Daryl tersenyum pada cewek yang akhirnya datang setelah ia tunggu. Cewek berambut panjang dengan segelas minuman di tangannya, tersenyum manis, dan duduk di hadapan Daryl. Bella, gadis itu kini menjadi alasan mengapa jantung Daryl berdetak cepat, namun dengan mudahnya, Daryl menjinakan detak jantungnya. Bella, bukanlah siapa-siapa lagi bagi Daryl.
"Sorry gue lama. Lampu merah sana tau lah, lama." Bella terkekeh, Daryl pun juga ikut tertawa kecil.
"Iya, santai aja." Sempat terjadi keheningan di antara mereka, setelah mereka lama tidak berjumpa. "Ada apa Bel, tiba-tiba mau ketemu gue?"
Kini senyum Bella berubah menjadi senyum kecut. Daryl menyadari itu, tapi tetap menunggu sampai gadis itu angkat bicara. "Gue mau ketemu lo buat minta maaf, Ryl."
"Minta maaf? Buat apa?"
Pertanyaan Daryl semakin mencekik Bella. "Ya ... tentang setelah apa yang udah gue lakuin ke lo. Gue udah ninggalin lo gitu aja dan maki-maki lo. T-Tapi, lo harus tau, gue sebenernya gak sejahat itu pengen maki-maki lo."
Daryl tertawa kecil. "Gue tau, kok. Lo maki-maki gue, maupun secara personal, ataupun di depan orang, karena lo pengen buat gue benci sama lo, kan? Supaya gue bisa lupain lo?"
Bella meringis, tak berani menatap Daryl. "Iya, Ryl. Gue selalu cari cara supaya lo bener-bener bisa lupain gue."
"Sebenernya lo gak perlu repot-repot maki-maki gue, Bel."
"Soalnya ... lo udah benci sama gue?"
Daryl lagi-lagi tertawa kecil. "Enggak. Karena gue ngehargai lo. Kalo lo minta gue menjauh, gue akan menjauh. Tapi, lo tau kan, melepaskan nggak semudah itu. Waktu itu, gue cuma butuh waktu buat nyesuain diri, makanya gue masih suka ngusik kehidupan lo. Tapi gue tau kok, nantinya gue bakal ninggalin lo sepenuhnya. Seharusnya lo gak perlu serepot itu sampai menghina gue." Daryl tersenyum kecil. "Gue minta maaf udah sempet bikin hidup lo gak nyaman waktu itu."
Bella menggeleng cepat. Ia benar-benar tidak mengerti seorang Daryl. Bagaimana bisa jelas-jelas Daryl yang tersakiti di sini tapi dia tetap minta maaf? "Ini sama sekali bukan salah lo, Ryl. Siapapun yang denger kisah kita waktu itu, pasti tau siapa yang salah."
"Udahlah Bel, itu udah lewat juga. Kita gak perlu bahas ini. Mungkin, waktu itu kita sama-sama belum dewasa."
Bella mengangguk. "Iya, sorry gue bahas ini lagi. Gue cuma mau minta maaf secara face to face, kok. Gue mau gentle."
"Iya, Bella. Gak apa-apa."
Tanpa mereka sadari, seorang gadis tetap menatap mereka dengan sebuah kekecewaan tersirat di mata gadis itu. Adel tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari Daryl dan Bella. Ingin pergi dari kafe ini, ia enggan. Entah mengapa ia masih ingin melihat Daryl dan juga ia merasa tidak enak dengan Putri kalau ia tiba-tiba pulang seenaknya.
"Udahlah, Del. Kok bisa-bisanya lo sakit hati sama cowok yang namanya lo gak tau, sih?"
Adel mendengus. "Iya, ya. Sebodoh itu gue. Mungkin ini emosi dan perasaan sesaat, sih. Paling nanti-nanti juga biasa aja."
"Makanya, lain kali kalo liat pelayan cogan kayak dia, langsung liat name tag-nya. Seenggaknya bisa lo cari-cari di internet tentang dia."
"Ih, gue gak sesuka itu kali sama dia."
Putri mengangguk. "Iya, sih. Lagian dia udah ada cewek, mau ngarep apa lagi?"
Sekali lagi Adel melirik ke arah Daryl yang sedang terkekeh, menampakan lesung pipinya. "Iya. Bisa-bisanya gue baper cuma karena hal sepele." Adel terkekeh. "Malu-maluin."
Bella terkekeh mendengar cerita Daryl selama ia bekerja di Booktopia. "Ngomong-ngomong, lo gimana sekarang? Udah ada cewek?"
Daryl menggeleng. "Belum. Malu-maluin, ya?"
Semenjak pisah dengan Bella, Daryl belum menemukan cewek yang tepat. Bukannya Daryl trauma karena kepergian Bella dari hidupnya. Hanya saja dia tidak terlalu berusaha untuk mencari cewek. Kata Ibu, kuliah dulu nomor satu. Cewek nomor keempat puluh aja.
Sebenarnya Daryl nggak mau separah itu, sih. Kalau ia mengurutkan 'mencari cewek' di nomor empat puluh, Daryl dapat pastikan kalau ia akan menjadi perjaka seumur hidup.
Bella terkekeh. "Gak, lah. Lebay lo."
"Lo sendiri gimana sama Gilang? Gilang juga gimana kabarnya?"
"Lo nanyain kabar Gilang?" Bella terdengar tidak percaya dengan pertanyaan Daryl. Tentu saja, karena Gilang yang menyebabkan awal keretakan hubungan antara Bella dan Daryl. Dan dalam benak Bella, Daryl dan Gilang akan menjadi musuh bebuyutan dalam seumur hidup mereka.
"Y-Ya ... kenapa gitu?"
"Ya, aneh aja. Gue pikir lo benci sama dia."
"Dulu, iya. Tapi gue udah dewasa sekarang."
Bella tertawa. "Sok dewasa lo." Daryl jadi ikut terkekeh. "Gue sama Gilang masih hubungan kok sampe sekarang. Oh ya, Ryl, selain minta maaf, ada sesuatu yang mau gue diskusiin sama lo."
Kedua alis Daryl terangkat. Bella tampak serius dan juga gugup di saat bersamaan, sukses membuat Daryl penasaran. "Diskusiin apa?"
Bella menghela napas panjang. Ia membutuhkan seseorang yang memiliki pikiran dewasa untuk sebuah keputusan besar di dalam hidupnya. Ia tahu, orang paling tenang dan berpikiran dewasa adalah Daryl. Ia harap, Daryl setuju dengan keputusan yang akan ia buat nanti, sebuah keputusan yang sangat besar, penting, dan berdampak besar dalam hidupnya.
"Gue ... gue sama Gilang mutusin untuk nikah setelah kita lulus nanti." Daryl membeku, menatap Bella seakan ia berada di awang-awang. "Menurut lo gimana? Gue tau sih, ini kinda odd. Tapi ini keinginan Ibunya Gilang. Ibunya Gilang pengen banget liat Gilang nikah muda."
Daryl masih membeku. Ia masih mencerna seluruh ucapan Bella. Daryl tidak menyangka kalau Bella akan memiliki pikiran pendek seperti itu. Bella merupakan salah satu orang penting di hidup Daryl, ia tidak ingin Bella berpikir pendek untuk sebuah keputusan besar.
"Daryl...?"
Daryl tertarik dari lamunan dan pikirannya sendiri. Cowok itu tersenyum singkat, lalu tampak berpikir lagi. "Apa gak terlalu buru-buru, Bel? Kenapa gak kerja aja dulu beberapa tahun, baru nikah? Kan sayang, orang tua lo udah biayain lo kuliah tapi ujung-ujungnya lo gak kerja."
"Gue bisa nikah sambil kerja, kan?"
"Gak semudah itu, Bella," ucap Daryl. "Kalo lo udah masuk ke jenjang pernikahan, bakal susah bagi lo buat ke dunia di luar penikahan—dunia pekerjaan dan pertemanan—lo harus ngurus suami dan anak-anak lo. Apalagi umur lo masih muda banget, Bel. Jadi seorang Ibu dan istri itu nggak mudah. Walaupun gue belum dan gak akan ngerasain, sih, tapi gue liat gimana rasanya jadi Ibu gue."
Bella terdiam. Sebenarnya sedikit kecewa dengan tanggapan Daryl. Dia sangat berharap kalau Daryl akan menghargai keputusannya. "Lo ngomong kayak gini bukan karena ada unsur cemburu atau apapun, kan?"
Daryl menghela napas berat. "Gak, Bella. Gue gak ada perasaan apapun sama lo sekarang. Gue anggap lo sebagai adek gue, dan gue harap lo anggep gue sebagai kakak lo yang bakal lindungin lo dari jebakan hidup. Lo harus tau, pernikahan gak semudah itu. Emangnya lo gak mau hidup bebas dulu sebelum menikah? Apa lo udah percaya kalo Ibu Gilang beneran ngomong kayak gitu?"
"Gue juga gak tau, sih. Gue belum pernah denger juga dari Ibu Gilang. Tapi gue percaya kok, sama Gilang. Selama gue pacaran sama dia, dia jarang boong sama gue. Kalopun boong juga soal hal-hal kecil yang bisa ditolerir."
"Ini kehidupan lo, Bel. Keputusan ada di tangan lo. Tapi kalo lo tanya pendapat gue, gue gak begitu setuju lo menikah secepet itu. Cari jenjang karir dulu, kalau ngerasa umur udah cukup dan matang, baru nikah."
Bella terdiam, menatap dengan tatapan kosong. "Gue cuma gak mau kehilangan Gilang, Ryl...."
Daryl tersenyum kecil. "Kalo lo nikah sama Gilang, bukan berarti lo gak bisa kehilangan dia, Bel." Daryl menyenderkan punggung lebarnya. "Be smart."
****