"Permisi mbak, mau cari buku apa?"
Perhatian Adel dari pilihan-pilihan buku masak yang tertera langsung teralihkan seketika mendengar suara tersebut. "Saya cari—" ucapannya terpotong, detik berikutnya ia terbahak bersamaan dengan Daryl. "Ih kamu, bikin kaget aja."
"Udah lama kamu nggak ke sini," ucap Daryl. "Kali ini disuruh Mama, ya?" Daryl dapat menebaknya karena Adel sedang menjelajah buku-buku masak.
Adel mengangguk. "Kalo Mama kasih izin saya beli novel sering-sering, pasti saya bakal sering ke sini deh." Daryl tertawa, begitu juga dengan Adel. "Ngomong-ngomong, Ivan bilang makasih buat bukunya."
"Oh iya, sama-sama. Lain kali saya main ke sana deh."
Senyum Adel terbit. "Iya, Ivan nanyain kamu juga."
Daryl mengangguk dan tersenyum, memamerkan lesung pipinya. "Ya udah, saya ke sana dulu ya. Harus liat-liat customer lain juga."
Sebenarnya Adel menyayangkan kepergian Daryl dan sebetulnya Daryl juga masih ingin berlama-lama dengan Adel, namun ia memaksa untuk menolak keinginannya. Daryl tidak ingin semakin menyukai Adel karena entah bagaimana firasatnya mengatakan kalau ia tidak akan bisa menggapai Adel. Atau ini hanya karena dirinya yang kurang percaya diri? Entah, Daryl tidak begitu ingin memikirkannya.
Namun Adel pun tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja kalaupun Daryl pergi. "Oke, makasih ya udah sempet samperin saya ke sini."
"Iya. Sampe ketemu lagi nanti, Del."
"Iya Ryl." Daryl tersenyum sekali lagi dan pergi meninggalkan Adel. Adel menghela napas berat, namun kembali mengabaikan perasaan tidak nyamannya begitu Daryl pergi.
--
Hari sudah malam dan shift kerja Daryl sudah selesai. Cowok itu merenggangkan tubuhnya setelah mengganti pakaian. Ia begitu lelah dan yang ia pikirkan sampai rumah adalah tidur. Ia bahkan tidak begitu menghiraukan perutnya yang keroncongan. Tidur adalah sesuatu yang sangat Daryl butuhkan saat ini.
Namun begitu ia sampai di depan Booktopia, tubuhnya yang ngantuk dan lelah seketika seakan sudah di-charge secara penuh. Ia melihat Adel tengah berdiri di depan toko. Hujan mengguyur Jakarta sejak sore dan baru mulai berhenti sedikit demi sedikit dari sekarang. Daryl tahu Adel pasti menunggu hujan reda, namun Daryl tidak tahu kalau sedaritadi Adel berdiri di sini untuk menunggu hujan reda.
"Adel?" Daryl menghampiri Adel yang kini tampak kedinginan. Senyum gadis itu langsung membuncah dan sukses membuat Daryl ikut tersenyum. "Kamu nunggu hujan reda daritadi?"
Adel mengangguk. "Tadi saya baru jalan bentar, tiba-tiba hujan. Jadi saya lari lagi ke sini buat berteduh. Nggak taunya ujannya lama banget."
"Kenapa gak masuk aja dulu ketemu saya? Seenggaknya kan saya bisa kasih kamu tempat duduk sama teh anget."
"Tadinya saya mau begitu, tapi gak enak, soalnya kamu keliatan lagi sibuk banget."
"Ya ampun Adel," ujar Daryl. "Sesibuk-sibuknya saya pasti saya bakal luangin waktu kok buat kamu."
Adel tersenyum. Ucapan sederhana Daryl selalu sukses membuat gadis itu tersenyum. "Ya udah gak pa-pa Ryl, lagian juga ujannya udah mulai berhenti nih."
"Saya anter pulang ya?" jantung Adel langsung terasa jatuh dari tempatnya. Adel tahu ini berlebihan karena ia juga sudah pernah diantar Daryl pulang dengan selamat sampai di rumah. Adel juga tidak mengerti, mengapa setiap pergerakan Daryl selalu membuat jantung cewek itu bekerja di luar batas wajar.
"Eh e-enggak usah. Saya naik busway aja."
"Pasti penuh sama orang-orang pulang kantor, Del," balas Daryl tenang. "Udah naik sama saya aja. Kan naik motor juga bikin kamu cepet sampe rumah." Daryl pun terkekeh.
"Tapi kamu gak capek apa? Kan baru selesai kerja."
"Gak kok, biasa aja." Wajah Daryl sangat meyakinkan kalau cowok itu tidak berbohong.
"Hmm ya udah deh. Tapi bener ya, gak ngerepotin?"
Daryl terkekeh. "Gak kok. Yuk." Daryl justru senang kalau mengantar Adel pulang. Bersama Adel, Daryl seketika lupa dengan lelah dan letih yang ia rasakan. Kini cowok itu dengan kuat-kuat menahan senyumannya. "Oh ya Del," Adel yang sedang mengenakan helm kini menatap Daryl. "Tapi temenin saya makan dulu, ya?"
--
Daryl dan Adel kini tiba di sebuah tempat makan. Berbeda dengan Reno yang mengajak Adel makan di sebuah restoran mewah, Daryl justru mengajak Adel makan di tempat makan pinggir jalan. Tidak bermaksud untuk mengetes apakah Adel cewek matre atau apapun, namun itu karena Daryl ingin sekali makan lele goreng pinggir jalan dan Adel juga tampak semangat dengan tawaran Daryl. Tak lupa, kerang hijau juga menemani makan malam mereka.
"Ryl, saya mau tanya deh," ucap Daryl membuat jantung Daryl berdebar. "Saya mau tanya pendapat kamu. Kalo misalnya nih kamu punya sahabat cewek, dan cewek itu suka sama kamu. Terus dia terang-terangan bilang ke kamu kalo dia suka kamu, respons kamu bakal gimana? Tapi jujur, ya."
Sebenarnya Adel tidak ingin membahas ini, hanya saja kedekatannya dengan Reno belakangan ini sepertinya menghancurkan tembok kokoh yang dibuat Adel untuk tidak membawa sedikitpun perasaan pada Reno. Adel ingin sekali membenci cowok itu, namun terasa sulit.
"Ya tergantung sih. Kalo saya emang suka juga sama itu cewek, pasti dengan senang hati saya terima," jawab Daryl. "Tapi kalo gak ada perasaan apapun lebih dari temen ... gimana, ya? Paling saya cuma bisa bilang makasih dan nolak secara halus. Kenapa emangnya, Del?"
"E-Enggak, temen saya lagi ngalamin hal kayak gitu." Adel menelan ludahnya.
Daryl terkekeh. "Ceritain dong. Dia bilang suka sama sahabatnya?"
Adel mengangguk ragu. "I-Iya, namanya Winda." Lagi-lagi cewek itu menelan ludah. "Jadi awalnya Winda ini udah suka sama sahabat cowoknya, tapi dia gak pernah bilang apapun ke cowok itu karena waktu itu tuh cowok udah punya pacar. Pas lulus SMA, cowok itu putus sama pacarnya dan jadi makin deket sama Winda, walaupun cuma sekedar di chat aja. Abis itu si Re—eh maksudnya, cowok ini, kayak susah ditebak gitu, jadi si Winda suka ngegalau di sosmednya dia.
"Eh gak taunya si cowok itu peka! Cowok itu langsung chat Winda dan ujung-ujungnya nanyain dia—ngedesek-desek gitu—tanyain kalo Winda itu suka sama dia atau enggak. Awalnya sih si Winda gak mau ngaku, tapi karena didesek-desek, akhirnya Winda ngaku."
"Wow." Daryl mengangguk. "Kayaknya tuh cowok juga suka sama Winda ya makanya dia sampe ngedesek gitu?"
Adel meringis. "A-Awalnya sih si Winda mikir begitu dan cowok itu juga ngaku kalo dia kadang suka sama Winda, kadang enggak. Susah juga sih karena pas itu kondisinya dia udah punya pacar. Winda sih gak ngeharap muluk-muluk, kayak bisa jadian sama tuh cowok, enggak. Tapi Winda cuma pengen tetep punya hubungan baik sama cowok itu. Tapi kamu tau gak akhirannya apa?"
Kedua alis Daryl terangkat. "Apa?"
"Dia malah ngejauhin saya! Terus gak pernah bales chat, kalo diajak ketemuan juga ogah-ogahan, terus dia malah umbar kejadian itu ke mantannya. Tau gak, mantannya tuh tipe cewek anak eksis di sekolah yang temennya banyak dan mulutnya ember. Malu dong saya, untung aja waktu itu udah lulus, jadi gak ketemu banyak temen lagi."
Kini kedua alis Daryl menyatu. "Ngejauhin kamu? Winda kali maksudnya?"
"Ah iya, Winda." Adel menelan ludah dan merutuki dirinya sendiri. "Iya sorry sorry, maksudnya Winda. Nah itu, brengsek kan?" Adel menyesal membahas ini, karena hal ini membuatnya naik pitam lagi mengenai Reno.
"Jadi maksud itu cowok apa ya? Nanyanya ngedesek, begitu dijawab, malah ngejauhin. Apalagi dia sahabatnya Winda kan? Kenapa setega itu ya?"
"Nah itu, emang brengsek kali tuh cowok!" ujar Adel menggebu-gebu.
"Hus, belum tentu," ujar Daryl menenangkan. "Pas itu, dia masih deket sama mantannya gak? Atau lagi deket sama cewek lain?"
Adel berpikir, membuka memorinya beberapa tahun lalu. "Dia ... masih hubungan baik sih sama mantannya. Malah kadang suka jalan berdua."
"Nah, mungkin aja pas mantannya tau soal itu, mantannya langsung ngelarang cowok itu buat deket sama Winda? Bisa aja kan? Soalnya ada beberapa cowok yang gampang nurut lho kalo diatur-atur sama cewek." Daryl memberi jeda. "Kita harus selalu positive thinking sama perbuatan dan keputusan yang dibuat oleh semua orang."
Iya sih, mungkin aja, batin Adel. Selama ini, pikirannya selalu berisi pikiran-pikiran negatif terhadap Reno. Setelah saat itu Reno memutuskan untuk menjauh dari Adel dan masuk ke sekolah penerbangan, Adel langsung lupa dengan segala kebaikan yang pernah Reno lakukan kepadanya.
Adel mendongak, menatap Daryl. "Mungkin aja, sih."
****