ENCHANTED | End

Autorstwa retno_ari

116K 11K 794

Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh... Więcej

Hai!
01
02
03
04
05
06
07
08. KK || Hidden Part 1
09
10
11
12
13. KK || Hidden Part 2
14
15
16
17
18. KK || Hidden Part 3
19
20
21
22
24. KK || Hidden Part 4
25
26
27
28 + info
29. KK || Hidden Part 5
30
31
32
33. KK || Hidden Part 6
34
35
36. KK || Hidden Part 7
37
38
39
40
41. KK || Hidden Part 8
42
43
44
45 | Giveaway Time!
46. KK || Hidden Part 9
47
48
49
50. KK || Hidden Part 10
51
52
53. KK || Hidden Part 11
54
55
56. KK || Hidden Part 12
Bisik-bisik Extra Chapter
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Info Extra Part [Dunia Pernikahan]
Extra Part 6
Extra Part 7
Extra Part 8 & 9
Extra Part 10
Extra Part 11
Extra Part 12
Extra Part 13
Extra Part 14

23

1.7K 195 14
Autorstwa retno_ari

23



Pengembangan software tidak sesederhana kelihatannya, tidak jadi dalam waktu semalam seperti sebuah sihir atau sulapan. Ada beberapa prosedur yang harus dilewati oleh sebuah produk atau aplikasi sebelum diserahkan pada customer kami tercinta. Mulai dari mencari masalah dan penawar yang paling tepat, mendesain aplikasi, menuliskan source code, melakukan pertemuan penting dengan para stakeholder, mendeliver dokumen, mengawasi seluruh development, sampai memastikan bahwa software layak dirilis dan diberikan pada curtomer.

"Coba lo cek, sampai mana auditnya." Mas Amran melirikku dari balik kacamata tanpa bingkai, menyuruhku menyambangi divisi sebelah, yaitu divisi QA.

"Siap." Aku mengangguk mantap, berlalu pergi dari ruangan Mas Amran.

Kantor divisi QA ada di dekat kantor para project manager, dengan kondisi ruangnya yang lebih lapang karena diisi oleh banyak orang dan banyak meja kerja. Aku menarik handle pintu dan masuk ke sana. Vibes-nya angker, serius, dan sibuk. Mana ada orang cengar-cengir di sini.

"Sini, Joy!" Mas Bian mengangkat tangannya, dia adalah programmer senior yang bekerja denganku. "No bug, aman, insyaAllah clear!" lanjut Mas Bian dengan gerakan tangannya.

"Amin," cakapku senang, melangkah ke dekatnya.

Di depan Mas Bian ada seseorang sedang melakukan pengetesan pada aplikasi kami untuk memastikan customer experience yang baik. Saat ini project lamaku sedang memasuki tahapan uji kualitas sebelum tanggal perilisan, aplikasi itu harus lolos QA di divisi internal audit and quality assurance. Setelah memastikan aplikasi itu sesuai dengan standar perusahaan dan pemerintah, maka lolos uji dan timku bisa segera mengimplementasikan pada klien.

Aku mencolek lengan Mas Bian ketika sudah berdiri di dekatnya. "Yang nguji siapa?" tanyaku penasaran, "Mas Gading ke mana?" kepalaku celingukan mencari sosok yang biasa menguji software dari timku. "Oh, I see..." tiba-tiba aku ingat sesuatu.

"Bulan lalu kan dia pamit, mau pergi ke luar negeri. Lupa ya? Kebanyakan job nih kayaknya, apa kurang minum?" ledek Bian.

Aku melempar senyum kecut. "Satu bulan lalu, mana ingat sih? Kerjaan banyak, Mas."

Bian mengangguk, lalu menepuk sandaran kursi di depannya. "Dia yang bakal handle software kita selanjutnya, QA baru di ITA. Udah kenalan?"

Aku mengangkat bahu, kalau tidak ada kepentingan dengan QA ngapain aku harus ke sini?

Pria yang sedang duduk dan memakai kemeja biru gelap itu berdiri, masih memperlihatkan punggungnya yang lebar dan kokoh, rambutnya dipotong pendek, kulit lehernya sawo matang. Dia menoleh pada Bian, "Aplikasinya sudah maksimal, fiturnya sesuai standar. Good."

Bian tersenyum senang. "Rilis?"

Pria berkemeja biru itu mengangguk. "Yes."

"Alhamdulillah." Bian menepuk lenganku, masih tersenyum lebar. "Oh ya, Joy ... ini Demas. Demas, ini Joy anak analis sistem yang ngurus software ini." Bian mengenalkanku pada Demas tanpa merasa curiga sama sekali.

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Saat Demas membalik badan dan berbicara pada Bian, rasanya seperti ada yang memukul kepalaku dengan palu godam. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, diam di tempat, kakiku juga terasa kaku.

Demas menjulurkan tangannya, bersikap santai, seolah kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Apa dia ingin kami seperti ini? Oke, akan kuladeni.

Setelah menarik napas dalam-dalam, kusambut uluran tangannya yang gentle. "Semoga bisa bekerja sama."

Demas memberi anggukan dan melepaskan tangannya.

Aku menatap Bian, "gue cabut." Lalu pergi dari kantor QA yang angker.

Kakiku melangkah cepat ke meja kerja, duduk di kursi dengan perasaan campur aduk. Kuingat potongan kejadian beberapa waktu lalu, sebelum Gading benar-benar pergi dan tidak bekerja di sini lagi.

"Nanti ada yang gantiin gue kok, lo tenang aja. Mas Lukas sudah cari orang, pasti qualified." Beber Gading saat menyambangi divisiku.

Namun aku tidak pernah menyangka kalau yang datang adalah orang di masa laluku. Orang yang menghancurkan harapanku. Orang yang melukai perasaanku, menolak cintaku.

Aku yakin dia datang ke sini pasti karena koneksi antara dia dan Lukas. Jalur orang dalam memang paling mudah untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi sekarang ... dia langsung menduduki jabatan lumayan bergengsi di kantor ini. Seorang QA setara dengan middle manager, sebuah jabatan di atasku. Di usianya yang mungkin baru memasuki angka 28 tahun, mana mungkin dia bisa mendapat posisi itu di perusahaan baru kalau bukan lewat kenalan. Curang. Licik.

Bruk!

Aku melempar dokumen persiapan implementasi saking kesalnya.

Kenapa sih dia harus di sini? Kenapa tidak memilih tempat lain, atau mencari kantor di SCBD sana. Buat apa dia ke Kalibata?! Argh.



---



Rasanya sulit sekali untuk memusatkan perhatianku pada satu pekerjaan, sebab isi kepalaku sudah terdistraksi oleh kabar tentang Demas. Konon, dia baru masuk bulan ini, baru lima hari kerja dan sudah mendapatkan banyak teman. Kalau hanya ingin cari teman, kenapa harus ke ITA? Datang saja ke warung kopi!

Gggrrrrrr.

Mas Damar mengundangku ke ruangannya untuk bicara ini-itu. Tapi fokusku malah ke tempat lain, yaitu ke divisi sebelah, tempat Demas berada.

"Mas!" aku memotong ucapan Mas Damar yang sudah tidak bisa kudengarkan lagi. Pikiranku melanglang buana ke kampung seberang. "Sori," aku menyengir tak enak hati. "Bisa dilanjut habis makan siang nggak?"

"Boleh, jam setengah dua aja." Untung saja bapak muda itu mau menerima instruksiku. Aku segera undur diri dari kantornya, pergi ke kantin untuk mencari makan dan kopi. Aku butuh ruang untuk sendiri dan mencerna semua kebetulan ini.

Dadaku panas, rasanya ingin kuledakkan sekarang juga.

Sesuai janjiku, aku datang ke ruangan Mas Damar jam setengah dua. Dia sudah menungguku, duduk bersahaja di singgasananya. "Duduk," katanya langsung.

Jurnal dan bolpoin sudah kuletakkan di meja setelah duduk dengan nyaman.

"Jadi project lama lo selesai akhir bulan ini?" dia sedang menanyakan project-ku dengan Mas Amran yang baru kemarin lolos test. Mas Damar adalah mantan PM-nya Alya yang menurut Alya orangnya lumayan asyik tapi gesit, maunya semua kerjaan cepat beres.

"Benar, Mas."

"Kira-kria ada perubahan nggak di project ini sampai harus makan waktu lebih lama?"

"Kemarin user sih nggak minta requirement apa-apa. Mungkin nggak molor, Mas. Bakal on time kayaknya." Sahutku berdasarkan analisa lapangan.

"Good." Mas Damar mengangguk, menyatukan telapak tangannya di depan wajahnya yang ramah.

"Memang ada apa ya, Mas?"

"Saya mau narik kamu ke project baru saya."

"Ha?"

"Saya sudah bilang kok sama Amran. Dia oke-oke aja, dia bakal jalan sama analis lain di project barunya nanti."

Aku mengedipkan mata dua kali, ini serius? "Oh. Kalau boleh tahu project apa, Mas?"

Mas Damar menyender ke kursinya, tangannya memutar-muta bolpoin merah di meja. "Nanti, kejutan bulan depan. Ikut meeting penunjukan tim aja nanti. Kamu wajib ikut! Saya telepon kalau kamu nggak muncul." Paparnya seraya mengancam.

Aku menyengir kuda. "Kan belum ditunjuk, Mas. Kok sudah milih saya?"

"Karena kamu oke juga. Semua report dan hasil kerja kamu bagus, saya sudah cek ke tim development dan tentu saja Amran."

Mau tak mau aku pun mengangguk. Percakapan ditutup, aku keluar ruangan itu, berjalan di lorong kantor-kantor para manager yang di pintunya tertulis nama, jabatan, nama divisi mereka. Tahu-tahu di ujung lorong aku berpapasan dengan Demas yang sepertinya baru kembali dari luar.

Kutegapkan badan, tanganku memegang jurnal dengan erat, berjalan tanpa meliriknya sama sekali. Tidak, aku tidak boleh merecoki isi kepalaku dengan ingatan di masa lalu. Lupakan ... lupakan kejadian itu, Zoya.

Demas juga berjalan begitu saja, tampak tidak terpengaruh dengan sosokku. Kedepannya kami akan sering bertemu seperti ini, di lorong ini, juga di tempat lain dalam gedung ini. Padahal belum lama aku dan Alya membicarakan sosoknya, dan dia sudah ada di sini.

Apa-apaan sih dia, kenapa main datang ke sini dan merusak hari-hariku yang tenang? Apa dia sengaja membuatku kembali terjerembap ke jurang yang sama? Jurang sakit tidak berdarah.

Kubanting jurnalku di meja, laptopku sampai bergoyang. "Astaghfirullah ... sabar, sabar."

Benar, aku harusnya bisa sabar. Anggap saja dia orang lain yang belum pernah aku temui dimana pun! Seperti hari kemarin, saat kami bertemu di ruang QA, dia pura-pura tidak mengenalku.






MESKI BENCI, NAMUN MENGAPA PERASAAN ITU MASIH ADA?

HELP!

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

685K 66.2K 37
Pemenang Watty Awards 2019 kategori New Adult (Seri Pertama dari Coffee Series) "Dunia bukanlah sebuah permainan. Karena sekali kamu gagal, kamu tida...
261K 25.8K 38
'Setiap orang akan deadline pada waktunya' adalah kalimat yang tepat menggambarkan kehidupan Kinanthi. Perempuan yang dalam 4 bulan kedepan sudah men...
440K 36.1K 35
Narendra, N nya itu NEKAT meski ditolak Ara berkali-kali dan kena sembur tiap ngajak deket lagi. Mantan yg tiba-tiba datang saat duo admin lambe tura...
30.7K 2.6K 43
Setiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca...