BLUE [Completed]

Listikay tarafından

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... Daha Fazla

Prolog
1. Tetangga baru
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

2. Kesalahan

265 63 10
Listikay tarafından

"Udah belum sih, Na?"

Luna berdecak sebal, pasalnya dari tadi Rio terus saja menanyakan hal yang sama. Dan itu tentu saja membuatnya terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi.

"Bisa diem nggak sih, Lo?! Kalo udah, gue juga nggak bakal di sini terus! Lagian Lo tuh bikin gue jadi nggak fokus tau nggak? Lo pikir gue dari tadi cuma ngejongkrok doang di sini?!" omelnya tanpa mengalihkan pandanggannya ke arah atas.

"Pulang aja yuk, Na." Jawaban Rio terdengar seperti seorang bocah yang tengah merengek, membuat Luna semakin dibuat kesal.

Daripada misinya gagal, jadi Luna memutuskan untuk tidak mempedulikan Rio. Memilih fokus pada dahan-dahan pepohonan. Lalu mencoba mengapai-ngapai dahan pohon jambu biji untuk mendapatkan buahnya. Ia sesekali meringis saat semut besar menggigitnya tanpa permisi.

Jadi setelah membeli bubur ayam, Luna memerintah Rio untuk menghentikan sepedanya di samping pohon jambu, mumpung daerah sekitar sedang sepi. Walaupun Rio bingung, tapi ia tetap menurut dan berujung pada penyesalan.

"Kalau ketahuan yang punya gimana coba?" Rio masih saja terus menggoceh dengan kepala yang ditengokkan ke kanan dan kiri, mencoba waspada dengan keadaan sekitar. "Lagian kenapa nggak ijin minta aja sih sama yang punya."

Luna kembali berdecak. "Lama-lama gue ludahin juga Lo dari sini!" ancamnya dengan menundukkan kepalanya, menatap Rio dari atas pohon.

Mulanya, Luna memang akan merasa sungkan dengan orang baru, mencoba bersikap baik meskipun orang tersebut menjengkelkan. Tapi dengan Rio, Luna begitu berani menunjukkan bagaimana dirinya tanpa perlu memasang topeng.

"Kalau yang punya nggak pelit, gue juga pasti udah ijin mau minta. Salah sendiri jadi orang medit," lanjutnya mulai menyumpah serapahi pemilik pohon jambu biji yang kerap kali dicuri oleh Luna.

Luna mencoba melangkah lebih ke atas agar bisa meraih jambu yang terasa menggiurkan.

"Tapi, kan, kalo gini gue jadi nggak tenang, Na. Takut ketauan. Ya walaupun sebenernya gue nggak ikut-ikutan."

"Heh!" Luna kembali menundukkan kepalanya, menatap Rio. "Rio yang ganteng, yang baik, yang imut, yang rajin menabung dan rajin sholat," lanjutnya dengan nada dilembutkan yang justru akan terasa menjijikan di telinga siapa pun. "Kalau Lo nggak banyak bacot, gue udah turun dari tadi ya. Dari tadi Lo ngajak ngomong mulu perasaan, nanya-nanya mulu."

"Lo dari tadi juga ngedumel mulu ya, betewe," sindir Rio.

"Apa Lo bilang?!"

"Nggak ada!"

"Lo nggak tau aja dari tadi gue nahan perih gara-gara semut sialan."

"Kan, ngedumel lagi tuh bocah," ucap Rio lirih.

"Finally!" teriak Luna kegirangan yang kemudian dengan gesitnya langsung melompat turun. Untuk urusan panjat-memanjat memang tidak perlu diragukan lagi. Karena dari kecil Luna sudah sering diperintah Leo untuk menggambil layangan yang tersangkut di atas pohon, dalam catatan bukan yang tinggi-tinggi banget. Yang ada nanti malah Leo yang kena santet Mamanya kalau Luna terjatuh, kalau nggak tinggi, kan, Luna nggak akan jatuh. Begitu pikirnya. Dan anehnya Luna menuruti perintah Leo tanpa protes.

Tanpa mempedulikan hygiene sama sekali, Luna langsung menggigit ujung jambu tanpa mencucinya terlebih dahulu —membuat Rio yang menatapnya bergidik.

"Mau nggak?" tawar Luna kemudian tanpa dosa dengan menyodorkan jambu yang terdapat bekas gigitannya. Jangan lupakan mulunya yang sedang mengunyah dengan semangat.

"Jorok banget sih, Lo! Sakit perut baru tau rasa." Rio yang ditawari malah menyumpahi Luna begitu saja. Dasar cowok nggak tahu diri!

"Buktinya gue udah makan jambu di sini berkali-kali tapi nggak pernah sakit perut, tuh."

Rio menatap Luna yang dengan rakus memakan jambu curian itu. Ia menatap Luna penuh ngeri. Baru berkenalan beberapa jam lalu, gadis di hadapannya ini sudah menunjukkan sikap bar-barnya tanpa sungkan.

***

Luna melangkahkan kakinya menuju teras rumah dengan Rio yang mengekorinya di belakang. Menatap sekilas ke arah Leo yang tengah mengikat tali sepatu di bangku teras. Luna menghetikan langkahnya, mengerutkan kening dengan penampilan Abangnya yang terlihat rapi.

"Hayo loh habis nyolong jambu lagi ya, Lo?" tanya Leo dengan tatapan menyelidik saat ia sudah selesai mengikat tali sepatunya.

"Enak aja! Mana ada!" ucapnya mengelak.

"Halah kebanyakan ngeles, Lo!" tanpa aba-aba, Leo memiting leher Luna. Bukan tanpa sebab, hanya saja ia merasa sangat jengkel dengan tingkah adiknya yang tidak bisa diam itu. Harusnya, kan, perempuan itu berpenampilan yang anggun, sedangkan Luna tak anggun-anggunnya sama sekali.

"Aaaa! Sakit." Dengan kekuatannya yang tak sebanding, Luna berusaha melepaskan diri.

Sedangkan Rio, dari tadi hanya menjadi mannequin mendadak. Menatap mereka dalam diam. Mulai menerka apa hubungan mereka. Atau jangan-jangan, cowok itu juga tetangga Luna yang kebetulan sudah tinggal lama di sini? Dan sudah berteman dengan Luna cukup lama? Lalu mereka bersahabat dan terjebak friendzone?

"Mamaaaa." Hingga suara teriakan Luna berhasil menyadarkan Rio dari sesi tebak-menebaknya.

Luna yang merasa kalah, memutuskan untuk mengadu pada Pamela. Percuma saja, Leo tetaplah Leo yang akan terus menggusik hidup Luna.

Hingga Ibu dari dua anak itu datang dengan tergesa-gesa, mengucap syukur saat melihat anaknya terlihat baik-baik saja. Ia kira ada hal buruk yang menimpa anaknya tadi saat mendengar teriakan Luna yang terdengar tak sabar. "Ya Allah. Kenapa lagi, sih?" tanya Pemela merasa jengah dengan kelakuan kedua anaknya yang bahkan tak pernah terlihat akur, tapi kadang bisa terlihat sangat akur dalam sekejap.

"Ini kenapa lagi piting-piting, adeknya." Pamela berjalan lebih dekat, menarik tangan Leo secara paksa. Membuat Luna lega sekaligus senang.

Rio terdiam.

Adik?

Mereka bersaudara?

Sedarah?

"Leo tuh kebiasaan tau, Ma. Nanti kalo aku kecekek beneran gimana coba." Luna menunjukkan raut wajah seolah ia memanglah seorang mahluk yang terus saja terhakimi di manapun ia berada.

"Harus berapa kali Mama bilang, nggak boleh panggil nama. Nggak sopan! Panggil Abang."

Leo memeletkan lidahnya di balik punggung Pamela, membuat Luna merasa bertambah jengkel dibuatnya. "Ma, Luna nyolong jambu lagi tuh," celetuk Leo kemudian.

"Aku tuh nggak nyolong, Ma," jawab Luna nyaris terdengar seperti rengekan. "Abangnya yang suka nuduh yang enggak-enggak."

Dari sini Rio mulai percaya, jika mereka memanglah kakak beradik. Entah kandung maupun tiri, Rio tak mengerti. Karena mereka tak ada mirip-miripnya sama sekali. Mungkin sama dengannya dan Reon yang juga tidak terlihat mirip.

"Itu buktinya bawa jambu," sahut Leo sembari menatap ke bawah. Tepatnya ke arah tangan Luna.

Luna menatap tangan kanannya, meruntuki kebodohannya karena sudah mengelak padahal terdapat bukti yang kuat. Di tangan kanannya terdapat buah jambu biji yang hanya tinggal setengah.

Dengan perasaan takut bercampur gugup, Luna mendonggakkan kepalanya. Menatap Pamela dengan ragu sebelum sorot mata tajam itu berhasil menembus retinanya.

"Kamu itu cewek, Luna!"

Dan tanpa diberitahu pun, Luna juga sudah mengerti itu.

"Jadi jangan banyak tingkah! Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu udah gede, harusnya anak seusia kamu sudah mengerti mana yang harus dihindari dan mana yang harus dilaksanakan," lanjut Pamela. Masih berusaha tidak menggegas walaupun hatinya sudah memanas.

"Maaf, Ma," jawab Luna lirih dengan kepala yang ditundukkan. Tak berani untuk sekedar menatap sang Ibu yang biasanya menciptakan tatapan hangat.

"Selalu begitu. Melakukan kesalahan dan ngomong maaf. Semua orang juga bisa melakukan itu asalkan mereka masih punya mulut. Kamu nggak perlu lagi bilang maaf kalo hati kamu nggak ikut berperan dalam ucapan itu."

Rio diam, lebih tepatnya bingung ingin bersikap bagaimana. Jadi daripada ia bukan mulut dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik ia diam. Lagi pula tadi ia sudah melarang Luna, tapi anak itu tak mendengarkan ucapannya sama sekali.

Sedangkan Leo, ia sebenarnya merasa tak tega saat Luna sedang diomeli seperti ini. Padahal ia sendiri yang mengadu. Tapi ya mau bagaimana lagi, adiknya yang satu itu memang selalu saja mencari hal yang memang seharusnya tidak perlu dicari dan dilakukan.

Leo sempat menatap Rio dengan bingung, menerka-nerka siapakan cowok yang dibawa adiknya tersebut. Lalu menyadari sesuatu, mungkin saja cowok itu anak dari sepasang orang tua yang sedang berkunjung ke rumahnya.

"Bukan hanya kamu yang nanggung ulahmu itu. Kamu suka lihat Mama sama Papa malu? Kamu suka lihat Mama Papa dituduh nggak bisa mendidik anak?"

Luna menggeleng pelan dengan kepala yang masih menunduk.

"Kalo gitu, ubah sikap kamu. Menikmati kebebasan memang perlu, tapi semua itu ada batasnya, Luna. Kalo Bu Ndar sering ke sini, bilang kalo kamu masih ngambil jambu dia. Terserah kamu mau ngapain aja, Mama udah nggak mau lagi ngelarang kamu ini itu."

Menikmati kebebasan Pemela bilang? Bagaimana bisa menikmati jika Luna saja tidak pernah mendapatkan hal itu.

Luna bukanlah sosok gadis yang akan terus saja terlihat kuat, dan Leo tahu itu. Meski bahu adiknya tak terlihat bergetar dan tak terdengar suara isakan, tapi ia yakin jika mata jernih itu kini tengah mengeluarkan butiran-butiran bening.

Merasa wejangan yang diberikan Mamanya kepada Luna sudah selesai, Leo merangkul Luna. Membawanya menuju taman belakang melewati samping rumah. Mereka memang sering begitu, Luna membuat kesalahan –Leo menggadu –Luna diomeli dan berujung menangis –Leo menenangkan Luna.

Biasanya jika saat-saat seperti ini, Leo akan membawa Luna ke kamarnya. Tapi situasi sekarang tidak memungkinkan karena ada tamu di dalam.

Sepeninggalan keduanya, Pamela menatap Rio yang masih menatap kedua punggung anaknya yang kemudian menghilang. "Maaf ya, jadi marahin Luna di depan kamu," ujar Pamela membuat Rio menatap ke arahnya.

Rio tersenyum kecil, "nggak papa kok, Tante."

Jadi sebenarnya mereka tadi sudah sempat berkenalan sebelum membeli bubur. Rio juga sudah berkenalan dengan Papanya Luna yang terkesan mempunyai tatapan tak bersahabat. Tapi untuk seorang cowok yang ia perkirakan kakak Luna itu, dia belum sempat memperkenalkan diri karena baru melihatnya saat Leo tengah mengikat tali sepatunya tadi.

"Dia anaknya emang gitu. Bandel, ngeyel, liar," jelas beliau kemudian.

Rio hanya tersenyum menangapinya. "Maaf juga karena tadi Rio nggak bisa ajak Luna pulang langsung."

"Nggak pa-pa."

Setelah itu, keluarga kecil Rio yang tadinya tengah duduk manis dan berbincang dengan Papa Luna di ruang tamu –keluar rumah. Mereka meminta pamit karena si kecil sudah merenggek, katanya kecapekan mengejar kucing dan bermain bersama kucing. Selain itu mereka juga masih harus lanjut beres-beres rumah yang belum sepenuhnya selesai.

***

Leo membawa Luna duduk di kursi yang menghadap ke arah kolam, Luna sendiri sudah memeluk Leo dengan tangis yang tak lagi disembunyikan.

Mungkin, Leo menyebalkan, tukang ngadu dan selalu saja menggusik hidupnya. Tapi di saat-saat seperti ini, saat orang tuanya menghakiminya dan mengecapnya sebagai anak gadis pembuat ulah —hanya Leo yang mampu dan mau menenangkannya.

Leo yang terlihat tidak menyayangginya sama sekali, akan berubah dalam sekejap. Bukan menjadi Superhero, tapi menjadi seorang kakak laki-laki yang akan selalu melindungi adik perempuannya.

"Udah diem," ucap Leo lembut sembari menggelus punggung adiknya. "Nggak usah nangis lagi. Nanti kalo Papa denger, emang mau dimarahin lagi?"

Luna mengeleng. Sudah cukup Mamanya saja yang marah, jangan sampai Papanya yang jarang marah itu menunjukkan kemarahannya. Ia lantas berusaha meredakan tangisnya, tapi tetap terasa susah. Dadanya masih terasa sesak, air matanya seperti belum puas menunjukkan wujudnya. Apalagi jika mengingat ucapan Mamanya tadi, semakin ingin nangis kejer saja rasanya.

"Mama gitu juga karena peduli. Makanya jangan jadi anak jahanam."

Luna masih saja terisak. Leo rasa, memberikan ketenangan dengan cara menggelus belakang kepala Luna sudahlah cukup. Jadi dengan gerakan tangan tanpa henti, ia menunggu Luna meredakan tangis dengan sendirinya.

Sampai perlahan tangisan itu mulai mereda. Leo kembali mengingat laki-laki yang cukup tampan tadi. Jadi untuk menghilangkan rasa penasarannya dan mencairkan suasana, ia memutuskan untuk bertanya. "Cowok yang tadi siapa, sih?"

"Yang mana?" Luna bertanya balik dengan suara serak. Ia menggesek-gesekan wajahnya di dada bidang Leo. Merasa heran, Leo yang biasanya bau ketek kini terasa sangat wangi.

"Yang di teras tadi."

"Itu tetangga sebelah yang baru aja pindah, Rio namanya."

Leo hanya berhooh ria, hingga tiba-tiba ia terpekik kaget dan langsung berdiri begitu saja membuat Luna hampir terjengkang. "Astaga!"

Luna menatap Leo dengan heran sekaligus jengkel. "Kenapa, sih?"

"Gue, kan, mau jalan! Kenapa malah kelupaan gini." Leo lalu menunduk, menatap kemejanya yang basah oleh air mata Luna bercampur dengan ingus. Ia sudah berdandan seganteng, sekece, sewangi dan sekeren ini tapi malah tampilannya hancur akibat ulah Luna. "Shit!"

"Mau kemana?" tanya Luna dengan mimik tak berdosa.

"Jalanlah, mana keburu telah lagi. Udah ah gue ganti baju dulu." Leo sudah siap melangkah saat suara Luna kembali terdengar.

"Ikutt."

"Nggak! Ini urusan cowok ya."

Enak saja si Luna main ikut-ikut. Mana ada orang mau main di kintilin adiknya. Itu sih hanya berlaku saat mereka masih kecil saja.

"Ikut." Luna bersuara dengan gaya merenggek.

"Nggak, Luna," jawab Leo dengan tegas.

"Tapi nanti kalo Mama marah lagi, gimana?"

Leo terdiam. Memang terkadang jika Pamela sudah marah tak cukup sekali saja, tapi terus saja diulang dengan kata yang sama. Tapi sebenarnya tak selalu begitu, sih.

Leo tersenyum sumringah saat ide cemerlang melintasi otaknya. Ia lantas merogoh celana jeansnya, menggambil dua uang merah dan menyerahkannya pada Luna. "Nih."

Luna menaikkan sebelah alisnya.

"Beli milkshake sana."

Luna tersenyum senang, menerima uang pemberian Leo dengan riang lalu memeluknya sekilas seraya berucap, "makasih Abangku sayang."

Kalo gini aja sok manis, sok sayang.

"Tapi uangnya jangan semua buat jajan milkshake, nanti kalo flu Mama marah lagi," peringat Leo saat Luna siap melangkah.

"Oke!" Setelah itu Luna melesat dengan semangat begitu saja, membuat Leo menggelengkan kepalanya, heran.

***

Luna melangkah dengan riang. Memang kuasa kenikmatan milkshake coklate sangat besar, bisa dengan mudah menghilangkan bad moodnya dengan cara instan.

Dan sampai sekarang ia masih tak mengerti mengapa bisa sejatuh cinta ini dengan milkshake coklate, padahal notabenenya ia tak menyukai coklate.

Luna juga tidak menyukai coklate dalam bentuk apapun, misalnya seperti pudding coklate, brownis coklate, susu coklate dan lainnya. Tapi ia bisa sangat suka dengan milkshake coklate.

Senyumnya bertambah lebar saat melihat Budhe Mina tengah menggendong penuh sayang koceng orennya.

Ia berjalan mendekat, menghitung mundur dari angka lima. Lalu, berteriak histeris. "KODOK!"

"Kodok. Eh kodok. Kodok ngorek, eh kodok ngorek," latah Budhe Mina membuat si koceng oren terkejut dan melompat turun sembari menggeong.

Luna baru saja ingin tertawa saat sebuah peringatan terdengar. "Luna."

Luna menoleh, menatap Leo yang ternyata sudah berdiri di belakangnya. Ia menyenggir, tanpa rasa bersalah.

"Jangan ngulah lagi."

"Iya."

"Jangan iya-iya aja."

"Iya."

"Sana."

Luna lalu kembali melangkah, menggembangkan senyumnya sembari membayangkan membeli milkshake sepuasnya.

"Heran, nggak ada kapok-kapoknya tuh anak," lanjut Leo kemudian yang diangguki Budhe Mina tanpa diketahui Leo.

****

02-02-20

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

1.8M 74.8K 34
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
280K 26.3K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
545K 41.8K 28
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...