51% dari kalian sudah ter-brainwashed
Rasanya lambat sekali berganti dari satu hari ke hari yang lain.
Setelah panjang lebar membicarakan Jaemin kemarin, orangtuaku datang saat Mark belum pulang. Ya, panjang masalahnya karena kami cuma berdua di dalam apartemen. Untung aku pintar mengarang cerita bohong sampai mereka percaya kalau Mark sekarang kerja sambilan jadi delivery bubur.
Tapi tidak hanya sampai di situ, ibuku bersikeras Mark harus makan malam dengan kami. Lalu, ya, kami makan malam bersama seperti keluarga normal. Walaupun Mark tampak gelisah ingin segera pergi dan aku banyak melamun. Demi apapun, aku penasaran apa yang sudah ditemukan Liv.
Aku lelah, aku ingin semua ini cepat selesai.
Karena Liv menolak membicarakan hal ini lewat telepon atau apapun selain bertemu langsung, aku berusaha mencari waktu yang tepat. Tapi kuliahku tidak bisa diganggu gugat, Liv juga intensif home schooling. Aku tidak tahu sekarang Mark masih suka mengekor Liv atau tidak, tapi sepertinya dia sudah berhenti. Tidak ada yang memancing keributan di 'ANTI Mark Lee'.
Entah aku harus lega atau malah merasa curiga mereka bertengkar sungguhan. Jujur, ada saat-saat tertentu aku merasa mereka menyembunyikan sesuatu dariku ㅡwalaupun itu bukan hal negatif.
Dua hari sesetelahnya, alias sore ini, akhirnya aku bisa bertemu Liv. Aku yang harus ke rumahnya karena dia bilang kami butuh banyak buku berat dan Liv belum boleh mengangkat beban berat dulu. Agak aneh rasanya ke tempat ini tanpa Mark. Aku berjalan cepat di koridor apartemen Liv karena sudah telat satu jam, tapi dia sejauh ini belum protes.
"Ish, apa lagi?" gerutu Liv begitu membuka pintu apartemennya.
Apa lagi?
Aku kan padahal cuma mengetuk pintu tiga kali. Tatapan malas Liv berubah saat melihatku.
"Oh- Alice, sorry," ujarnya, merapikan rambut yang berantakan.
"Apanya yang apa lagi, Liv?" tanyaku.
"Nggak, bukan apa-apa. Masuk masuk," dia menarikku ke dalam rumah lalu menutup pintu. Tangannya aneh, lebih hangat dari biasanya.
"Ng... Liv, kamu sakit?" tanyaku, melihat wajahnya memang lebih pucat.
"Hah? Nggak. I'm fine, very well," dia terkekeh garing. Bodoh, ketahuan bohongnya.
Aku menyentuh jidatnya yang samar-samar ada bentuk cetakan persegi panjangㅡ bekas fever pact. Benar kan, agak panas. Liv menghindari kontak mata denganku.
"Kamu demam ya?" tanyaku
"Yahㅡ gitu deh. Tapi aku nggak apa-apa, cuma demam, penyakit orang susah," cetusnya sambil berkelit. "Sebentar juga sembuh.
Biasanya rumah ini rapi, tapi sekarang berantakan sekali. Aku mengikuti Liv yang menyeret sandal pororonya berjalan ke dalam. Meja di ruang tengah apartemen penuh buku-buku tebal, sampah bekas makanan, laptop, dan lain-lain. Sepertinya Liv bekerja keras selama dua hari belakangan.
Sampai sakit?
"Yakin nggak mau ke dokter?" tanyaku, melihat fever patch dan termometer tergeletak di kursi.
"Nggak usah, aku udah sembuh," kilah Liv sambil mengambil benda itu dan membawanya pergi.
"Kok nggak bilang sih kamu sakit?" aku menyentil biji semangka di telapak tangan ㅡmungkin menempel saat aku menyingkirkan sampah di lantai tadi.
"Cuma demam, Alice, nggak apa-apa," sahutnya.
"Mungkin aku keasyikan liat rekaman CCTV dan baca buku, jadi telat makan dan kurang tidur. Aneh, kondisiku sekarang nggak sekuat dulu."
Padahal aku kalau demam sedikit saja harus bed rest, jadi aku diam saja sebagai orang lemah yang sesungguhnya. Setelah ruangan ini bebas sampah, kami duduk menghadap laptop di sebelah buku catatan penuh tulisan cakar ayam Livia. Dengan bersemangat dia menunjukkan video di layar laptop.
"Liat iniㅡ dari bajunya, Na Jaemin kayaknya nggak punya saku kan?" ujar Liv saat laptop menampilkan Jaemin keluar dari Diabolos membawa guci abu kremasi. "Nah, ini video berkali-kali dia datang. Cuma guci itu juga yang dibawa."
"Hm... Jadi dugaan sementara kita waktu itu benar? Konektornya abu itu sendiri?" tanyaku.
"Iya. Mungkin dicampur sesuatu di Diabolos," timpal Liv. "Apa persisnya, aku nggak mau tau."
"Coba aku liat," aku memangku laptop, melihat lebih detail beberapa video yang sudah dipilah oleh Liv.
Hatiku mencelos saat melihat Jaemin dalam setiap video bergerak tampak berbeda. Cara berjalannya mengingatkanku pada mendiang Na Jaeyoon, bahu agak melengkung ke depan karena dulu dia sedikit lebih tinggi dari Jaemin. Tapi tatapannya beda, bukan Jaeyoon atau Jaemin ㅡtampak dingin dan tajam.
Benar kata Liv, makhluk itu hanya membawa guci kremasi. Di video paling akhir Jaemin memakai kaos dan celana tidur dengan bercak noda yang sepertinya darah. Aku sependapat dengan Liv, baju Jaemin tidak ada sakunya. Dia tidak memakai gelang, kalung, atau benda mencurigakan lain. Hanya membawa guci.
"Gimana?" tanya Liv setelah memastikan aku sudah menonton semua potongan video-nya.
Aku menoleh padanya.
"Sejauh ini kayaknya semua pendapatmu benar," ujarku.
"Tapi sekarang pertanyaannya, kalau konektornya abu Na Jaeyoon, gimana cara merusaknya?"
Maksudku, kalau bentuknya benda padat seperti kalung atau gelang kan lebih mudah merusaknya. Tapi, abu kremasi?
"Nah, itu yang aku berusaha cari tau," Liv tersenyum dengan wajah kusutnya. "Ada beberapa opsi, tapi kayaknya ini yang paling cocok."
"Blessed salt?" aku membaca tulisan Liv di sudut buku catatannya. Blessed salt itu apa? Garam suci?
"Ya, menurut kepercayaan kristen ini bisa mengusir setan dan menangkal roh jahat," jawab Liv.
"Kamu kristen?" tanyaku. "Aku lebih sering denger tentang air suci daripada garam."
"Hm... harusnya sih. Tapi aku udah nggak pernah ke gereja sejak bertahun-tahun lalu," ujar Liv. "Agak bingung juga, di mana bisa dapet blessed salt yang bagus?"
"Sebentarㅡ kalau udah ada terus gimana? Dicampur di abunya?"
"Sejauh ini aku berpikir kayak gitu. Dicampur terus dibakar ulang," jawab Liv serius. "Tapi harus sejauh mungkin dari Na Jaemin, aku takut ada apa-apa."
Kami terdiam sejenak. Merenung dan berpikir tentang semua teori yang baru kami bicarakan. Terdengar sederhana, sebenarnya. Tapi tetap saja aku takut dan tidak percaya diri.
"Diantara kita semua, kayaknya cuma Mark yang masih sering ke gereja," ucapku. "Tapi dia nggak boleh tau, ya?"
Liv menggeleng. "Kita nggak boleh ambil resiko."
"Talking about him, dia udah nggak ganggu kamu? Atauㅡ jangan bilang kalian bertengkar beneran lagi?" selidikku.
"Ey, jadi pacar dulu baru boleh kepo," Liv tertawa kecil. "Bercanda. Nggak ada apa-apa."
Oke, dia tidak bohong, mereka tidak sedang bermusuhan sungguhan. Tapi dari gerak-geriknya aku merasa dia menyembunyikan hal lain. Benar kan, apa kira-kira?
"Hm... okay. Back to blessed salt," ujarku.
"Kayaknya nggak harus sering ke gereja dulu deh, mungkin kita bisa minta ke pendeta?" timpal Liv.
"Keaslian dan kesucian garamnya harus kita sendiri yang memastikan, aku nggak percaya kalau minta tolong orang lain."
"Oke, anggap aja kita bisa minta ke gereja. Tapi hal lain juga harus dipertimbangkan, misalnya gimana cara kita ambil guci Na Jaeyoon? Selain itu kayaknya harus ada yang jaga Jaemin deh. Aku... aku takut dia kenapa-kenapa waktu kita bakar ulang abunya," aku berkata panjang lebar.
"Ah, iya juga. Gimana pun roh jahatnya tinggal di tubuh Na Jaemin. Pasti dia nggak mau diusir segampang itu," Liv menanggapi. "Kalau soal abu kremasi kayaknya bisa kita sogok staff lagi kayak waktu itu."
Tiba-tiba aku teringat saat Jaemin kesakitan dan berdarah-darah tempo hari. Aku takut Jaemin tidak kuat saat kami berusaha memisahkan iblis dari tubuhnya. Tolong, perasaanku tidak enak.
"Dulu kan waktu terkontaminasi iblis, Lucifer udah meninggal, tapi sekarang Jaemin masih hidup. Liv, Jaemin pasti kuat kan?"
Liv menatapku, tiba-tiba tampak tidak yakin.
"We'll never know if we never try..."
"Tapi... nyawa Jaemin bukan bahan percobaan," aku menggeleng frustasi.
"Ck- Alice, kita nggak punya pilihan lain!" tukas Liv.
"Makanya kita harus gerak cepat. Kalau bisa secepatnya kita cari blessed salt ㅡke gereja manapun. Habis itu atur semuanya di krematorium, dan buat memastikan Jaemin aman selama kita bakar ulang abunya mungkin kita butuh Markㅡ"
"Sebentar, Liv, berhenti," aku mengangkat tangan supaya Liv berhenti menyuarakan rencananya. Ada satu hal yang masih mengganjal.
"Kenapa? Ada yang kamu nggak setuju?" tanya Liv.
"Bukan. Aku- aku cuma mau memastikan sesuatu," ujarku tercekat.
"Apa?"
"Kalau semua itu kita belum tau hasil dan efek sampingnya, berarti ada kemungkinan gagal?" tanyaku.
"Aliceㅡ tolong jangan berpikir ke arah negatif dulu. Kita nggak ada pilihan lain," ulang Liv penuh penekanan.
"Oke. Oke, aku ngerti," timpalku. "Tapiㅡ apa kemungkinan terburuknya?"
Sejenak Liv diam menatapku, lalu berkata lirih.
"Aku rasa tanpa aku bilang pun kamu udah tau."
Kengerian merayapiku, seolah bisa membaca isi kepala Liv hanya dari sorot matanya. Perlahan bibirku bergerak menyuarakan apa yang saat ini sangat kutakutkan;
"Berarti, selain berharap Jaemin bebas dari roh jahat selamanya, seandainya dia nggak kuatㅡ"
"Alice, kamu harus optimis," potong Liv.
"...aku juga harus siap kehilangan Jaemin?"
Pertanyaanku menggantung di udara. Seakan-akan itu hal retoris yang tidak butuh jawaban. Aku bertanya pada diriku sendiri ㅡapa aku berani mengambil resikonya?
ㅡtbc
"Don't forget a single thing
One night I'll probably be the star
to comfort you
It'll be more natural if we let it flow
But, I don't want to sound like we're about to depart..."