ENCHANTED | End

بواسطة retno_ari

116K 11K 794

Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh... المزيد

Hai!
01
02
03
04
05
06
07
08. KK || Hidden Part 1
09
10
11
12
13. KK || Hidden Part 2
14
15
16
17
18. KK || Hidden Part 3
19
20
21
22
23
24. KK || Hidden Part 4
25
26
27
28 + info
29. KK || Hidden Part 5
30
31
32
33. KK || Hidden Part 6
34
35
36. KK || Hidden Part 7
38
39
40
41. KK || Hidden Part 8
42
43
44
45 | Giveaway Time!
46. KK || Hidden Part 9
47
48
49
50. KK || Hidden Part 10
51
52
53. KK || Hidden Part 11
54
55
56. KK || Hidden Part 12
Bisik-bisik Extra Chapter
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Info Extra Part [Dunia Pernikahan]
Extra Part 6
Extra Part 7
Extra Part 8 & 9
Extra Part 10
Extra Part 11
Extra Part 12
Extra Part 13
Extra Part 14

37

1.7K 228 20
بواسطة retno_ari

Inas turun dari stool, menyusulku berdiri di dekat jendela demi melihat jalanan di bawah sana, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. "Minggu lalu pas kita jalan di mal dan ketemu sama Mas Demas dan Intan, ada cerita seru deh!"

Aku mengalihkan tatapan pada Inas, mengerutkan kening. "Seru apanya, gue kan ada di situ juga, Sis."

"Pas lo balik duluan, Beb. Gue sama Intan ngobrol banyak!" jelasnya saat melihat kebingunganku.

"Apa?" kataku tak sabar.

"Intan, adiknya Mas Demas ... dia masa cerita soal lo." Ucapnya dengan suara kecil, pasalnya ada orang lain di belakang kami dan sedang menunggu mesin kopi bekerja.

Aku menunjuk diriku sendiri. "Soal gue? Gue nggak kenal sama dia, baru kali itu ketemu sama dia. Eh, apa kita pernah ngobrol sama Intan pas Alya nikah?" aku mencoba memutar ulang memori ketika datang ke pernikahan Alya di Semarang pada tahun lalu.

"Enggak sih. Gue juga baru lihat mukanya kemarin itu. Lagian di acara Alya tamunya rame banget, saudaranya juga banyak dan gue nggak hapal mukanya. Mas Demas aja gue nggak ingat, apalagi adiknya?"

Aku mengangguk setuju. Tamu Arda dan Alya saat itu benar-benar membludak. Maklum, mereka kan dari kota berbeda, ditambah lagi tamu dari Jakarta. "Ngomong apa dia?"

Inas menyengir sebelum menjelaskan obrolannya dengan intan. "Katanya dia suka sama lo, cantik dan gitu-gitu pokoknya. Separuh memuji, separuhnya kayak lagi dorong kakaknya buat ngedeketin lo. Aneh nggak sih?"

What?! Aku memelotot mendengar hal itu, untungnya Inas masih menatap ke luar, sehingga dia tidak melihat ekspresi kagetku saat ini.

Bruk. Pintu di belakang kami tertutup otomatis, seseorang baru saja pergi, menyisakan aku dan Inas lagi.

"Gue rasa ya, Mas Demas memang sering merhatiin lo sih." Ujar gadis di sampingku.

"Ngaco!"

"Serius. Gue memang kurang peka soal hal-hal kecil gitu, tapi dia memang sering banget lihat lo kalau lagi satu ruangan." Jelas Inas menggebu-gebu. "Kemarin pas lo masuk divisi gue, dia juga di sana, dia duduk natap lo agak lama, gue pikir dia mau ngomong sama lo, ternyata cuma diem dan merhatiin. Jangan-jangan dia memang ada rasa ya sama lo? Dia sudah ngajak lo jalan kayak Rio ngajak lo keluar?"

"Apaan sih, Sis. Jangan makin ngawur deh!" ucapku tidak suka. Aku duduk di stool dan menarik mug yang sempat kutinggalkan, menghabiskan isinya sekaligus, hanya air putih dingin yang sangat berguna untuk meredakan gejolak dalam dada.

Inas menatapku dari tempatnya berdiri. "Gue pikir lagi nih ya, Joy. Waktu ke nikahan anak direksi, gue sempat tinggalin lo dan dia nyamperin lo, kan? Itu tandanya dia memang lagi ngedeketin lo. Masa lo nggak nyadar sih?"

Aku mengibaskan tangan, tidak peduli. Wajar kami berdua ada di sana dan duduk bareng, karena kami kenal dan tidak ada teman.

"Jawab gue, kalau dia memang beneran naksir lo, lo terima?"

Aku berdecak sebal, omongan Inas mulai melantur. "Malas jalin hubungan sama orang sekantor, takut banyak drama dan konflik." Kilahku terus terang.

"Seru tahu, jadi ada Alya-Arda kedua di ITA. Hihihi." Inas menutup bibirnya saat tertawa.

"Lo aja sana," ucapku seraya turun dari stool.

Inas maju mendekatiku. "Sama siapa? Gue bukan lo yang jelas-jelas lagi dideketin sama Rio ya."

"Lo suka Rio? Ambil tuh, ikhlas lahir batin sumpah."

"Hahaha, nggak lucu."

"Lo yang nggak lucu." Balasku ketus.

Pintu pantri terbuka, Rio beneran muncul. "Ambil tuh, silakan," setelah mengatakan itu aku pergi dari pantri.

"Mau kemana?" sapa Rio saat kami berpapasan di dekat pintu.

"Bukan urusan lo!" sahutku galak.

"Ck, ck. Teman lo kenapa, Nas?"

"Hihihi, biasa..." Inas ikut pergi dari pantri, buru-buru mengejarku dan berkata. "Kalau dugaan gue benar Mas Demas naksir lo, lo mau apa?"

"Gue panggil lo dukun!" balasku asal.

"Sembarangan!" Inas menepuk lenganku, tidak terima disebut dukun. "Gue nggak mau mati su'ul khotimah gara-gara menyekutukan Allah. Naudzubillah min dzalik."

Kami pun berpisah setelah Inas mengatakan itu.

Aku jadi kepikiran soal Intan, bisa-bisanya dia ngomongin aku di depan Inas. Apa kita pernah ketemu, tidak pernah deh. Apa jangan-jangan kakaknya sendiri yang cerita tentang aku? Ah, mana mungkin.

Setelah kembali ke meja aku mendapat panggilan dari Mas Damar. Dengan buku agenda di tangan, aku melangkah menuju ruangan PM-ku. Di koridor ruang meeting aku melihat Demas berjalan dari arah berlawanan, aku berhenti sebentar dan sembunyi dari pandangan matanya. Susah sekali mengindari seseorang saat tempat kerja kami sama begini. Untung kami beda divisi, bagaimana kalau sama? Aku benar-benar tidak akan tenang.



---



Beberapa hari berlalu, usahaku menjauhi dan menjaga jarak dengan Demas akhirnya berhasil. Kemarin, aku sempat melihatnya meeting dengan stakeholder dan tim development. Sepertinya jadwalnya padat, sehingga tidak lagi berkeliaran di sekitarku. Rio pun sama, dia lagi sibuk mengurus kasus baru dengan BA lain.

Hingga akhirnya weekend pun tiba. Aku dan Mama memutuskan makan di luar saat Papa tengah asyik dengan teman-temannya di tempat lain. Aku merekomendasikan resto yang menghidangkan steak enak di daerah Tebet, sebelumnya aku pernah makan di tempat ini dan baru satu kali mencoba aku langsung suka menunya.

Tempatnya nyaman, klasik, semua furniture-nya dari jenis kayu kokoh. Di jam makan siang seperti ini tempatnya agak ramai, syukurlah masih ada meja kosong untuk empat orang. Aku langsung mengajak Mama duduk di sana, pramusaji membawakan buku menu dan siap mencatat hidangan.

"Menu favoritnya apa, Mbak?" tanya Mama sopan.

"Tenderloin steak, Bu." Balas pramusaji yang memegang kertas dan bolpoin.

Aku mengangguk. "Ya sudah, pesan itu dua. Minumnya Ice Lemonade. Mama apa?"

"Mama mau Ginger Ale, Joy." Mama menutup buku menu.

"Baik, ditunggu." Prasmusaji segera pergi ke area belakang.

Saat aku dan Mama sedang membahas menu makan malam di rumah, seseorang berdiri di dekat kursiku, aku kira dia tamu di meja lain, namun ternyata...

"Zoya?"

Aku menoleh saat mendengar orang itu memanggilku dengan suara khas dan lembut. Ya ampun, ternyata dia di sini. Duh, harusnya aku tidak mengajak Mama makan di Tebet sih. Ini namanya bunuh diri.

"Ya, hai." Sapaku seadanya, nggak enak mau ketus, ada Mama.

"Siapa, Joy?" Mama menatapku dan Demas bergantian.

"Teman kantor, Ma." Aku menyengir kecut.

Demas tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Mama. "Saya Demas, Tante."

Dengan segera Mama menyambut uluran tangan Demas. "Oh, Demas yang Slamet ya?" Mama pernah mendengar nama lengkap Demas saat aku masih mengejar-ngejar cowok itu.

"Iya. Benar."

"Sepupu Alya, kan?"

Demas sempat menatapku sebelum menjawab pertanyaan Mama. "Benar."

"Joy pernah cerita, Tante masih ingat karena nama kamu bagus. Slamet, artinya kan biar selamat." Entah Mama sok sopan dan ramah, atau memang sengaja membuat aku malu.

"Makasih." Demas tersenyum hangat.

"Kamu sendiri? Atau sama pasangan?"

"Sendiri, Tante."

"Sini, gabung aja. Mau makan juga kan?"

Kutatap wajah Mama dengan heran. Kenapa Mama dan Demas jadi akur-akrab begini? Padahal baru ketemu. Tunggu, bukannya dulu Mama bilang jangan dekat-dekat sama cowok yang namanya Demas lagi?

Mama hilang ingatan ya?

Bukan.

Mama pasti kena guna-guna!

"Iya. Makasih. Saya duduk ya, Tante." Demas menarik kursi di sebelahku dan membuyarkan lamunan liarku.

"Silakan." Mama tersenyum lembut dan wajahnya cerah sekali.

"Ma..." ucapku tanpa suara, hanya Mama yang melihat keluhanku.

"Apa sih, orang Demas teman kamu. Kerja bagian apa, Demas?" tanya Mama setelah menyuarakan gubrisannya, membuat aku malu dan mati kutu.

"QA."

"Oh. Kamu aslinya Semarang juga ya kayak Alya?"

"Iya."

"Pantes manis ya muka kamu, Jawa banget lagi. Legit!"

"Mama!" tegurku. Sungguh aneh sekali melihat Mama menggoda berondong seperti Demas. Nggak heran kan mengapa aku bisa agak genit begini? Benar, saat muda Mama juga seperti aku. Pepatah bahwa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" memang nyata.

"Apa sih, orang Mama ngomong apa adanya kok." Sekali lagi Mama menggubrisku di depan wajah Demas.

Sungguh, aku malu sekali. Rasanya mukaku mau kulipat dan kusimpan dulu di tas.

Mama baik hati sekali pada Demas, seakan lupa pada ucapannya sendiri yang mengatakan bahwa Demas tidak menyukaiku dan sebaiknya aku menjauhi lelaki ini. Mama memanggilkan pramusaji buat Demas. Cowok di sampingku memesan menu yang sama persis dengan punyaku.

Aku mendesah pelan, terus mengawasi ekspresi senang Mama yang sibuk menginterogasi Demas.

Saat pesanan kami datang, aku segera menyantap hidangan karena sudah lapar. Mama dan Demas masih lanjut mengobrol sambil menikmati steak di piringnya masing-masing. Aku tak banyak terlibat dalam percakapan mereka, kecuali kalau Mama sedang bertanya.

"Kamu pulangnya ke mana?" tanya Mama saat makanan kami habis.

"Deket sini, Tante. Saya memang tinggal sekitaran sini."

"Oh, jadi bukan kebetulan ketemu ya? Pantes Joy ngajak makan di sini, rupanya..." Mama melirikku penuh arti.

"Mama, apaan sih!" semburku geli. Sejujurnya aku sempat memikirkan Demas saat mengajak Mama makan di resto ini, namun tujuanku ke sini memang ingin makan, bukan berharap bisa bertemu dengannya dan mengenalkan pada mama.

Aku yakin sekali kalau hari ini langkahku dituntun oleh takdir. Dan ternyata takdir malah membuatku harus makan di meja yang sama dengan Demas.

"Jangan, Mas. Kita bayar sendiri." Tolakku saat dia mengeluarkan kartu debitnya di meja kasir. Aku mengikutinya ke konter kasir untuk membayar tagihan, sementara Mama masih duduk di meja.

"Nggak apa-apa, sekalian." Balasnya tidak mau dibantah. "Pakai ini aja, Mbak." Demas menyerahkan kartunya pada mbak kasir.

Aku menatapnya malas. "Nanti gue transfer."

"Nggak usah, Zoya. Nurut deh." Ucapnya pelan, lalu tersenyum lembut.

Detik itu aku merasa terhipnotis oleh tatapannya. Aku tidak yakin, perasaan apa yang sedang merambat di ulu hatiku.



______

Sudah puas banget nyiksa Demas?

Kalau belum, berarti ada tanda-tanda punya dendam nih sama seseorang, hahahaha

Kalau nggak berujung sama dia, berarti memang bukan jodohnya

Gitu aja, simpel

Kalau bukan jodoh, dipaksain juga repot, kan?

Hai, mau nawarin kalian nih ... ada yang minat gabung grup WA buat chit chat, sharing, happy-happy, saling support, bagi keberuntungan dll nggak?

Kalau minat boleh balas di sini atau chat aku aja ya, DM ig juga boleh.

Terima kasih ...

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

137K 8.4K 52
[END] Hampir sepuluh tahun berada di hubungan tanpa status tentu bukan yang Latisya inginkan, tapi karena sudah terlalu lama membuat dia sangat nyama...
31.7K 2.9K 29
"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, ­­mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tib...
401K 34.2K 66
[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Eva...
25.7K 1.9K 54
COMPLETED. The joy of meeting or finding someone again after a long separation. "Aku sekarang lagi di Paris, Theo." Edrea mendapat cuti dari kantorn...