

"Aelah, baperan Lo!" sahut Luna. Bukan untuk menghina. Tapi berusaha untuk mencairkan suasana.

"Jangan lagi Lo menyepelekan hal yang punya makna besar dalam hidup gue!" ucap Dove dengan tatapan yang masih sama.

Luna menghembuskan nafasnya. "Iya-iya, maaf."

Tatapan Dove kini mulai terlihat bersahabat. Ia lantas melepaskan bola plastik setengah lingkarannya tanpa sebab.

"Nah kalo gitu, kan, enak dilihat," ujar Luna mengomentari. Padahal tidak ada yang aneh dari rambut Dove yang terlihat lembut itu. Tapi kenapa ia menutupinya dengan sesuatu hal yang sangat-sangat tidak bermutu? "Lagian Lo tuh kayak berlagak seolah-olah bukan anak sultan aja. Beli topi kek, gitu. Atau enggak pake peci."

"Gue emang bukan anak sultan," jawab Dove jujur.

"Halah, Shampoo nggak usah sok merendah Lo! Orang tua Lo aja tajir melintir kayak —,"

"Gue anak Wijaya bukan anak Sultan," lanjut Dove memotong ucapan Luna. Bukan. Bukan Dove yang memotong ucapan Luna, tapi Luna yang memotong ucapan Dove.

Luna memutar bola matanya malas. "Serah —,"

"Hello, epribadeh! I kominggg, yuhuuu."

Luna mengalihkan tatapannya, kini beralih menatap teman karib si Shampoo. Dia bukan sabun, tapi dia Bejo. Pria yang tidak tampan tapi selalu merasa paling tampan dengan rambut klimisnya.

"Gila sih gue kena tilang lagi," ucap Bejo sembari menunjukkan sebuah surat tilangan dari bapak polisi lalu lintas. "Untung aja nggak telat."

"Lagian Lo tuh nggak ada kapok-kapoknya. Selalu aja mentingin rambut klimis daripada pake helm demi keselamatan," sahut Dove sedikit jengkel. Pasalnya ini bukan kali pertama atau kedua Bejo kena tilang, tapi entah sudah keberapa puluh kalinya.

Bejo bukanlah anak dari kalangan atas. Ayahnya sudah meninggal saat Bejo masih SD, sedangkan Ibunya hanyalah penjual bubur ayam. Tapi untungnya Bejo memiliki otak yang pintar dan ia merasa senang sekaligus bersyukur bisa membuat Ibunya bangga karena prestasinya.

Dove dan Bejo memang teman yang sangat dekat, keduanya memang berasal dari keluarga yang jauh berbeda. Tapi itu tak memutuskan tali pertemanan mereka. Karena pertemanan tidak pernah memandang segala segi manapun.

"Ya gimana ya. Masalahnya jambul gue itu harus di nomor satukan," ucap Bejo sembari menyisir rambut klimisnya dengan jari-jari tangan.

Luna memandang Bejo dengan tatapan ilfeel. Heran dengan kelakuan bocah yang satu ini. Pintar sih iya, tapi kadang suka nggak ngotak.

Dasi sekian banyak penduduk di kelasnya, Dove dan Bejo merupakan teman yang cukup dekat dengan Luna selain Shilla. Hanya mereka, tidak ada lagi yang lainnya.

"Aduhh Sist, kasian ya yang sekarang nggak punya temen," ucap Bejo mengejek.

"Bodo," sahut Luna acuh. Meladeni Bejo bukanlah suatu hal yang sama menyenangkannya dengan mengkageti Budhe Mina.

Bejo menarik kursinya, melepaskan ransel lalu menoleh ke belakang. Kembali ingin berbincang dengan Dove dan Luna. "Ehh, tadi gue denger sih bakalan ada anak baru gitu. Dan kalo nggak salah sih bakal di tempatin di XI MIPA 5."

"Kelas kita dong," celetuk Dove menimpali.

"Ya iyalah masa kelasnya Bu Sa," sahut Bejo jengkel.

Bu Sa alias Bu Sarmi adalah pedagang kantin yang sangat ramah dan murah senyum, tapi sayang beliau tak pernah memberikan diskon.

Bel berbunyi, menandakan bahwa jam pelajaran akan segera dimulai. Tapi masa iya hari pertama masuk sekolah langsung pelajaran?

"Tahu dari mana Lo?" Luna kini ikut nimbrung.

"Tadi pas di lorong, kan, gue jalan di belakangnya Pak Tomi sama Bu Susi, dan mereka lagi ngomongin anak baru yang katanya bakal pindah ke kelas kita gitu."

Bu Sri sang wali kelas muncul, membuat kegaduhan para siswa terhenti seketika. Dan benar saja, dia tidak datang sendirian. Melainkan bersama seorang siswa yang mengekorinya di belakang.

Luna tidak tertarik dengan grusak-grusuk murid kelasnya yang tengah membicarakan siswa baru yang berdiri di depan kelas dengan pesona luar biasa.

Luna akan sangat excited bila yang ada di depan kelas adalah Shilla. Tapi itu sangat tidak mungkin, bukan?

"Anak-anak, kita kedatangan siswa baru. Ibu harap, kalian bisa berteman baik dengan teman baru kalian," ucap Bu Sri yang lalu menatap siswa tersebut. Mengisyaratkan lewat mata agar ia memperkenalkan diri.

"Perkenalkan, nama saya Rio Omilar Cava. Salam kenal."

"Hanya itu?" tanya Bu Sri sembari menatap siswa baru itu.

"Ya."

"Ada yang ditanyakan?" Bu Sri bertanya kepada seluruh murid didiknya yang membuat kelas rusuh seketika.

"Wah, gue jadi ada saingannya nih."

"Jangan sampe cewe-cewe jadi nggak deket-deket gue karena anak baru itu."

"Astatang, ganteng banget."

"Yaoloh jodoh hamba dateng!"

"Ih, mukanya mulus tanpa skin care!"

"Ngapain lo pake iket kepala? Mau tawuran, heh?"

"Dih, pipinya alus tanpa pilus."

"Lah, bajunya bersih tanpa kasih!"

"JOMBLO NGGAK?"

"MAU JADI COWOK GUE NGGAK?"

Luna lalu merasa risi dengan sorak teman-temannya. Ia jadi sedikit penasaran dengan si siswa baru. Luna yang tadinya hanya memainkan pulpen beralih mengangkat kepalanya.

"Sudah-sudah, jangan ribut."

Tatapan mereka bertemu. Bola mata coklat dan hitam pekat iu seolah menyatu dalam kebingungan serupa. Itu Rio, kan? Tetangga barunya? Jadi dia siswa baru di kelasnya? Jadi dia yang membuat gaduh seisi kelasnya?

****

08-02-20

Continue Reading

You'll Also Like

4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
3.4M 280K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
1M 17.3K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
500K 53.9K 23
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...