Update lagi guys 🙌🙌
Btw di Karyakarsa juga sudah update bab baru ya, yang mau baca cepat bisa langsung gass ke sana aja ya ❤️
Selamat membaca, vote dulu yuk habis itu kasih komentar juga yang banyak kalau mau tetep lanjut di wattpad 🗿
Aku tahu cepat atau lambat pertemuan Alga dengan Willy pasti akan terjadi. Tapi─kenapa harus secepat ini? kenapa harus sekarang? Aku bahkan belum memikirkan alasan apa yang akan aku berikan saat bertemu Alga nanti. Tapi Tuhan lagi-lagi mempermainkan hidupku. Sekarang alasan apa yang harus aku pakai untuk membohongi Willy? Sudah jelas aku tidak akan memberitahu Alga kalau pria yang ada di sampingku adalah Willy. Apa lagi mengaku kepadanya kalau pria ini adalah kekasihku.
"Ma─Mas Alga? K─kok ada di sini?" tanyaku, terbata.
Sial, kenapa harus bertemu Alga di sini? Kenapa gak di rumah saja sih? Kalau begini nyaliku mendadak ciut. Aku membatin dalam hati. Jantungku berdebar keras saat Alga berjalan mendekat ke arah kami. Dia tidak sendiri, bersama dua orang yang sering membantunya bekerja.
"Harusnya Mas yang tanya kenapa kamu di sini," ujarnya, menyerang balik. Alga menatapku lalu bergantian melihat ke arah Willy. "Ini siapa?"
Willy tersenyum kecil. "Saya─"
"Dia temen kerja aku di Bandung, Mas. Kebetulan kemari lagi cari kopi mentah buat stok di tempat kerjanya," potongku cepat. Tiba-tiba saja ide itu mengalir keluar dari mulutku.
Dahi Alga mengerut. Begitu juga dengan Willy yang tampak bingung dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulutku.
"Ah, teman kerja." Alga manggut-manggut. Willy seakan mengerti, pria itu juga hanya mengangguk saja.
"Saya Wi─"
"Wildan!" seruku, cepat.
Lagi, dengan kompak Alga dan Willy menatapku. Aku yang ditatap seperti itu hanya bisa memasanng senyum biasa. Berharap Alga tak mencurigaiku.
Beberapa kali aku memberi kode kepada Willy agar dia mengiyakan semua kata-kataku. Dan yah, aku bangga pria itu tidak protes dan menuruti ide gila yang sedang aku rencanakan.
"Wildan, Mas."
Alga manggut-manggut lalu menerima uluran tangan Willy. "Alga. Kakak Ara," sambutnnya. "Jadi kamu datang kemari mau cari kopi mentah?" tanya Alga.
Willy tersenyum. "Iya Mas, apa ada?" tanyanya.
"Ada sih. Tapi prosesnya bakal ribet. Kenapa gak ambil yang sudah jadi saja? mudah di proses nantinya. Memang buat apa?"
"Buat minuman Mas."
"Nah. Saran saya mending yang siap pakai saja."
"Oh ada ya Mas?"
"Ada dong. Di sini segala jenis kopi ada. Yang mentah juga banyak. Yang biji siap pakai ada. Yang sudah jadi bubuk pun tersedia. Kamu tinggal pilih saja yang cocok yang mana. Jenisnya juga banyak."
Aku menganga. Pertemuan yang mendadak yang aku pikir akan berakhir dengan drama malah jadi aku yang ditinggalkan. Sementara Alga dan Willy berjalan beriringan sembari asyik membicarakan jenis kopi yang tak ingin aku tahu. Apa-apaan ini? kenapa aku mendadak merasa dikhianati?
"Neng Ara gak ikut?" tanya Ahmad, asisten Alga yang membantu di peternakan sampai perkebunan milik nenek.
Aku mendengus. Melengos mengekori Alga dan Willy yang masih asyik berbicara. Lihat, bahkan Willy sama sekali tak menengok ke belakang. Apa sekarang aku tak terlihat di depan matanya? Kenapa Alga jadi memonopoli kekasihku. Aku ingin marah tapi tak bisa, apa lagi saat sadar di sini aku sedang bersandiwara tentang Willy.
Tapi melihat mereka akrab seperti itu hatiku rasanya agak menghangat. Seaindainya Alga tahu kalau itu Willy, mungkin keakraban yang aku lihat sekarang tak mungkin pernah terjadi.
"Mas mau bawa Wildan ke mana?" tanyaku buru-buru. Mereka terlalu asyik mengobrol sampai tak sadar kalau itu bukan jalan ke rumah nenek.
Alga menoleh ke belakang, menatapku. "Kan mau beli kopi. Ya Mas ajak ke tempatnya."
Aku berdecak. "Ya ampun Mas. Mas Wili─Wildan baru sampai loh. Ini saja aku ajak keluar karena takut bosan di rumah Nenek. Ini pertama kali dia datang kemari, jadi jangan bikin dia kapok deh."
"Ah, jadi kamu baru sampai ya. Wah, maaf ya. Saya terlalu asyik karena ada orang luar datang kemari buat beli kopi di sini."
Aku berdecih sinis. "Maklumin saja ya Mas. Mas Alga memang begitu. Dia kalau sudah urusan kerjaan dan bisnisnya pasti lupa daratan. Sampai lupa punya adek juga."
Alga berjalan ke arahku lalu merangkul bahuku. "Ya ampun. Mana mungkin Mas lupa sama kamu. Kamu kan adik Mas satu-satunya di dunia ini."
"Satu saja gak dipedulikan, apa lagi banyak," omelku.
"Peduli dong. Kalau gak peduli sudah Mas buang kamu dari lama."
"Mas Berani buang aku?"
"Gak sih. Bisa-bisa Nenek ngamuk nanti."
"Cih."
Alga terkekeh geli. "Ya sudah kalau begitu kita pulang saja dulu. Lagi pula ini juga sudah sore."
Aku mengangguk setuju. Lagi pula dari sini ke gudang biji kopi juga jaraknya tidak dekat. Aku tahu karena pernah ikut ke sana, dan aku menyesal sekali ikut karena jalannya yang cukup melelahkan. Sempat ditawari naik motor tapi aku tidak mau karena ingin melihat pemandangan. Tak tahu kalau ternyata jaraknya cukup jauh.
Daripada itu, drama apa lagi yang akan aku lakukan sekarang? Sudah pasti Willy juga akan bertanya tentang ini. kenapa tiba-tiba namanya berubah menjadi Wildan? Dan hal lainnya yang pasti ingin sekali pria itu tanyakan.
Bagaimana aku menjelaskannya? Apa aku mengatakan yang sejujurnya saja kalau Alga membencinya? Tapi aku merasa tidak enak. Karena mau bagaimana pun kebencian Alga kepada Willy itu salah. Seperti yang pernah aku rasakan dulu. Faktanya itu bukan salah Willy. Willy punya hak menolak siapa pun yang tidak dia sukai. Karena perasaan tak bisa dipaksakan.
"Ra?"
"Eh? Ya?"
"Kenapa? kok melamun? Tumben kamu jaim gitu. Biasanya pecicilan," goda Alga.
Aku menyikut perutnya kesal. "Apa sih. Berisik ya."
"Mentang-mentang ada teman cowoknya jadi sok imut."
"Bicara lagi aku pukul mulut kamu Mas."
"Dih, galak banget," ujarnya. "Lihat Wil, jangan mau sama Ara. Selain galak dia orangnya bawel gak ketulungan. Banyak maunya, nanti kamu pusing."
"Ih! Mas Alga," rengekku. Masih tak puas menggodaku.
Alga tertawa. Sementara Willy hanya tersenyum kecil sembari curi-curi pandang ke arahku. Alga tidak tahu saja kalau sebenarnya kami sepasang kekasih. Kalau tahu bisa-bisa setiap hari dia akan menggodaku. Tidak, mungkin akan terjadi peperangan lebih tepatnya.
"Wil sudah lama kenal Ara?" tanya Alga di tengah perjalanan menuju rumah nenek. Tak henti-hentinya Alga melemparkan pertanyaan yang membuatku beberapa kali waspada.
Lebih tepatnya cemas akan jawaban Willy. Aku takut pria itu keceplosan sesuatu yang seharusnya tak dia bicarakan kepada Alga. Karena sekarang dia ada di sini bukan sebagai Willy, tapi Wildan yang entah muncul dari mana nama asal itu.
"Kami baru kenal di tempat kerja Mas."
"Ah, kalian satu tempat kerja. Jangan bilang kamu jauh-jauh datang kemari mencari kopi karena rekomendasi Ara?"
Willy melirikku. "Ah, itu─"
"Bagus juga ide promosi kamu, Ra. Pertahankan ya, supaya binsis Mas mu ini lancar. Semua orang harus tahu kalau biji kopi di tempat kita gak kalah bagusnya dari tempat lain. Ternyata kamu ada gunanya juga tinggal di desa, Ra. Gimana kalau tinggal selamanya saja di sini?"
Aku melotot. Alga mulai lagi. "Gak!"
Duh, gimana ya kalo Alga tahu Willy itu......... Gak usah penasaran2 lagi langsung ke Karyakarsa saja sudah bab 84 🥳🎉