ENCHANTED | End

By retno_ari

116K 11K 794

Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh... More

Hai!
01
02
03
04
05
06
07
08. KK || Hidden Part 1
09
10
11
12
13. KK || Hidden Part 2
14
15
16
17
18. KK || Hidden Part 3
19
20
22
23
24. KK || Hidden Part 4
25
26
27
28 + info
29. KK || Hidden Part 5
30
31
32
33. KK || Hidden Part 6
34
35
36. KK || Hidden Part 7
37
38
39
40
41. KK || Hidden Part 8
42
43
44
45 | Giveaway Time!
46. KK || Hidden Part 9
47
48
49
50. KK || Hidden Part 10
51
52
53. KK || Hidden Part 11
54
55
56. KK || Hidden Part 12
Bisik-bisik Extra Chapter
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Info Extra Part [Dunia Pernikahan]
Extra Part 6
Extra Part 7
Extra Part 8 & 9
Extra Part 10
Extra Part 11
Extra Part 12
Extra Part 13
Extra Part 14

21

1.6K 185 5
By retno_ari


Mama mengira aku sudah tidak tertarik pada Demas lagi, padahal sebenarnya hatiku masih sakit dan perlu obat. Sampai detik ini aku tidak menjelaskan apa-apa tentang hubungan terakhirku dengan Demas, kubiarkan Mama berspekulasi sesuka hatinya.

Di kitchen island ini aku menemani Mama mengupas mangga yang dibelinya dari supermarket. "Kamu sibuk apa kalau weekend, Joy?" Mama suka sekali mengetahui apa yang aku lakukan di dalam kamar selama dua hari ini. Aku memang mengurung diri di kamar dan tidak keluar kecuali untuk makan bersama orangtuaku, aku suka sekali makan bersama mereka, rasanya hangat dan tenteram.

"Makan, tidur, nonton. Kenapa sih?" sahutku setelah menelan kripik ubi. Di meja makan ada empat stoples makanan ringan yang sudah kuambil dari kabinet makanan, aku sedang ingin mengunyah.

Mama meletakkan pisau di meja. "Mama mau ngajak kamu jalan nanti siang. Nggak ada acara, kan?" tebaknya.

"Kemana?"

"Resto hotel milik teman Mama."

Ekor mataku mengamati Mama yang membawa buah-buahan segar ke wastafel untuk dicuci. "Arisan ibu-ibu? Enggak ah!" tolakku langsung.

Mama menoleh dengan cepat. "Bukan. Mama mau ngenalin kamu sama anaknya teman Mama itu lho, anaknya baru balik dari Penang seminggu lalu."

"Ngapain di Penang?" tanyaku sebelum memasukkan pilus ke mulut.

"Jadi dokter dia. Masa depannya bagus, secerah wajah kamu," Mama tersenyum saat menatap wajahku, bola matanya menyala terang seperti lampu 10 watt.

"Serius? Mama mau jodohin aku ya?"

"Kenalan aja, siapa tahu cocok." Mama membawa wadah bersih untuk tempat potongan mangga. "Jodoh itu bisa datang dari mana aja, tiap ada kesempatan jangan dilewatkan. Mama nggak buru-buru minta kamu nikah, tapi kenalan kan nggak salah. Mau, kan?"

"Ogah!"

Seketika Mama memelotot, aku paling malas kalau Mama sudah merongrong begini. "Jangan sembarangan nolak laki-laki kalau kamu belum kenal siapa dia, nanti jodoh kamu seret lho, Joy."

"Ma..." aku mendesah pelan.

Bagiku, perjodohan adalah opsi terakhir kalau sudah mentok banget!

"Papa juga ada kenalan, anaknya baik, sehat, masa depan cerah dan kayaknya rajin ibadah. Mau ya kenalan dulu?" Mama menawarkan cowok lain yang entah bagaimana rupanya.

Aku menutup semua stoples di meja, mengembalikannya ke tempat semula. "Jangan maksa, Mama."

"Ketemu aja dulu. Mau ya?" bujuk Mama lagi.

"Ma..."

Mama mengawasiku lekat-lekat, memohon. "Mama sudah telanjur bikin janji sama teman Mama. Enggak enak kalau nggak bawa kamu. Mama malu nanti."

Aku menghempaskan tubuhku ke kursi. "Mama cari alasan dong. Aku sakit kek..."

"Kalau sakit beneran gimana? Mending kalau cuma meriang atau panas dingin biasa, kalau tiba-tiba kamu kanker gimana, Joy?" ucap Mama serius.

Aku mendelik menatap wajah nyonya rumah yang ayu. "Mama, itu nggak mungkin!" kutepuk kening yang menghangat. Sudahlah, menyerah saja. "Oke, sebentar aja kan?" putusku dengan terpaksa.

"Iya, iya." Mama mengangguk senang. "Jam setengah empat kita jalan ya? Disopirin Pak Maja aja, kamu jangan nyetir sendiri."

"Terserah, Mama. Aku mau tidur lagi di kamar."

"Joy, buahnya!" Mama meneriakiku saat kakiku sampai di ruang tengah. "Katanya mau kulit tetap sehat dan terawat? Buahnya sudah Mama kupasin lho..."

Terpaksa aku kembali ke meja makan dan menghabiskan satu mangkuk buah-buahan segar. Mama benar-benar membuatku terawat jasmani dan rohani.



---



"Gimana, kamu suka anaknya?"

Bruk! Aku menutup pintu mobil dengan kencang, menatap ke sebelah. Mama sudah duduk dengan nyaman dan menungguku bicara.

"Terlalu klimis, Ma." Komentarku pedas, benar-benar tidak suka dengan anak teman Mama tadi.

Mama mendesah pelan, melirik Pak Maja yang bersiap menjalankan mobilku. "Nanti dulu, Pak."

Pak Maja menyahut, "baik, Bu."

"Ya sudah, Mama nggak maksa. Yang penting hari ini kamu sudah datang karena Mama janjiin ngenalin kamu. Selanjutnya urusan kamu, mau kenal jauh apa enggak." Mama menyerahkan keputusan padaku.

"No..." tukasku seraya menggeleng.

Mama menepuk-nepuk tangan di pangkuanku.

"Nggak jalan?" tanyaku heran, mobil masih diam di tempat parkir.

"Ke salon ya?" ajak Mama.

"Ngapain?" aku sudah perawatan bulan ini, terus mau ke salon buat apa coba. Lagipula mamaku nggak mau kondangan.

Tangan Mama meraba ujung rambutku yang mulai kering dan minta ditebas. "Kamu mau ganti warna rambut kan, Joy? Mama kurang sreg nih, sejak awal Mama nggak suka kamu cat brunette gini."

"Iya, iya." Sahutku lesu, aku sedang malas kemana-mana sebenarnya. Setelah tadi bertemu dengan anak teman Mama, mood-ku jadi hancur.

"Sekarang aja yuk, mumpung Papa lagi nggak di rumah, kita nyalon berjam-jam juga nggak ada yang nyariin." Mama tersenyum penuh maksud.

Tawaku pecah seketika. Kalau ada Papa, Mama memang nggak bisa kemana-mana, harus selalu di dekat dan dalam jangkauan mata Papa."Bebas ya, Ma?" ucapku senang. "Oke deh. Sekarang aja ke salonnya."

"Pak Maja, kita ke salon langganan ya." Mama menepuk jok di depannya.

"Siap, Bu." Ujar Pak Maja, menurut.

Dulu, jauh sebelum aku sibuk seperti sekarang, saat masih sekolah dan kuliah, kami sering ke salon bersama di akhir pekan. Kami berdua sering menghabiskan waktu bersama, entah untuk nyalon bareng, ngemal, ke toko buku, atau nonton. Mama sudah sudah seperti partner in crime-ku di rumah, kami kompak. Mama juga sahabat terbaikku.



---



Gadis manis berkerudung pink itu adalah tempatku menumpahkan unek-unek yang sempat kupendam. Di kantin ini aku menceritakan kejadian Minggu kemarin ketika aku menemui anak kenalan Mama.

"Kayaknya pinter, secara dokter, tapi gue benar-benar minder karena dia terlalu higenis, sepertinya salah satu pengidap OCD akut. Semua peralatan yang sudah bersih mengkilap dia lap lagi dengan tisu dan air suci yang dia bawa dari rumah!" curhatku barusan.

Inas ngikik mendengarnya. Pasti dia tahu betapa ribetnya hidup dengan salah satu pengidap OCD seakut itu. "Tapi dia dokter, seharusnya dia berobat, kan?"

Aku mengangkat bahu, bukan urusanku. "Setelah berjabat tangan sama gue aja dia sempat tumpahin antiseptik ke tangannya yang licin dan bersih. Dia pikir gue salah satu carrier virus Covid kali ya?"

"Serius? Terus lo gimana?"

"Mlongo dong. Heran lah ada manusia yang segitu bersihnya sampai nggak boleh disentuh. Kalau gitu, kenapa dia nggak di rumah aja sih? Kerja di rumah sakit lagi, bukannya di sana malah banyak penyakit?" tanyaku lebih ke diri sendiri.

Inas menyendok tahunya, menunggu makanan tertelan baru bicara lagi. "Kenapa lo bisa dikenalin sama makhluk Allah model gitu?" tuturnya sopan.

"Nyokap bilang temannya yang duluan mau ngenalin. Mungkin, nyokap kira anaknya nggak unik dan aneh gitu kali, makanya mau." Jelasku apa adanya. "Tapi nyokap sih nggak maksa buat deket, bebas aja. Cuma pas lebaran kemarin tante-tante pada ribet banget deh ngurusin hidup gue."

"Sama, gue juga. Padahal mereka tahu gue sibuk nyari duit buat apa? Sebel tahu, disabarin kok malah ngelunjak. Terus pada banding-bandingin gue sama sepupu lain lagi, mereka kan nggak punya tanggungan, nggak pusing mikir finansial. Aneh." Lontar Inas, wajahnya tampak sedih dan kecewa. Benar, tidak ada yang suka diresekin sama orang lain, apalagi kalau kaitannya dengan hal di luar jangkauan kita. Memangnya kita tahu apa kapan jodoh kita datang? Kalau mati duluan gimana?

Aku mengusap-usap punggung tangan Inas di meja. "Sabar. Kayaknya semua mulut tante-tante gitu deh kalau lihat seumuran kita kelihatan jonesnya." Aku mulai ngaco.

"Lo kali jones, gue jopy." Inas menepis.

"Jomlo happy?"

Inas menyengir kuda.

"Iuh, ada biji cabai nyangkut di gigi lo!" sentakku.

"Sori," Inas membersihkan giginya dengan minuman di meja. Lalu kembali bersuara setelah urusannya beres. "Mereka akan terus begini sampai kita punya suami tahu, Joy!" celetuknya yang terdengar mengerikan, kok kayak diteror sih jadinya?

Aku memukul meja kosong, mendesah keras. "Memangnya hidup kita bakalan kelar kalau nggak punya suami? Lagian hidup ini kan hidup kita, bukan hidup mereka!" ucapku sarkas.

Detik itu semua mata di dekat meja ini tertuju padaku, ada yang diam-diam menatapku dengan cengiran tengilnya. Inas menutup wajahnya dengan telapak tangan, malu ditatap oleh orang-orang.

"Aduh, lo bikin kita jadi pusat perhatian tahu nggak!" protesnya dengan suara kecil.

"Bodo." Ucapku tak peduli.

Inas menyedot minumnya lagi. Aku masih berusaha menghabiskan sayur capcay di piringku. Kami hening sejenak untuk sama-sama merenung. Di kepalaku malah muncul nama Rio, di saat seperti ini kenapa harus nama dia yang mengudara? Seolah bisa membaca gelagatku, Inas menanyakan potensi Rio untuk masa depanku.

"Mau jadi apa gue kalau nikah sama cowok kayak dia?" cibirku pada sosok yang tidak ada di sini. "Anak-anak gue bakal ngomelin gue tahu, 'Ma, kok milih bapak yang suka dugem sih?'. Mampus!"

Inas menggeleng-geleng tidak terima. "Ih, siapa tahu dia bakal tobat setelah lo bimbing."

"Gue yang butuh dibimbing sama suami yang baik, Sis. Lo nggak lihat gue nggak bener seratus persen?" aku menepuk keningku sendiri. "Belum lagi mikirin fisik dia, masih ori dan sehat atau sudah kena penyakit kelamin? Ogah!"

Inas mendesah. "Benar juga. Bahaya laki-laki yang sering gonta-ganti pasangan. Perlu diwaspadai."

"Oke. Dia kita coret dari list cowok yang bisa gue gebet dalam waktu dekat ya?" seruku yakin.

"Coret aja." Inas mengangguk, namun sedetik kemudian dia menggeleng. "Kecuali kalau dia tobat dan sehat sih, Joy. Lumayan tahu, mukanya ganteng gitu, bisa memperbaiki keturunan."

Seketika mataku mendelik, Inas masih saja berpikir positif.





ANDAI KAU PERNAH DITOLAK, JANGAN SEDIH

MASIH ADA SESEORANG UNTUKMU, MUNGKIN HARUS DICARI DENGAN CARA LAIN?

YANG JELAS NGGAK PAKAI DUKUN  ;D


Continue Reading

You'll Also Like

401K 34.2K 66
[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Eva...
685K 66.2K 37
Pemenang Watty Awards 2019 kategori New Adult (Seri Pertama dari Coffee Series) "Dunia bukanlah sebuah permainan. Karena sekali kamu gagal, kamu tida...
1.5M 134K 41
What do you think about Consultant? Keren dan necis? Sering mobile alias jalan-jalan entah di dalam atau luar negeri? Penghasilan berlimpah? Kerj...
25.7K 1.9K 54
COMPLETED. The joy of meeting or finding someone again after a long separation. "Aku sekarang lagi di Paris, Theo." Edrea mendapat cuti dari kantorn...