"Daryl?"
Cowok itu tersentak dari buku yang ia baca. Ia mengambil salah satu buku yang dimiliki oleh Adel dan membacanya agar tidak bosan. Daryl tersenyum melihat Adel sudah bangun, ia menggeser kursi bersamanya ke dekat kasur Adel.
"Kamu ngapain di sini?" Adel menatap Daryl seakan monster yang dapat membahayakannya.
"Saya cuma bantu Mamamu jagain kamu di sini. Papa Mamamu ke kantor, Rafa ke sekolah, jadi daripada kamu sendiri, saya jagain kamu." Daryl berakhir dengan cengiran. "Oh ya, tadi saya pinjem novel kamu yang ini. Gak pa-pa kan?" tanya Daryl seraya menunjukan novel berjudul The Girl on The Train.
Adel tersenyum kecil. "Iya gak pa-pa. Terus, gimana ceritanya kamu bisa di sini?"
"Kan tadi saya mau jemput kamu ke kampus, terus, Mamamu cerita deh."
"Makasih ya Daryl, maaf ngerepotin."
"Gak kok. Tadi, Mamamu bilang dia buatin bubur buat kamu. Kamu mau makan sekarang?"
"Boleh," jawab Adel lalu membuka selimutnya dan beranjak dari kasur. Namun Daryl menyuruhnya duduk perlahan di kasur. "Kamu tidur aja, saya yang bawain buburnya ke sini." Daryl mematikan AC kamar Adel.
"Kok dimatiin AC-nya?"
"Kalo lagi demam, jangan di udara dingin. Kalo bisa kamu harus keringetan." Daryl melepas sweater yang ia kenakan, menyisakan cowok itu dengan kaos hitam di badannya. "Nih, pake aja."
Adel tersenyum dan menerima sweater besar berwarna biru dongker itu. Ia pun mengenakan di tubuhnya.
"Baru dicuci kok, tenang aja." Daryl terkekeh.
"Iya, wangi kok," ujar Adel, membuat Daryl tersenyum.
"Ya udah, saya panasin dulu ya buburnya di bawah. Pake telor dadar mau gak? Eh, apa sih, kok telor dadar."
Adel tertawa. "Iya gak apa-apa. Terserah kamu Ryl."
"Oke, tunggu di sini ya." Daryl pergi meninggalkan Adel dengan senyumnya. Adel pun kembali merebahkan dirinya di kasur, menarik selimut sampai ke bahunya. Adel tersenyum selebar-lebarnya, ia suka mengenakan sweater Daryl, terutama aromanya yang khas Daryl.
Kayak lagi dipeluk Daryl kalo begini, batin Adel. Ih, apaan sih.
--
Setelah makan bubur, Adel tertidur lagi. Kini ia membuka matanya, merasa lebih baik dari sebelumnya. Tubuhnya mulai berkeringat juga dan kepalanya tidak seberat sebelumnya. Ia duduk di kasur, menatap sekeliling. Masih siang, namun Daryl tidak ada di kamarnya. Ia menoleh ke pintu, tas kuliah Daryl masih tersender di tembok dekat pintu kamar Adel. Ke toilet kali, ya?
Adel pun mengibaskan selimut yang menutupi dirinya, lalu beranjak dari kasur. Ia sudah tidak peduli dengan penampilannya yang pucat dengan rambut berantakan. Ia terlalu sakit untuk memikirkan hal itu.
Begitu ia membuka pintu, ia mencium aroma masakan yang membuat perutnya berbunyi seketika. Bibirnya tersenyum, membuatnya tidak sabar untuk melihat siapa yang sudah repot-repot memasak untuknya. Dan benar saja, sesampainya di ruang makan, ia melihat Daryl tengah sibuk menyiapkan nasi goreng sosis dan telur di meja makan.
Daryl mendongak, menatap Adel yang sedang berdiri di dekat meja makan. Daryl pun cengengesan. "Pas banget kamu bangun. Nih makan. Saya gak tau sih rasanya. Tapi dijamin gak bakal gak enak kok."
Adel terkekeh. Ia ingin sekali memeluk Daryl erat dan mengucapkan terima kasih banyak. Ia senang ada Daryl di dekatnya. Perlakuan sederhananya yang manis bisa menjadi obat bagi Adel.
"Kok kamu baik banget sih? Tapi ini porsinya banyak banget buat kita berdua."
"Ini buat Rafa juga kalo pas dia pulang sekolah nanti." Adel sudah tidak mengerti lagi betapa luluh hatinya ia pada Daryl yang juga memperhatikan keluarganya. "Lagian kalo masih ada sisa juga, bisa dipanasin buat makan malem kamu sama Rafa."
Adel terkekeh. "Iya, gampang. Makasih banget ya Daryl, saya gak tau lagi harus gimana."
Daryl tertawa. "Ya gak usah gimana-gimana. Makan aja. Abis itu kamu tidur lagi ya." Adel mengangguk sambil tersenyum manis, membuat jantung Daryl berdebar. Kamu gak usah ngapa-ngapain Del. Senyum dan ketawa terus aja juga udah bikin saya berterimakasih banyak-banyak kok.
Mereka pun melahap nasi goreng buatan Daryl yang tidak terlalu buruk rasanya untuk dimakan. Porsi makan Adel juga tidak sebanyak biasanya, nafsu makannya berkurang saat sedang sakit dan Daryl mengerti. Cowok itu juga tidak ingin memaksa Adel makan banyak-banyak. Sudah mau makan saja sudah bagus.
"Jadi, kamu bolos kuliah dong?"
Daryl mengangguk. "Gak pa-pa. Kan bolosnya sama kamu." Adel terkekeh. "Kita kayaknya gak pernah sekelas, ya. Saya kok kayaknya gak pernah liat kamu di kampus."
"Kayaknya sih begitu. Mungkin ada satu dua kelas yang kita gak tau kalo kita barengan."
"Mungkin," balas Daryl. "Del, saya mau minta maaf ya, soal mental saya yang pengecut gak berani bilang suka ke kamu waktu itu," tambah Daryl. "Saya gak pernah kayak gini sebelumnya. Saya selalu berani hadapin resiko ditolak kalo suka sama cewek. Tapi, kalo sama kamu ... saya gak bisa hadapin resiko itu. Saya takut banget kamu ilfeel dan malah bikin hubungan kita renggang. Tapi saya salah. Maafin saya, ya."
Adel tersenyum kecil dan menggeleng. "Kamu gak perlu minta maaf. Harusnya saya yang minta maaf udah berlebihan marah-marahnya sama kamu. Gak seharusnya saya marah-marah lebay gitu."
"Gak pa-pa, kan waktu itu kamu lagi emosi." Daryl terkekeh. "Jadi, kita baikan lagi, ya?"
Adel tersenyum lebar, sampai terkekeh. "Iya Daryl. Saya juga sebenernya gak kuat diem-dieman sama kamu."
"Apalagi saya." Mereka berdua terkekeh, lalu kembali fokus pada makanan masing-masing. Sebenarnya yang fokus hanya Adel, Daryl kurang fokus. Sambil makan, sambil melirik-lirik sedikit ke arah Adel.
"Oh ya Ryl." Daryl langsung pura-pura fokus ke makanannya. "Kamu kalo mau main PS gak apa-apa kok daripada bosen. Mau nonton juga boleh. Terserah."
"Iya gampang. Saya baca novel kamu aja deh, seru ceritanya." Daryl cengengesan dan Adel juga. "Obat kamu di atas ya?"
"Oh iya. Nanti minum di atas aja deh."
"Iya." Mereka berdua kembali makan lagi, namun sama-sama menahan senyum mereka yang memaksa untuk melebar.
--
Adel terbangun, lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya dalam hari ini. Hari sudah mulai gelap. Adel tidak menyangka ia tidur selama itu. Ia juga mendapati Daryl tertidur di kursi dengan kepalanya di atas meja belajar Adel. Adel jadi tidak tega melihat Daryl sudah menjaganya penuh hari ini. Gadis itu pun menghampiri Daryl, membangunkannya perlahan.
"Daryl ... bangun." Gadis itu menggoyang-goyangkan tubuh Daryl. "Daryl."
Cowok itu membuka matanya, lalu sedikit tersentak melihat Adel membangunkannya. "Eh, maaf saya ketiduran," ujar Daryl dengan suara orang baru bangun.
Adel terkekeh. "Kamu pulang, gih. Udah malem. Rafa pasti udah pulang, kan?"
"Iya. Mamamu juga, kok."
"Ya udah kamu pulang gih, istirahat. Maaf ya, udah repotin kamu."
"Santai aja." Adel tersenyum. "Ya udah deh saya pulang, kasian juga Ibu sendiri di rumah."
"Iya, kamu temenin Ibu kamu aja." Adel kembali ke kasurnya dan duduk di sana.
"Kamu gimana sekarang?"
"Mendingan banget, kok. Udah gak pusing dan lemes lagi. Mungkin besok udah bisa masuk kuliah."
"Jangan Del. Istirahat dulu. Masuknya lusa aja. Jangan terlalu dipaksa." Adel tersenyum. "Ya udah, saya pulang, ya."
"Eh, sweater kamu Ryl."
"Gak apa-apa, pake aja."
"Jangan. Ini buat kamu naik motor kan? Pake aja, nanti kamu masuk angin. Saya bisa pake punya saya kok."
Daryl tampak berpikir. "Oh iya ya. Saya lupa hehe."
Adel tersenyum, lalu ingin membuka sweater-nya. Namun, ia teringat ada baju yang ia kenakan di dalam sweater, kalau ia membuka sweater, baju itu pasti ikut terbuka. "Daryl, boleh minta tolong gak?"
"Apa, Adel?"
"Tolong pegangin baju saya dong hehe."
Daryl terkekeh. Ia pun memegang keujung baju warna hitam yang dikenakan Adel. Cewek itu membuka sweater, dan Daryl memejamkan matanya erat. Begitu selesai membuka, Adel terbahak melihat wajah Daryl.
"Kamu ngapain sih nutup mata gitu?"
Daryl membuka matanya. "Eh udah?" Cowok itu terkekeh. "Ya takut aja kalo ada salah liat."
"Enggak lah. Kan udah kamu pegangin. Dasar." Daryl terkekeh, begitu juga dengan Daryl. "Ini sweater-nya, makasih ya."
"Sama-sama." Daryl menerima sweater miliknya. Cowok itu menatap Adel sambil tersenyum, tanpa mengatakan apapun, membuat Adel menatapnya dengan bertanya-tanya. "Tolong jangan pukul saya, ya." Ucapan Daryl membuat dahi Adel berkerut.
Daryl mencium kening Adel cukup lama. Perlakuan Daryl memberikan sengatan tersendiri ke jantung dan perut Adel. Gadis itu membeku, namun juga tidak ada penolakan darinya.
Daryl akhirnya melepas kecupan itu. Bibirnya tersenyum, sementara Adel masih memandang Daryl dengan tatapan polos tidak percayanya. Daryl menatap mata Adel lekat-lekat. "Saya sayang banget sama kamu."
Senyuman lolos dari bibir Adel. Spontan, tanpa dipaksakan. "Cepet sembuh ya, Del. Saya pulang ya. Bye!"
Daryl langsung pergi meninggalkan Adel yang masih membeku. Begitu pintu ditutup dan Daryl menghilang dari pandangannya, Adel baru membalas ucapan Daryl. "Bye." Dengan senyum tipisnya.
****
selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan! mohon maaf lahir batin yaa semua:)
oh ya, sampai bertemu di chapter selanjutnya ya a.k.a chapter terakhir:p