ENCHANTED | End

Galing kay retno_ari

116K 11K 794

Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh... Higit pa

Hai!
01
02
03
04
05
06
07
08. KK || Hidden Part 1
09
10
11
12
13. KK || Hidden Part 2
14
15
16
17
18. KK || Hidden Part 3
19
20
21
22
23
24. KK || Hidden Part 4
25
26
27
28 + info
29. KK || Hidden Part 5
30
31
32
33. KK || Hidden Part 6
34
35
36. KK || Hidden Part 7
37
38
39
40
41. KK || Hidden Part 8
42
43
44
45 | Giveaway Time!
46. KK || Hidden Part 9
47
48
49
50. KK || Hidden Part 10
51
52
53. KK || Hidden Part 11
54
55
56. KK || Hidden Part 12
Bisik-bisik Extra Chapter
Extra Part 1
Extra Part 3
Info Extra Part [Dunia Pernikahan]
Extra Part 6
Extra Part 7
Extra Part 8 & 9
Extra Part 10
Extra Part 11
Extra Part 12
Extra Part 13
Extra Part 14

Extra Part 2

943 83 5
Galing kay retno_ari

Perjalanan pernikahan tidak selamanya mulus, ada badai yang akan sering menghampiri. Apapun yang terjadi tetaplah bersama, jangan pernah terjun ke luat kalau dalam kapal ada kebocoran, sebab belum tentu kamu selamat, siapa tahu malah jadi mangsa Hiu. Sementara di dalam kapal pasanganmu lagi mencari solusi untuk kebocoran, dan dia akhirnya selamat.


Mamet sudah terZoya-Zoya sekarang
Tapi love language nya beda dan gak bisa bucin hahaha
Emak-emak yang suaminya kayak Mamet, dingin gimana gitu, sabar yaaaa

Love,

Bulan madu katanya bulan penuh romantika bersama pasangan halal kita. Bulan yang dipenuhi kisah manis, cumbu rayu, kemesraan, kebahagiaan tanpa problematika dan dinamika kehidupan yang menyesakkan.

Kira-kira slogannya begini, "Dunia hanya milik berdua, yang lain entah tinggal di mana".

Dari kesimpulan di atas, berarti aku dan Demas sudah melalukan bulan madu singkat di sini. Di rumah kontrakan kita berdua hanya dalam hitungan jam. Tapi sungguh, aku ingin pergi sejenak dari keramaian kota ini. Pergi berdua dengan Demas dan mengisi hari-hari kita dengan kesenangan yang akan menjadi kenangan indah, kenangan tidak terlupakan.

Tidah harus dalam hitungan minggu atau bulan, dalam hitungan hari pun tidak masalah. Sebab, aku sudah muak dengan padatnya jalan raya, mual dengan asap polusi yang semakin hari semakin menggila, kesal dengan cuaca yang sering berubah-ubah, bahkan terlalu labil untuk diprediksi. Yang paling menyebalkan adalah kejadian tidak terduga di kantor yang bisa membuat kepala berdenyut kencang.

Aku tidak tahu apakah Demas pernah memikirkan liburan yang indah untuk kami nikmati bersama? Setiap kali aku membicarakan hari libur, dia terlihat lelah dan ingin menghabiskannya untuk istirahat atau futsal, olah raga favoritnya.

Aku menarik ponsel dari meja, tidur siangku sudah cukup, saatnya mengangkat jemuran handuk di balkon dan melihat pemandangan bunga di sana. Anak-anakku dan Demas tumbuh dengan subur, bahagia dan tercukupi kebutuhannya. Kami berdua adalah orang tua yang sangat menyayangi mereka, cinta yang kami berikan juga melimpah. Aku yakin, anak-anak kami hidup bahagia di sini.

Aku berhenti melangkah di depan pintu kamar saat menyadari kehadiran seseorang di ruang tengah. Ada perasaan hangat saat mendapati Demas sudah ada di sini, padahal dia bilang mau futsal sampai jam enam sore.

Aku langsung duduk menyebelahinya dan mengintip apa yang sedang dia lakukan dengan ponsel kesayangannya. Bukan untuk bermain game dan ia tidak sedang membuka aplikasi viral untuk media perselingkuhan. Aku tidak sedang mencurigai suamiku, aku hanya sedang berjaga-jaga siapa tahu mendapati kebetulan yang sangat aneh dan tidak masuk akal.

Kebetulan yang di luar logika: seperti mendapati aplikasi belanja online untuk bertukar pesan dengan perempuan lain yang namanya disamarkan menjadi "Handi" atau "Paijo".

"Kamu dah bangun?" tanyanya setelah melirikku sekilas.

"Hem," balasku setelah menguap. "Tadi rame?"

"Kayak biasa, orang-orangnya juga sama."

Aku memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke lengan Demas. Aku tidak pernah melarangnya pergi futsal dengan teman-temannya, karena dia butuh itu untuk menghilangkan penat dari pekerjaannya. Namun, aku selalu ingin melarangnya bermain ponsel ketika aku ingin bicara empat mata. Seperti kali ini, aku bertindak impulsif dengan menarik ponselnya dan meletakkan di meja.

Demas sempat terkejut sebelum akhirnya menoleh dengan tampang datarnya. "Kamu mau ngomong?"

"Iya." Aku menekuk kedua kakiku di sofa, lalu menghadap pada Demas dengan tampang serius. "Mas, kamu sadar enggak sih. Semenjak kita nikah kamu makin sibuk sama kerjaan. Aku ngerasa waktu kita jadi lebih sedikit dari pada dulu. Aku sering banget nunggu kamu di rumah sampai jam sepuluh malam."

Tatapan Demas langsung redup, seolah ada perasaan bersalah di sana. "Iya, maaf ya. Kamu sendiri kan tahu kerjaan kita sepadat apa." Selalu saja itu yang dia katakan kalau aku sudah mulai merongrong lagi.

"Kerjaan kamu, bukan kerjaan aku!" Aku meralat kalimatnya. "Kita enggak usah ikut acara-acara keluarga besar Papa deh tiap Sabtu, kalau diajak kumpul lagi jangan mau. Aku pengin kita punya long weekend dan pergi kemana gitu. Masa setelah nikah rutinitas kita cuma kerja, rumah ini, rumah Mama, arisan keluarga Papa, gitu-gitu aja terus. Aku tuh butuh kamu, Mas. Aku pengin kita berdua bisa bebas dari dinamika sehari-hari, liburan yukkk!" rongrongku seperti anak SD menyambut libur semester. "Nunggu kamu enggak ada kerjaan kayaknya enggak mungkin. Aku sudah enggak sabar nih, Mas. Pengen banget liburan bebas tanpa intervensi ini dan itu."

Demas mengangkat kedua alisnya, "Minggu lalu bilangnya mau sabar sampai proyekku selesai, kan?"

"Sabarku keburu habis! Hihihi." Aku menyengir lebar.

Demas pura-pura pingsan di sandaran sofa, sedetik kemudian dia kembali duduk tegap. "Soal acara keluarga Papa, kamu sendiri yang iya-in permintaan Papa. Masa tiba-tiba kita enggak datang. Enggak enak dong." Meskipun Demas tidak terlihat nyaman di tengah-tengah keluarga besar Papa yang super ribet, tetapi dia selalu menghormati semuanya dan berusaha menjaga perasaan Sang Mertua.

"Kamu tenang aja, aku yang bilang kalau kita enggak akan sering-sering ikut acara arisan di keluarga Papa. Aku juga sebenarnya males banget kalau harus kumpul sama mereka, selalu aja ada yang dipamerin, padahal aku enggak pernah mau tahu apalagi nanya. Terus kamu ya, Mas. Kamu butuh waktu juga buat istirahat, Mas. Kamu enggak capek apa kerja setiap hari ditambah hari Sabtu harus pasang muka pura-pura bahagia padahal capek banget?! Belum lagi Minggu suka ikut futsal sama teman-teman kamu. Mending acara di luar yang enggak penting itu dikurang-kurangin aja, Mas. Kita, kan, bisa berdua kayak gini jadinya." Aku menyenggol lengan Demas, tersenyum penuh rayuan maut.

"Ya sudah, kalau menurut kamu harusnya gitu." Demas terlihat pasrah dengan pendapatku. Padahal aku menginginkan respons yang lebih baik dan manis dari ini, seperti "oke, Sayang. Kita berduaan aja tiap Sabtu" kalau gini kan kedengarannya lebih enak. Dasar laki-laki, makhluk to the point dan enggak mau ribet!

Aku mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Demas setelah selesai mendumal dalam hati. "Satu lagi!"

"Apa?"

"Bulan ini kamu sudah dua kali bolak-balik Bandung, kamu enggak disuruh pindah ke sana, kan?" Aku menatap Demas lamat-lamat, semoga tidak ada hal yang dia sembunyikan dariku. Tidak ada kejutan yang bisa membuatku jantungan. Aku tidak mau Demas dipindah tugaskan ke Bandung.

"Enggak," jawabnya disertai gelengan. "Jangan khawatir, aku masih di Jakarta kok."

Syukurlah, aku lega mendengarnya. "Kenapa sih perusahaan enggak nyari orang baru aja buat ngurus cabang Bandung, kenapa harus kamu yang ke sana? Kita hampir enggak punya waktu, Mas, gara-gara ngurusin kantor!"

Demas menyender ke sandaran sofa, mengusap-usap pangkuannya sendiri. Ia terlihat memikirkan sesuatu.

"Kok diem sih? Aku kan masih ngomong sama kamu."

"Aku harus jawab apa, Dek. Kamu sudah tahu jawabannya, kerjaanku banyak."

"Itu dia yang bikin aku sebel. Tiap kamu pergi ke Bandung hari Jumat, aku harus di sini sendirian. Padahal setelah kita nikah aku rela pindah ke sini biar kita bisa sama-sama." Sebenarnya aku tidak ingin memojokkan Demas atau menyalahkan karier kami berdua, tapi apa daya, mulutku berbicara lebih cepat dari apa yang ada di kepalaku.

Demas merangkulku dan menarikku ke dadanya. "Sabar ya, semoga bulan depan aku enggak sesibuk ini."

"Bulan depan bakal lebih sibuk dari ini. Aku dengar dari Mas Damar kalau bulan depan banyak proyek yang harus dihandle. HRD juga lagi nyari orang baru buat bantu analis."

"Butuh orang baru lagi?"

"Jelas. Dan aku masih enggak habis pikir sama aturan di cabang Bandung, kenapa mereka enggak narik orang lain dari kantor kita kalau memang butuh QA tambahan? Kenapa nyuruh kamu bolak-balik kayak setrikaan begini? Mereka enggak tahu apa kalau QA-nya masih pengantin baru yang butuh banyak me-time sama istrinya?"

Demas tertawa sambil mengusap punggungku. "Karena mereka tahu kalau suami kamu cukup kompeten dan enggak bisa digantiin sama yang lain."

"Kalau gitu kamu pindah aja ke sana. Kita LDR sekalian. Lagipula kita enggak punya banyak waktu, ketemu kalau mau tidur dan pas bangun tidur aja. Udah ... pergi aja sana!" omelku akhirnya. Aku bukannya tidak senang memiliki suami yang profesional, tetapi saking profesionalnya dia malah sering meninggalkan istrinya di rumah. Sedih.

"Kok ngomongnya gitu sih?" Demas merayuku dengan mencolek daguku. "Di kantor kan kita ketemu, makan siang juga bareng."

"Di kantor itu enggak masuk hitungan, Mas. Apalagi kalau kamu mendadak bahas kerjaan sama Inas dan yang lain, pusing tahu!" amukku dengan tangan kanan memijit-mijit pelipis. "Pusingnya sampai kebawa-bawa ke rumah nih...."

"Hahaha. Terus aku harus gimana dong biar kamu enggak jutek dan marah-marah gini? Biar kamu enggak selalu kelihatan kesel kalau aku dinas ke Bandung?"

"Ke Bandung aja. Pindah," ucapku tidak yakin. Aku hanya terbawa emosi sesaat.

"Kamu yakin aku pindah ke sana?"

Kepalaku terangguk-angguk, tetapi hatiku menjerit. Aku tidak mungkin rela berpisah dengannya walau sehari semalam.

Demas menatapku seolah akan menelanku bulat-bulat. "Yakin?"

"Kenapa sih tanya mulu? Pindah aja ke sana, sebelum aku berubah pikiran!" balasku sambil mendorong wajahnya supaya lebih berjarak. Saat embusan napasnya mengenai wajahku, aliran darahku malah semakin mendidih.

"Sejam pesannya enggak dibalas aja sudah ngambek, aku pulang lewat jam sembilan aja pintu kamar sudah mau dikunci dan aku suruh tidur di luar. Gimana kalau aku jadi kerja di Bandung? Bisa-bisa pintu rumah enggak dibuka sama sekali," cerocosnya kemudian.

"Ya, habis gimana lagi. Aku capek lihat kamu mondar-mandir Jakarta - Bandung. Kita belum setahun nikah, tapi rasanya sudah banyak hal yang hilang dan berubah."

Tepat setelah aku selesai bicara ponsel Demas berdenting. Tentu saja Demas langsung mengambil ponselnya untuk mengecek e-mail masuk.

Aku menarik napas dalam-dalam setelah mengintip kotak masuk dari ITA. "Kantor kita memang gila sih. Untung sebanding sama gajinya. Apa kita pindah aja ya, Mas?"

Kalimatku menghentikan perhatian Demas dari ponselnya. "Aku kan terhitung baru di ITA. Kamu aja deh yang ngajuin resign, ngapain sih kerja? Suami kamu kan sanggup bayarin biaya perawatan kamu," paparnya disertai cengiran menyebalkan. "Istirahat aja di rumah, masak yang enak biar aku selalu kangen dan pengin buru-buru balik."

"Ih, serius dong, Mas!"

"Aku juga serius kok."

"Kamu sayang enggak sih sama aku?" Sengaja kuberikan pertanyaan serandom ini, sebab aku kesal setiap kali dia diajak ngobrol, tetapi dia lebih perhatian dengan ponselnya. Sepertinya dia tidak bisa lepas dari benda pipih itu. Bagiku, ponsel adalah orang ketiga di antara kami. Lebih tepatnya ponsel dan pekerjaan adalah selingkuhan Demas.

Menyadari kekesalanku, Demas meletakkan ponselnya ke meja. "Kenapa kamu tanya gitu?"

"Jawab aja, Mas. Sayang enggak sama aku?" Kuulangi pertanyaan sebelumnya.

Kedua alis Demas terangkat, seolah heran dengan sesuatu. "Kamu enggak pernah absen kasih aku pertanyaan itu, kenapa sih?"

"Oh ya? Memang iya?"

"Pasti kamu enggak sadar kalau hari ini aja sudah lima kali kamu nanya gitu."

"Masa sih?" Untuk sesaat aku merenung, apa iya?

"Jangan-jangan kamu kebanyakan nonton gosip enggak bener ya? Terus terbawa suasana dan takut kalau aku macam-macam?"

"Enggak lah. Enak aja!" tolakku keras. "Aku terlalu sibuk ngurusin suami, rumah, sama kerjaan kantor. Mana sempat nonton gosip perselingkuhan yang lagi ramai belakangan ini. Ngaco deh kamu!"

"Tuh tahu ada berita yang lagi ramai, tandanya pernah dengar, kan?" Demas memajukan badannya hingga membuatku mundur dan terjepit di antara sofa dan dadanya.

"Kok jadi mojokin aku sih, Mas. Jawab dulu pertanyaan aku tadi."

"Jawaban aku tetap sama dong sama sebelumnya. Sayang lah sama kamu."

Bukannya senang, aku malah tidak puas mendengar jawabannya. "Kok ada "lah" nya sih? Kayak terpaksa gitu. Enggak ikhlas ya?"

"Ya Allah ... salah lagi. Maksud aku itu gini, Dek. Aku pasti sayang dong sama kamu, buktinya aku nikahin kamu."

"Bener?"

"Iya, Dek." Tangan Demas mengusap puncak kepalaku, lalu memberikan kecupan singkat di hidungku.

"Hihihi, makasih, Mas Demas. I love you. Maaf ya sering tanya gini, soalnya hati perempuan tuh selalu butuh validasi kalau dirinya memang disayang sama si suami, sekaligus mau membuktikan kalau suamiku itu enggak macam-macam di luar sana."

"Gimana mau macam-macam kalau kerjaan aja ribetnya minta ampun. Jangan curigaan dong, Dek."

"Siapa tahu kamu menyelam sambil minum susu."

"Minum air, Dek."

"Susu, Mas. Air sudah biasa."

"Ada-ada aja kamu."

Aku melendot ke lengan Demas. "Jangan pindah ke Bandung ya. Tadi aku bercanda. Emosi sesaat."

"Iya, tahu kok. Kamu kan suka impulsif."

"Iya, soalnya belakangan ini lagi stres banget sama kamu. Lagi jarang disayang. Tangan kamu sibuk sama HP terus. Kasihan banget aku," sengaja kusindir dengan begitu jelas.

Tiba-tiba Demas membentangkan tangannya dan berkata serius, "Sini." Aku tersenyum dan tanpa pikir panjang langsung masuk dalam pelukannya yang hangat dan nyaman. "Maaf ya, kalau selama kita nikah aku belum bisa kasih segalanya buat kamu, termasuk waktu yang lapang dan liburan yang kamu inginkan."

"Padahal ke Puncak aja juga enggak masalah, enggak harus jauh lho, Mas."

"Nanti aja kalau aku sudah kelar proyek ini. Aku janji."

"Janji itu hutang lho. Wajib dibayar."

"Iya. Insya Allah."

Kudongakkan kepala demi menatap wajah suamiku. "Makasih sudah mau dengerin aku hari ini, kita jarang banget ngobrol berjam-jam kayak gini ya?" Mungkin bahasaku terlalu hiperbola, tetapi untungnya itu berhasil membuat Demas tersenyum menawan.

"Aku yang makasih banget sama kamu, lebih sabar lagi ya. Aku coba atur jadwal biar kita bisa keluar pas weekend."

"Oke." Aku bangkit untuk menuju balkon. Sebelum langkahku semakin jauh, aku menoleh untuk mengatakan sesuatu yang masih mengganjal di hati. "Mas," ucapku memerhatikan sang suami sampai akhirnya dia menoleh padaku. "Kamu cuma belum paham konsep kenapa perempuan selalu butuh afirmasi, kan? Bukan karena kamu enggak cinta aku, kan?"

"Kamu ngomong apa sih, Dek?"

"Enggak pa-pa, enggak penting." Aku berlalu sambil mengibaskan tangan.

Tanda kuduga, Demas menyusulku ke balkon saat aku mengambil handuk. "Sayang ... maksud kamu gimana tadi?"

"Bukan apa-apa, Mas. Sudah sana HP-an lagi. Aku mau mandi sore."

Demas menghalangi pintu masuk, menatapku dalam-dalam. "Tapi ini enggak lagi ngambek, kan? Aku bingung kalau kamu ngambek terus."

Aku mengusap wajah Demas ketika kami bertatapan, "Ini cuma pikiran aku aja. Aku pikir kamu enggak bisa ngucapin "I love you" setiap hari karena bukan aku orangnya, tapi perempuan lain. Tapi ... pasti aku salah."

"Hah? Kenapa sih kamu sampai mikir gitu? Aku sayang kamu lah. Kalau enggak, kenapa aku nikahin kamu."

Kugelengkan kepala dan tersenyum menahan malu. Benar juga. Laki-laki seperti Demas tidak pandai berkata manis, dia akan membuktikan cintanya dengan sebuah tindakan. Aku hanya tidak menyadari kalau bahasa cinta kami berbeda. Harusnya aku menerima semua itu, tidak selalu menuntut agar Demas peka atau berubah menjadi super manis seperti suami orang lain.

"Oke, kalau gitu aku mau mandi dulu. Kamu mau ikut?" tanyaku sambil mengedip-ngedipkan mata.

Alis Demas berkerut, kemudian dia menyengir lebar. "Boleh?"

"Hahaha. Enggak lah! Kamar mandinya sempit!"

Akhirnya Demas menyingkir setelah mengacak-acak rambutku yang tergerai begitu saja.



______________

Manis ya di bab ini, tunggu aja besok wkwkwk

Walaupun konflik utamanya sudah aku tentuin, aku tetap pengen tanya pendapat kalian

Lebih suka Demas yang diam-diam tertarik sama perempuan lain atau Zoya PDKT lagi sama mantannya?

Jawab ya!









Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

95.7K 11.9K 63
Selama hidup, Airlangga Sangaji hanya tahu hidupnya sempurna, seolah semua berjalan sesuai dengan kehendak yang ia tentukan. Tanpa tahu, sebuah rahas...
31.7K 2.9K 29
"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, ­­mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tib...
497K 45.1K 49
Chicklit - Office Romance - Anak IT Bekerja di kantor IT tidak hanya membuat fisik Kalangi lelah, tetapi otak dan hatinya pun ikut letih. Dia selalu...
556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...