Vacancy ✔ [revisi]

Autorstwa pinkishdelight

6M 1.1M 568K

[a sequelㅡ read 'nowhere' and 'backup' first] ❝between your vacancy, his vacant heart, and my vacantness.❞... Więcej

🌙 v a c a n c y 🌙
[ !!! ]
01. first snow
02. nightmare
03. crematorium
04. fragile
05. lonely l
06. kbs
07. mujigae
08. demonic
09. fear
10. new year eve
11. student
12. blood
13. feels without memories
ㅡspin off: chat
14. speculation
15. kimchi jjigae
16. his vacantness
ㅡspin off: rooming
17. another lee
18. poison
19. another na
20. split in half
21. finally?
22. turning point
🌙 end of season 1 🌙
23. back to you
24. quality time
25. flashback
ㅡspin off: menstrual syndrome
26. reunion
27. you-me enigma
28. my vacantness
29. crematorium 2.0
30. the cure and the pain
31. white lies?
33. lunch box story
ㅡspin off: lunch box story
34. secrecy
35. too late
ㅡspin off: rooming 2.0
36. speculations, again
37. espionage
38. unspoken
39. two sides
40. reasons
41. mark(ed)
42. mark(ed) 2.0
43. diabolos
44. the thing
45. spring rain
🌙 end of season 2 🌙
ㅡMEMBEDAH VACANCY [delete soon]
46. one week later
47. old house
48. the truth untold
49. cemetery
50. move
51. move 2.0 ㅡ crematorium
52. hospital
53. wedding party
54. the truth unveiled
ㅡ spin off: pray
55. puzzles
ㅡ spin off: cemetery
56. hospital again
57. normal
ㅡ spin off: choco
56. in disguise
59. the sun
60. time machine
61. confession
62. the moon
63. missing pieces
64. another missing pieces
65. birthday present
66. past - present - future
67. between the twin
68. the twin's secret
69. the ash
69 b. the ash
70. connector
71. new problem
72. faster?
ㅡspin off: between the twin
73. aftershock
74. blessed salt
75. before the day
76. the day
77. plot twist
78. switched
79. old eyes
80. another offer
81. the other connector
82. 7 days
83. unexpected
84. plan b
85. the day 2.0
86. livia byun
87. mark lee
88. new page: na jaemin [END]
epilog [+ SURPRISE]
✨GRAND GIVEAWAY AND ANNOUNCEMENT✨
[extra] vietnam
[extra + SURPRISE]: forever mine
💗 BUKU FISIK + PEMENANG GIVEAWAY 💗

32. cherry blossom

65.3K 10.5K 10.6K
Autorstwa pinkishdelight

[▶infinite - no more]








Udara awal musim semi sepertinya membuat mood banyak orang jadi lebih baik. Walaupun saat malam kadang masih ada anomali cuaca, tapi siang biasanya cerah dan menyenangkan.

Angin membawa beberapa kelopak cherry blossom ke depanku, saat kulihat Jaemin berlari menghampiriku dari kejauhan. Seperti biasa dengan hoodie yang menutupi sebagian wajahnya ㅡtapi tidak menyembunyikan senyum lebarnya yang sudah sekitar seminggu tak kulihat.


"Hai," sapa Jaemin saat sampai di depanku.

"Kenapa harus lari sih?"

"Nggak sabar mau ketemu kamu," jawabnya.

Kami menertawakan jawaban norak itu. Sepertinya aku sudah mendengarnya puluhan kali, sampai hafal.

"Udah selesai semua, kan?" tanya Jaemin.

Aku mengangguk.
"Udah. Kenapa?"

"Bagus. Yuk," dia menggandengku menyusuri lapangan luas yang menghubungkan area universitas dengan trotoar.
Aku agak bingung saat Jaemin membawaku berbelok ke arah lain, bukan menuju rumah.

"Loh, kita mau kemana?" tanyaku.

Jaemin tersenyum tipis.
"Bersenang-senang."



Kami terus berjalan sampai akhirnya sampai di depan sebuah minivan silver. Jaemin membuka pintu mobil dan masuk duluan. Dari ambang pintu aku melihat Jisung memberi salam dengan cengiran awkward, Jeno di jok depan, dan Mark ㅡmemakai kacamata hitam di belakang kemudi.

"Masuk, ngapain malah bengong," ajak Jaemin.








Apa Jaemin sudah gila?

Mengajakku pergi dengan teman-temannya?









"Gendong Na, gendong," Jeno tiba-tiba mengompori.

Berani taruhan mukaku sudah sewarna bunga sakura. Apalagi Jaemin menatapku jahil.

"Mau?" tanyanya.

Yang benar saja?

Terpaksa aku masuk lalu menutup pintu dari dalam. Sumpah aku merasa jadi orang asing diantara mereka.



"Oiii Geum Jandi, welcome abroad," Mark menoleh sebentar dari kursi kemudi.

"Geum Jandi?" aku terkekeh membayangkan drama Boys Before Flowers versi mereka berempat.
"Then who are you? Rich Junpyo?"


Mark hanya tertawa kecil sambil mulai membawa kami meninggalkan pelataran parkir.


"Junpyo gue lah, yang paling ganteng," sahut Jeno.

"Oh tidak bisa," sangkal Jaemin. "Gue lah Junpyo, yang punya Jandi."

Mendengar itu Jeno dan Jisung mengekspresikan kejijikan masing-masing, sementara Jaemin cengar-cengir di sebelahku. Aku diam-diam mencubitnya.
Sialnya, Jaemin malah sengaja menatapku ㅡseakan-akan aku masih kurang salah tingkah.

Bahkan saat aku sudah mengalihkan pandangan ke luar jendela, aku masih bisa merasakan dia menatapku. Benar saja, aku langsung menghadap ke matanya begitu menoleh lagi. Jaemin tersenyum puas.


"Jangan ciuman, tahan... ada anak kecil," celetuk Jeno.

Kenapa sih anak itu usil sekali?


Aku langsung menggeser duduk sejauh mungkin dari Jaemin sementara dia dan Jisung sedang menghujat Lee Jeno. Boleh tidak aku menyesal ikut mereka?

Tapi setidaknya setelah itu keadaan jadi lebih normal. Mereka memutar CD album mereka sendiri dan sing along sambil sesekali mengobrol. Tapi tidak ada satu pun yang membahas kami mau kemana.


"Anuㅡ ngomong-ngomong kita mau kemana ya?" aku memberanikan diri bertanya.

"Kenapa? Takut diculik?" gurau Mark. "Ke rumah Chenle."



Oke, aku kaget.
Mau apa - aku - di rumah Chenle?



"Cuma jemput, nggak usah panik gitu mukanya," Jaemin mencubit pipiku.

Aku menepisnya.
"Jadi aku cewek sendiri?"

"Kalau ajak ceweknya Jeno juga, satu mobil nggak bakal muat," kelakar Mark lagi, disambut protes Jeno.

"Anggep aja Chenle cewek," celetuk Jisung padaku. "Eh hyung, di depan belok kanan. Jangan nyasar lagi kayak waktu itu!"


Aku hanya bisa tertawa garing. Ingin rasanya aku mencekik Jaemin karena ide konyolnya mengajakku diantara mereka. Harusnya dia tau aku tidak pandai membaur, naturally awkward.

Selanjutnya Jisung menelpon Chenle dan tidak lama kami melihat anak itu berdiri di depan salah satu rumah paling bagus. Dia tampak sangat excited, melambai dari jauh dengan senyum sampai matanya menghilang.


"Mark hyung banyak gaya!" itu yang pertama kali diucapkan Chenle saat kami sampai.

Tapi dia langsung tersenyum awkward seperti Jisung saat melihat aku diantara teman-temannya.

"Hai," sapaku malu, dan pasrah.

"Kita pindah ke belakang nih?" tanya Jaemin dengan jempol menunjukku.

"Nggak, bahaya kalau kalian di belakang. Biar bocah-bocah aja," kata Jeno.

"Halah pendek aja ngomong bocah," timpal Jisung sebelum pindah ke seat paling belakang dengan Chenle.








Mobil memutar arah ke jalan arah kami datang tadi. Jadi sedikit lebih sepi karena Jisung asyik ngobrol dengan Chenle. Di depan, Mark fokus menyetir sambil sesekali membicarakan arah dengan Jeno.

Aku tahu cepat atau lambat saat seperti ini akan datang. Maksudku, bertemu Jaemin dan Mark di waktu yang sama secara sengaja. Kukira aku sudah siap, tapi ternyata tetap saja rasanya aneh. Damn, what's wrong with me?

"Kenapa?" tanya Jaemin pelan.

Ternyata aku tidak sadar mencengkeram lengannya. Aku menatap matanya yang jernih, mencari aku dalam dirinya.

"Bukan apa-apa," aku tersenyum tipis lalu mengalihkan pandangan.

Itu cukup.

Hanya dengan menatapnya sekilas aku mengingat banyak hal. Jaemin selalu membuatku merasa istimewa, padahal aku sangat biasa. Oke, ini sangat cheesy ㅡaku merasa dicintai. Like, a lot.

Aku tidak boleh plin-plan lagi, kan?
Ya. Tidak boleh.



















Kami memasuki area Seoul forest, yang membuatku akhirnya tahu tujuan perjalanan ini. Hanami, melihat bunga sakura.
Sebelumnya, hari-hari awal musim semi setiap tahunnya sama saja bagiku. Dan dulu Seoul forest sama sekali bukan tempat favoritku ㅡkarena banyak sekali jenis hantu legendaris. Aku baru tahu sakura disini seindah ini.








"Oi, turun. Bengong terus kenapa sih?" Jaemin mengusap kepalaku dari belakang saat aku masih melamun menatap pemandangan di luar jendela.

Kami semua turun. Makin awkward rasanya berdiri sebagai satu-satunya perempuan diantara mereka. Aku bersembunyi di balik pundak Jaemin.

"Nah, bener kan, jam segini nggak terlalu rame," Mark meregangkan lengannya dan menghirup nafas dalam-dalam. "Spring vibe."

"Awas bunga pada masuk hidung," kelakar Jaemin.
Tapi ada benarnya sih, setiap angin bertiup kelopak bunga merah jambu beterbangan.

Mark melirikku sekilas, tidak canggung sedikitpun. Yeahㅡ dia bukan aku.


"Panas," Jeno mengibaskan tangannya. "Gimana nggak sepi? Siapa yang mau hanami tengah hari gini coba?"

"Loh, Jisung mana?" tanya Mark.

"Mereka langsung sewa sepeda terus pergi. Biarin aja lah, udah gede," jawab Jeno. "Haus nih, cari minum yuk?"

"Oke," Mark melangkah mengikuti Jeno. "Kalian... ikut?"

Jaemin menoleh padaku.
"Haus nggak?"

Aku menggeleng. Memang tidak haus sih, tapi lebih ke ingin memisahkan diri dengan yang lain untuk sementara.

"Ahㅡ oke. Jalan duluan aja," Mark mengangguk, tersenyum tipis sebelum menyusul Jeno yang sudah menunggu beberapa langkah di depannya.









Aku menghela nafas keras-keras, tidak sengaja. Sampai Jaemin menoleh lagi.

"Hm... kenapa nih?"

"Kamu tuh ya," decakku. "Kenapa nggak bilang sih mau pergi rame-rame? Aku malu."

"Malu kenapa?"

"Ya pokoknya malu," aku berjalan duluan ke arah hutan.

Jaemin malah tertawa.
"Aku kan sengaja mau pamer ke mereka."

"Apanya yang mau dipamerin coba?"

"Bercanda," Jaemin menautkan jari-jarinya denganku. "Aku agak susah izin keluar minggu ini, kecuali bareng mereka. Kalau pergi sendiri bolehnya dua atau tiga hari lagi."

Jeda sebentar karena angin tiba-tiba berhembus dari arah berlawanan. Kami reflek berhenti dan berhadapan untuk menghindari badai kelopak bunga.


"Maaf ya, aku keburu kangen," sambung Jaemin sambil menyingkirkan beberapa kelopak bunga yang tersangkut di rambutku.

"Seru nggak di Dubai?" tanyaku, berjalan lagi supaya tidak ketahuan salah tingkah.

"Hm... seru sih, tapi aku kepikiran Seoul terus," jawab Jaemin.

"Bilang aja kepikiran aku."

"Nah, itu langsung tau," Jaemin tertawa.



Kemarin bukan pertama kalinya aku lama tidak bertemu Jaemin, tapi entah kenapa rasanya beda. Aku merindukannya, tapi tidak pernah berani bilang. Bahkan saat dia sudah kembali, berjalan bersebelahan tanpa berkata-kata pun cukup bagiku.
Diantara pohon cherry blossom yang mengapit jalan setapak sampai ujung.
Ini pasti salah satu hari paling indah di tahun ini.


"Waktu aku dan Jaeyoon masih kecil, nenek pernah bilang kalau bunga sakura itu lambang kehidupan manusia ㅡindah, tapi cuma sementara," ujar Jaemin membuka percakapan.

"Beberapa hari kemudian, waktu bunga sakura mulai gugur semua, nenek meninggal. Makanya aku inget banget kata-kata terakhirnya itu."

"Wellㅡ nggak ada yang selamanya di dunia ini," sahutku.

Jaemin menutup matanya dan menarik nafas dalam-dalam.
"Iya, kadang aku penasaran, kira-kira kapan dan dimana aku bernafas buat terakhir kalinya."

Kenapa tiba-tiba Jaemin bicara begitu? Aku menoleh padanya di saat yang sama Jaemin menyebutkan namaku.

"Alice," ujarnya tenang. "Seandainya aku nggak ada, kamu gimana?"

Kukira aku salah dengar, tapi setelah dicerna lebih dari sekali aku yakin Jaemin memang bilang begitu.

"Nggak ada gimana? Emang kamu mau kemana?" aku berlagak tidak menanggapi dengan serius.

"Hm..." Jaemin malah bergumam sambil memandang udara kosong.
"Pokoknya kamu jangan meninggal sebelum aku ya, harus aku duluan."

"Kamu ngomong apa sih?" aku tersenyum kaku. "Ngantuk ya?"

Topik ini mengingatkanku pada Jaemin versi arwah yang dulu setiap hari selalu membahas kematian. Dan mengingat itu semua membuatku takut.
Apa ada yang salah?
Atau dia hanya kebetulan flashback?


Aku terperanjat dari lamunan saat sesuatu menabrak betisku dari samping, lunak danㅡ menangis?


"Uwah!" aku melompat menjauh saat melihat bayi, yaㅡ bayi sungguhan, menangis dalam keadaan duduk di tanah.

Jaemin menatapku heran.
"Kok kabur? Bukkannya tolongin," dia berjongkok dan menggendong bayi itu dengan ragu-ragu.

Sementara Jaemin berusaha menenangkan entah anak siapa itu. Aku menjaga jarak, hanya menonton.

"Kenapa?" tanya Jaemin. "Jangan bilang kamu takut bayi?"

Sayangnya, aku memang takut pada makhluk kecil itu.

"Bukan takut... cumaㅡ yeah, aku panik. Soalnya mereka nggak bisa ngomong, aku takut."

"Dasar aneh," Jaemin menertawakanku. "Mana ada bayi yang langsung bisa ngomong?"

"Yah, terserahㅡ jangan deket-deket," aku menghindar saat Jaemin sengaja mendekat padaku.

Demi apapun, aku takut tiba-tiba bayi menangis atau muntah atau ngompol. Bukannya aku tidak suka, tapi mereka seperti bom waktu.

Sepertinya si bayi senang melihatku ketakutan, tangisannya berganti dengan tawa setiap Jaemin mengajaknya mengejarku. Ini tidak adil, mereka bersekongkol.








"Kapan bikinnya tuh, tau-tau udah gede?" Jeno ㅡdan Mark, menghampiri kami dari kejauhan.

"Iya nih baru jadi, lucu kan?" sahut Jaemin tak tahu diri.

"Aih lucunya," Jeno mendekati bayi di pelukan Jaemin.

Pemandangan ini pernah kubaca di fanfiction No-Min. Ya ampun, pemikiran macam apa ini?


"Anak siapa tuh?" tanya Mark sambil celingukan.

"Nggak tau, tiba-tiba jalan ke sini tadi, terus nangis," jelas Jaemin. "Pasti ibunya nggak jauh dari sini. Bayi nggak mungkin jalan jauh."

"Kata siapa? Di film Baby's Day Out bisa," kata Mark dengan polosnya

"Hyung, please deh," Jeno rolling eyes.

"Di sebelah sana banyak orang," Mark menunjuk ke booth makanan tak jauh dari sini. "Mungkin orang tuanya di sana."

"Oh ya?" Jaemin bertanya pada bayi di gendongannya. "Kita coba kesana?"

"Ayo, sekalian cari toilet," ajak Mark.

"Nggak ikut, capek," Jeno melambaikan tangannya yang terangkat.

"Ya udah," ucap Jaemin. "Bayiku satu lagi nggak ikut?"

Tanpa pikir panjang aku menggeleng.

"Kenapa?" tanya Mark heran.

"Dia phobia bayi," Jaemin terkekeh. "Yuk ah."

Mereka berdua menertawakan 'phobia bayi' sambil berjalan ke keramaian di seberang.


"Phobia bayi," decak Jeno. "Nggak ada yang lebih lucu?"

Aku meliriknya datar.
"Nggak apa-apa, ketawa aja."

"Wah~" Jeno menatapku.

"Apa?"

"Baju kita warnanya sama," ujarnya. "Couple."


Dia memakai sweatshirt navy dan jeans. Dan kebetulan aku memakai terusan maxi warna navy.

"Wah... takdir macam apa nih?" gurauku.

"Jaemin harus tau nih, biar kesel," Jeno tertawa kecil. "Nempel terus ya anak itu?"

"Gitu deh," jawabku.

"Enak dong?"

"Yeah, enak."

"Woa?!" Jeno kontan menoleh padaku, jawdrop. "Udah ketularan Jaemin ya?"

Aku tertawa pelan.
"Lagian pertanyaannya."

"Maunya ditanya apa?"

"Hm... apa ya? Kita nggak seakrab itu, kan?" gurauku.

"Nggak usah terlalu akrab," geleng Jeno. "Nanti Jaemin musuhin gue."

"Ya ya oke, aku nggak akan merusak hubungan kalian yang romantis."

Jeno tertawa, sesaat kemudian bergeser selangkah lebih dekat denganku karena melihat Jaemin datang.

"Nggak usah balik padahal," ujar Jeno. "Liat nih, udah couple goals banget."

Jaemin berdecih setelah menatap kami bergantian.
"Couple apanya, emangnya dia mau?"

"No. Never," sahutku, menggeleng yakin.

"Awas ya karma."

"Nggak bakalan," Jaemin tertawa, mendorong Jeno menjauh. "Mau?"

Aku baru sadar Jaemin membawa cup bingsoo (*es serut kacang merah) warna-warni di tangannya, dengan topping jelly dan susu.

"Kok belinya cuma satu? Orangnya kan banyak," tanyaku.

"Nggak beli, ini dari eomma-nya bayi yang tadi. Ternyata dia buka booth disana," Jaemin menunjuk keramaian di seberang sambil menyendok bingsoo.
"Enak loh, mau nggak?"

"Enak soalnya gratis," aku terkekeh.

"Aaa..." Jaemin menyuruhku membuka mulut sambil menyodorkan sesendok es.

Sebenarnya aku malu karena ada Jeno, tapi cuaca membuat bingsoo di tangan Jaemin sangat menggoda. Aku pun membuka mulut ㅡtapi belum sempat mencicipi rasanya, seseorang mendorong pelan pundakku ke belakang.








Mark?








"Hm, enak," ucap Mark dengan sendok es di mulutnya. "Bagi dong."

"Ih dateng-dateng ganggu!" seru Jaemin dengan posisi masih menyuapi Mark

Mark nyengir.
"Sorry, haus hehe."

"Tadi kan kalian udah minum?"

"Ahㅡ ya, tapi kan udah pipis tadi," jawab Mark terbata.


Aku dan Jaemin menatapnya bingung. Aneh sekali, kenapa tiba-tiba dia begitu?
Masa dia sengaja mengganggu Jaemin cuma gara-gara bingsoo?


"Kiwi," ucap Mark agak berlebihan saat Jaemin mau menyendok es lagi untukku.
"Jadi Ki-Soo itu kiwi bingsoo? Tadi aku baca di booth-nya hehe."











Aku terhenyak.
Jadi itu alasannya ㅡkiwi.
Aku alergi kiwi, bisa gawat walaupun cuma makan sedikit.

"Ng... Jaemin, bingsoo buat kamu aja. Aku baru inget dari kemarin tenggorokanku agak radang," ujarku.

Jaemin menatapku heran.
"Oh? Ya udah jangan."









"Hyung!"


Kami berempat menoleh ke belakang, Chenle dan Jisung datang dengan sepeda.


"Apa tuh? Mau," Jisung langsung menghampiri Jaemin setelah memarkir sepedanya.

Chenle melakukan hal yang sama lalu menyusul. Aku mencium bau matahari saat mereka berdua melewatiku untuk mengepung Jaemin.


"Kalian sewa sepeda berapa jam?" tanya Jeno sambil menaiki salah satu sepeda yang diparkir.

"Berapa Sung?" tanya Chenle dengan mulut penuh jelly.

"Nggak tau, situ yang bayar," jawab Jisung.

"Ya udah deh kalau telat juga paling tinggal bayar denda," Chenle mengangkat bahu.

"Pinjem boleh dong?" tanya Jeno sambil memutari kami dengan sepeda.

"He eh," Chenle dan Jisung hanya bergumam seadanya karena masih sibuk dengan bingsoo.

"Ikut!" seru Jaemin, lalu memindahtangankan bingsoo ke tangan Jisung. "Nih, buat kalian aja."

"Nah, dari tadi kek," sambut Jisung bahagia.

"Ikut nggak? Aku bonceng," tawar Jaemin padaku.

"Nggak ah, aku pake rok," aku menolak.

"Ahㅡ oke," ujar Jaemin lalu mengayuh menyusul Jeno.



Yang lain mengikuti dengan berjalan kaki. Karena hari makin sore, udara sudah tidak sepanas saat kami datang. Aku dan Mark berjalan di belakang Jisung yang menyebutkan nama-nama benda di sekitar kami ㅡmenambah kosa kata bahasa Korea untuk Chenle, sepertinya.



"How did you know?" tanyaku pada Mark.

"What?"

"Kiwi."

"Ah," Mark mengangguk-angguk. "We talked about ourself alot, right?"

"And you remember all of them?"

"Well, people don't call me a genious for nothing," Mark tertawa kecil.

"And how did you know it was kiwi?" tanyaku lagi mengingat warna bingsoo tadi tidak ada yang menunjukkan kiwi dengan kentara.

"I saw them," jawab Mark. "Booth-nya kan nggak jauh dari toilet. Dan aku liat Jaemin bawa bingsoo dari situ. Jadi aku langsung lari, just in case..."

Aku mengerti.
Tidak banyak yang tahu aku alergi kiwi, termasuk Jaemin. Dan tadi Mark sengaja pura-pura minta bingsoo untuk memberitahuku itu mengandung kiwi.
Dengan menjaga perasaan Jaemin, tentunya. Karena akan rumit masalahnya kalau Mark tahu alergiku sementara dia tidak.

Damn. Ini semua membuatku pusing.







"Thank you," ucapku dengan kepala menunduk menatap aspal.

"Never mind," jawab Mark singkat.


Seandainya Jaemin sampai saat ini belum ingat apapun tentang aku, kira-kira apa yang terjadi sekarang?
Bukan, bukan berarti tidak ingin dia ingat. Aku hanya penasaran.

Mungkin saja saat ini aku tidak akan ada disini, kan?

Atau... ada disini dengan orang lain?







"Jisung, minggir!"

Aku terperanjat karena Mark menarik bahuku tiba-tiba sambil meneriaki Jisung. Di saat yang sama hanya selisih satu senti dariku lewat pengendara sepeda yang ngebut.

"Sialan," Jisung meringis melihat punggung tangannya yang lecet. Sepertinya terserempet stang sepeda.

Jantungku masih berdebar tak beraturan karena kaget. Mark di sebelahku mengumpat-umpat. Dia segera melepaskan bahuku dengan canggung begitu sadar.

"Sebentar," aku menahan lengan Mark saat dia mau menghampiri Jisung.

"Apa?"

Aku merogoh saku dan plastik obat berisi tissue dan plester luka lalu menyerahkannya pada Mark.

"Ada ya orang bawa beginian di saku baju," Mark tertawa kecil.

"Resiko jadi magnet bahaya," aku mengangkat bahu.

"Yeah, tadi juga hampir," ujar Mark sambil menyul Jisung yang menepi di bawah pepohonan.









Ya. Hampir.

Hampir goyah.












Aku menghela nafas dalam. Aku benci diriku sendiri.
Alih-alih menyusul Jisung, aku berjalan cepat menghampiri double J tak jauh dari sini.

"Jaemin!" teriakku.

Dia menoleh lalu menghampiriku, heran melihat aku sendirian.
"Apa?" tanyanya.

Aku mengedikkan kepala ke arah Mark, Chenle, dan Jisung yang masih berkerumun. Kami pun menyusul mereka dan kemudian menyumpahi sepeda ugal-ugalan yang menyebabkan semua ini.

Setelah itu Jisung jadi bad mood, Chenle ikut-ikutan, dan semua orang jadi tertular. Jadi, kami memutuskan untuk pulang saja. Lagipula sudah sore, pengunjung makin ramai.

Kali ini aku dan Jaemin duduk di seat paling belakang, mengalah pada Chen-Sung. Kami meninggalkan Seoul forest saat orang-orang justru baru datang.










Di perjalanan pulang sepertinya cuma aku dan Mark yang terjaga. Jaemin tidur pulas di pundakku, tampak jelas dia kelelahan. Harusnya dia istirahat dulu hari ini alih-alih memaksakan diri, pikirku sambil menyisir rambutnya yang bau matahari dengan jari.
Sampai dia terbangun.

"Ups. Sorry," ujarku saat Jaemin membuka mata lalu meluruskan punggung.

"Loh, udah hampir sampai?" Jaemin memicingkan mata menatap ke luar jendela. "Apa-apaan?"

"Tidur terus sih," timpalku.

Jaemin menatapku sejenak dengan matanya yang berkantung, lalu menarikku ke pelukannya.

"Eh, lepas," aku menolak. "Nggak malu apa?"

"Masih kangen," suara beratnya bergumam di atas kepalaku.

Aku menghela nafas, akhirnya memeluknya juga.
"Sama," ucapku hampir berbisik.

Entah Jaemin ketiduran lagi atau bagaimana, dia menahanku dalam posisi begini selama beberapa menit. Dalam hati aku berdoa semoga tidak ada yang menoleh ke jok paling belakang.

"Kapan ya bisa ketemu lagi?" tanya Jaemin pada dirinya sendiri setelah melepaskan pelukannya.

"Kan bisa facetime," hiburku.

Dia menggeleng.
"Beda. Nggak bisa ppoppo."

"Pikiranmu," aku terkekeh sambil menoyornya pelan.

Aku berusaha tidak berisik saat Jaemin mulai kumat menjadikanku objek kegemasannya. Dia memitingku, mencubit, seakan-akan aku anak anjing peliharaannya. Sampai Mark memanggilku, memastikan aku tidak tidur karena kami hampir sampai.

Jaemin ikut turun dari mobil saat kami sampai di depan rumahku.


"Jangan lama, ngantuk nih," seru Mark dari belakang kemudi sementara aku dan Jaemin menjauh.

"Jangan ngintip," Jaemin berseru balik.

Memangnya dia mau apa?

Kencing di dekat tiang listrik?



"Udah, pulang sana," aku mengusir Jaemin saat sampai di pintu pagar.

"Sini dulu," Jaemin menarikku mendekat.

Aku mematung.
Ini yang dari tadi kutakutkan. Seingatku tadi Jaemin sempat makan bingsoo kiwi, yang berarti mulutnya sekarang beracun untukku.

"Jangan," aku berkelit saat dia hampir menjangkau keningku. "Kamu buru-buru."

"Nggak seburu-buru itu."

"Jaeminㅡ" aku menahannya. "Kamu... tadi makan bingsoo kan?"

"Iya," jawabnya lalu langsung mendekat lagi.

Aku menutup mata dengan pasrah karena takut. Tapi tidak terjadi apa-apa. Saat aku membuka mata, Jaemin tersenyum tipis menatapku.

"Kamu alergi kiwi," ucapnya pelan. "Bener kan?"

Entah kenapa aku berdebar. Hanya bisa mengangguk kaku.

"Maaf. Aku nggak tau," ujarnya datar.

"Nggak apa-apa. Yang penting kan aku nggak makan," ucapku. "Udah, ditungguin tuh."

Jaemin hanya mengangguk lalu tersenyum lebar sambil melambai. Aku membalas lambaiannya sementara ia berjalan ke mobil.

Di luar dugaanku, tiba-tiba dia berhenti melangkah.

"Ahㅡ" ucapnya sambil berbalik menghadapku. "Mark hyung ternyata hafal daerah sini, padahal ke rumah Chenle masih suka nyasar."

Aku mencelos. Hanya bisa menatapnya datar.

"Bye, Alice," sekali lagi Jaemin tersenyum lalu kali ini benar-benar kembali ke mobil dan pergi.









Apa-apaan barusan?

Ohㅡ jangan bilang Jaemin jealous.

Lagi.







ㅡtbc

rasain tuh 3k words sampe mual

apa kalian ingat chapter kang daniel? wkwkkw

aku baru tau lah, kan jaemin katanya pake parfum merk clear tuh, terus ternyata kubaru tau yg ngiklanin kang daniel 😂

berusaha berbau kang daniel biar makin disayang apa gimana na? XD

(ps: jangan dianggep serius, bercanda doang dan cuma kebetulan hehe)

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

235K 19K 93
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
169K 26.5K 48
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
389K 31.5K 63
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
53.1K 4.9K 30
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...