Update!
Masih nungguin? Jangan lupa vote dan komentarnya ya, selamat membaca:*
Yang mau baca cepat bisa langsung ke Karyakarsa ya, sudah bab 78! Ada POV Deka juga:*
Halusinasi memang datang kapan saja. Apalagi saat kita sedang memikirkannya. Masalahnya, manusia yang sedang berdiri di depanku ini─aku tidak sedang memikirkannya. Meski beberapa kali ingat, itu hanya sebuah angin lalu. Tapi kenapa dia sekarang mendadak ada di depanku? Tidak. Kalau posisinya aku sedang berada di kost, aku bisa memakluminya. Tapi ini, ini sedang di rumah Nenek. Bagaimana dia bisa ada di sini?
"Ma─Mas Willy?" tanyaku, terbata.
Pria itu tersenyum. "Apa kabar, Ara."
Aku mengucek mataku beberapa kali. Berharap apa yang aku lihat ini memang hanya halusinasi. Tapi sebanyak apa pun aku melakukannya, sosok Willy tetap ada. Dia tidak pergi apa lagi menghilang.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Willy. Pria itu tertawa kecil.
Aku masih tak percaya kalau yang berdiri di depanku adalah Willy. "I─ini serius Mas Willy?"
Pria itu mengangguk. "Iya Ra, ini aku."
Aku mengerjap. Memandanginya dari atas sampai bawah dengan teliti. Ini nyata, pria ini benar-benar Mas Willy. "Ko─kok? Kok Mas Willy bisa ada di sini?"
"Kejutan."
Satu alisku naik. Apa katanya? Kejutan? Apa maksudnya? Kejutan dalam rangka apa? Sedikit pun aku tak pernah membayangkan kalau pria ini akan datang kemari.
"Kejutan?" ulangku.
Willy mengangguk. "Hm, kejutan.
"Kejutan apa?"
Pria itu tersenyum. "Kejutan buat kamu terkejut. Gimana? Berhasilkan?"
Entah pertanyaannya itu serius atau hanya omong kosong. Tapi nyatanya aku benar terkejut. Lebih tepatnya bagaimana dia bisa ada di sini? Dari mana dia tahu alamat rumah Nenek? Seingatku Zela saja belum aku beritahu karena pesannya belum sempat aku baca. Wanita itu menanyakan alamat rumah nenek karena dia ingin berlibur kemari.
"Gak. Tunggu sebentar. Aku tahu Mas Willy datang kemari bukan karena ingin membuatku terkejutkan? Aku yakin ada sesuatu lain sampai Mas Willy bisa kemari. Daripada itu, bagaimana Mas Willy bisa berada di sini? Dari mana Mas Willy tahu alamat rumah Nenek?"
Aku menyecar banyak sekali pertanyaan saking penasarannya. Tentu saja, siapa yang tidak akan penasaran saat sosok yang tak ingin aku temui tiba-tiba datang ke tempat yang bahkan terpikir saja dia bisa masuk ke dalam pelosok pun mustahil. Apalagi sampai tahu rumah nenek.
"Tenang Ra. Kamu lihat aku sudah kayak maling saja."
"Memang maling─gak, lebih tepatnya kayak hantu. Datang gak diundang tiba-tiba muncul di sini."
Willy tertawa, entah apa yang membuat pria itu merasa lucu. "Aku pikir setelah sekian lama kita gak ketemu kamu bakal berubah jadi malu-malu. Ternyata gak berubah ya."
Satu alisku naik. "Kenapa aku harus malu? Ah─karena resign kerja?"
"Aku sedang gak membahas ke arah sana, Ra."
"Lalu membahas ap─"
"Ra, tamunya gak di ajak masuk? Gak sopan ngobrol diluar sambil berdiri begitu."
Aku mematung mendengar suara nenek memotong kalimatku yang belum selesai. Dengan cepat aku menoleh ke belakang. Entah sejak kapan nenek sudah berdiri di ambang pintu, tapi nenek tampak menungguku untuk masuk ke dalam.
Aku mendesah dalam hati. Kenapa nenek harus keluar kamar? Aku tahu aku tidak sopan tak membiarkan tamu yang datang masuk ke dalam rumah. Tapi─haruskah aku mengajaknya masuk? Kalau orang lain aku tak peduli. Tapi ini Willy, Willy pria yang menjadi alasan Yesi bunuh diri. Meski aku sudah memaafkannya atau mungkin nenek tidak tahu. Tapi Alga? Sudah jelas dia tak akan tinggal diam.
"Ara." Suara nenek kembali terdengar.
"I─iya Nek, sebentar." Aku membuang napas beratku. Dengan sebal melihat ke arah Willy yang masih memasang senyum tak berdosa. "Masuk."
Aku melengos begitu saja masuk ke dalam rumah. Seujujurnya aku agak cemas. Bukan karena kedatangan Willy yang tiba-tiba meski itu juga alasan salah satunya. Aku takut Alga pulang. Meski tahu pria itu baru saja pergi.
"Masuk-masuk," ajak nenek. Menepuk-nepuk bahu Willy pelan.
Willy mengangguk dengan senyum sopan. "Terima kasih Nek."
Willy duduk di kursi yang ada diseberangku. Sementara nenek berada di tengah-tengah kami. Tak lama Santi datang dengan segelas minuman yang disuguhkan untuk Willy. Tidak lupa dengan camilannya.
"Jadi ini teman kamu Nak?" tanya nenek kepadaku.
Aku meringis. Sebenarnya malas mengakui itu tapi mau bagaimana. Tidak mungkin aku bilang kalau Willy penjahat.
"Iya Nek."
Nenek mangut-mangut lalu menatap ke arah Willy. "Sudah lama datangnya?"
Willy menggeleng. "Gak Nek. Baru saja datang."
"Sama siapa kemari?"
"Sendiri saja Nek."
"Kamu dari Bandung juga?"
"Iya Nek."
Aku mendesis. Kenapa obrolan yang sedang terjadi terdengar seperti sedang mengintrogasi. Meski tak ada sedikit pun nada aneh yang keluar dari mulut nenek. Rasanya terdengar canggung ditelingaku. Mungkin karena ini pertama kali mereka bertemu?
"Jauh sekali datang kemari sendirian. Apa gak bosan dijalan?"
Willy tersenyum kikuk. "Bosan sih, Nek. Tapi lihat setelah sampai sini dan lihat pemandangannya rasanya semua terbayar."
Nenek mangut-mangut. "Memang di daerah sini masih asri. Ada banyak kebun teh atau tempat-tempat yang dipenuhi pohon-pohon besar. Tapi hati-hati juga, karena di jalan sepi, takutnya suka ada orang jahat yang mau mencelakai kita."
Ucapan nenek bukan hanya omong kosong. Karena memang pernah ada kejadian pemotor yang sedang boncengan tiba-tiba dihadang begal di jalan yang sepi.
"Syukurlah semuanya lancar Nek. Sampai saya bisa datang kemari," kata Willy.
Nenek mengangguk dengan senyum kecil. "Kalau begitu Nenek pamit ke belakang dulu. Kalian ngobrol saja."
Kedua alisku naik. Agak panik melihat nenek yang beranjak dari duduknya. "Nenek mau ke mana?"
"Mau ke Santi."
"Mau apa? Nenek jangan kerja aneh-aneh ya, Nenek baru sembuh."
"Aish, tenang saja. sudah-sudah jangan khawatir."
Aku meringis. Kenapa nenek tidak peka sih? Maksudku nenek tidak perlu pergi kemana-mana. Temani saja aku di sini dengan Willy. Mengobrol sesuatu aneh pun tak masalah karena aku bingung kalau duduk berdua seperti ini. apa lagi mengingat hubungan kami yang sedikit tidak baik.
Aku berdehem. "Jadi─Mas Willy benar-benar niat datang kemari? Buat ketemu aku?"
Willy tersenyum lalu mengangguk. "Iya."
Aku mencoba untuk tenang meski hatiku gelisah. "Ada apa ya? Apa aku kelupaan sesuatu sampai Mas Willy harus jauh-jauh datang kemari?"
Willy menggeleng. "Bukan soal itu dan juga bukan soal kerjaan seperti yang kamu tuduhkan itu."
Satu alisku naik. "Jadi?"
"Aku datang kemari karena ingin menemui kamu, itu saja."
Aku mendesah. "Aku tahu. Masudnya untuk apa? Gak mungkinkan Mas Willy datang kemari tanpa alasan? Dari Bandung kemari itu gak dekat."
"Ya sudah pasti aku punya alasan."
"Nah, jadi alasan apa yang membuat Mas Willy kemari? Kalau itu bukan soal kerjaan."
Willy tak langsung merespons. Pria itu diam cukup lama memandangiku sampai aku mendadak jadi salah tingkah.
"Alasannya karena hatiku."
Dahiku mengerut. "Hati?"
"Hm, hatiku yang minta buat datang kemari."
Kerutan di dahiku semakin dalam. "Hah? Maksudnya gimana?"
"Karena hatiku rindu sama pemiliknya."
"Pemiliknya?"
Willy mengangguk. "Iya, pemiliknya, kamu. Glara. Kedatanganku kemari karena ingin melihat pemilik hatiku. Karena aku rindu, kamu."