ENCHANTED | End

By retno_ari

123K 11.1K 794

Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh... More

Hai!
01
02
03
04
05
06
08. KK || Hidden Part 1
09
10
11
12
13. KK || Hidden Part 2
14
15
16
17
18. KK || Hidden Part 3
19
20
21
22
23
24. KK || Hidden Part 4
25
26
27
28 + info
29. KK || Hidden Part 5
30
31
32
33. KK || Hidden Part 6
34
35
36. KK || Hidden Part 7
37
38
39
40
41. KK || Hidden Part 8
42
43
44
45 | Giveaway Time!
46. KK || Hidden Part 9
47
48
49
50. KK || Hidden Part 10
51
52
53. KK || Hidden Part 11
54
55
56. KK || Hidden Part 12
Bisik-bisik Extra Chapter
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Info Extra Part [Dunia Pernikahan]
Extra Part 6
Extra Part 7
Extra Part 8 & 9
Extra Part 10
Extra Part 11
Extra Part 12
Extra Part 13
Extra Part 14

07

1.9K 189 3
By retno_ari

Demas.

Batinku menyebut namanya, nama yang menghiasi hari-hariku, nama yang menghadirkan gelenyar aneh di dadaku.

Sekali lagi aku menatap diriku lewat cermin, penampilanku sudah sempurna. Kupakai dress selutut dengan lengan pendek, warna navy dan rambut cokelatku kubiarkan tergerai seperti biasa. Aku juga memakai softlens cokelat agar tampak natural, lipstick dan riasan di wajahku juga tak begitu mencolok. Setelah menyampirkan sling bag di bahuku, aku segera keluar kamar dan menuju ke mobil.

"Mau kemana, Joy?" tanya Mama yang sedang menyirami bunga kesayangannya. Mama hanya ibu rumah tangga yang sibuk dengan sugudang tugasnya di rumah dan di luar rumah--jalan dengan teman-temannya.

Aku mendekati Mama. "Mau keluar aja, sebentar." Balasku tak mau jujur. Aku memang dekat dengan Mama, tapi untuk sekadang aku belum bisa bercerita, takut Mama mengira kalau anaknya sudah punya pacar baru.

"Muah!" kucium pipi mamaku yang tidak begitu banyak kerutan. Maklum, Papa selalu menyisihkan dana untuk perawatan mingguan istrinya.

Mama menatapku curiga. Ibu-ibu memang sulit dibohongi, tahu kalau ada "sesuatu" di balik penampilan dan gerak-gerik seseorang. "Rapi banget, Joy."

"Biasanya juga gini, aku kan feminin, Ma. Dan cantik kayak Mama!" ucapku sambil mengibaskan rambut, membuat Mama tertawa.

"Ya sudah sana. Hati-hati."

Aku melambaikan tangan pada Mama. Meninggalkan ibuku yang cantik dan anggun seperti puteri keraton dengan adik-adikku; mulai dari Suplir, Tanduk Rusa, Kuping Gajah, Keladi Red Star, Monstera, sampai Snow White.

Jika Papa senang memelihara ikan Koi di kolam samping rumah, Mama justru seperti wanita kebanyakan, suka sekali dengan tanama hias. Mama orang tercantik yang pernah kulihat meski di rumah hanya mengenakan daster batik saja, tapi begitu keluar rumah Mama terlihat benar-benar anggun dan berwibawa seperti istri seorang pejabat, padahal ayahku hanya pengusaha percetakan. Kurasa aku mewarisi kebanyakan sifat ibuku, juga kefemininan ini turun darinya.

Sebelum mobilku melaju ke jalan kompleks, ponselku berdering meraung-raung. Aku mengambilnya dari sling bag yang diletakkan di kursi samping. Nama Rio muncul di sana. Aku mendesah sebelum mematikan ponsel dan membiarkan Rio sakit hati.

Siapa pun, tolong aku, hentikan ulah Rio yang terus merongrongku dan merusak hari liburku. Aku selalu tidak mood kalau harus berhadapan dengannya di luar urusan kerja.



---



"Ada di atas," ucap Adam setelah kutanya kemana temannya.

Apakah dia bujang baik? Kenapa weekend seperti ini tetap di rumah dan hanya pergi untuk jogging di sekitar sini? Aku semakin kesengsem padanya.

"Naik aja, Mbak." Adam kembali berujar, membuatku kaget sendiri. Dia menatapku heran karena terus berdiri di depan meja kerjanya, padahal antrean di belakang begitu panjang. Sabtu ini tempat Adam terlihat ramai, mobilku kembali parkir di luar karena penuh oleh motor anak-anak yang sepertinya masih kuliah. "Dia juga lagi nunggu, makanya pintunya di buka," jelas Adam seraya menunjuk ke arah tirai yang tertiup kipas angin.

"Oh." Aku mengangguk meski merasa bingung. Dari mana Demas tahu kalau aku mau ke sini? Apakah Alya membocorkan rahasiaku?

Aku melangkah ke dalam, menyibak tirai putih dan menatap tangga. Pintu di ujung sana memang terbuka lebar. Dengan rasa kikuk aku menaiki tangga, berharap Demas sudah bisa tersenyum di depanku dan menyambutku dengan hangat.

"Eh!" aku spontan menutup mata ketika berdiri di tangga teratas. "Sori, Adam yang suruh gue ke sini." Jelasku dengan tampang malu. Aku tak sengaja melihat Demas keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk dari pinggang ke bawah.

Demas tidak memberi jawaban, dia sepertinya langsung masuk ke kamar karena terdengar suara pintu tertutup. Aku menurunkan tangan dari wajahku dan melongok ke dalam, tempatnya benar-benar rapi, seperti bukan tempat tinggal bujang usia 27 tahun yang masih lajang. Apakah dia seseorang yang sangat terorganisir?

Kakiku semakin maju ketika ingin melihat area balkon yang dipenuhi oleh tanaman rambat dan gantung, aku tersenyum sendiri, balkon itu terlihat segar dan asri. Apakah dia merawat semua ini? Rajin sekali.

Pintu kamar terbuka, mengeluarkan suara decitan tak asing. Demas keluar dengan kaos hitam polos dan celana selutut, rambutnya setengah basah dibiarkan begitu saja, disisir dengan jari-jarinya dan handuk melingkar di lehernya.

"Adam pasti salah. Gue nunggu orang lain." Katanya datar, lalu berjalan ke balkon untuk menjemur handuknya.

Aku diam di tempat, tak tahu apa yang harus kulakukan karena sudah kepedean. "Sori, ganggu," kataku akhirnya. Tapi aku tidak mau pergi begitu saja, aku sudah benar-benar mantap mau usaha. Aku menatap ke tanaman yang digantung di kanopi, menunjuknya tanpa alasan. "Itu Tradescantia?" tanyaku padanya.

Demas berdiri menatap tanaman di atas kepalanya. Tanaman dengan daun bercorak garis-garis dengan banyak warna, ada putih, ungu, hijau. "Iya," balasnya sambil mengangguk. "Punya juga?"

Aku tersenyum senang, setidaknya ada obrolan agar tidak bingung sendiri. "Nyokap yang rajin berkebun. Lo nanem semua ini sendiri?" tanyaku ingin tahu.

Demas menyalakan kran samping dan memegang selang air warna hijau, menyirami tumbuhan di pot bawah.

Aku mendekat perlahan sampai akhirnya berdiri di belakangnya, padahal dia belum menyuruhku masuk. "Atau cewek lo yang nanem?" pancingku, siapa tahu dia punya kekasih yang belum dikenalkan pada sepupunya.

Demas menatapku sesaat sebelum menjawab. "Gue."

"Oh," gumamku, menahan senyuman.

Aku lihat dia begitu memerhatikan setiap tanaman yang tumbuh di sini, teringat perlakuannya pada Alya saat kami di rumah sakit. Dia benar-benar terlihat penuh kasih sayang.

Ketika dia menyiram tanaman di pot gantung, air memercik ke arah kami, aku segera mundur dan menjauh. "Sori, nggak lihat tadi." Katanya setelah mematikan kran air.

"Nope," aku mengusap lenganku yang basah.

"Ke sini mau apa?"

Pertanyaan itu membuat lidahku kelu. Apakah aku harus jujur? Haduh, murahan sekali. Tapi, sepertinya sikapku pun sudah tampak kacau di matanya. Dia pasti sadar kan kalau aku tertarik padanya sejak kedatanganku pertama kali.

Belum sempat kujawab pertanyaannya itu, seseorang mengetuk pintu di dekat tangga. Aku dan Demas menoleh bersamaan, melihat seorang pria berdiri menjulang di sana yang ternyata Mas Arda.

"Joy. Lo di sini?" Mas Arda menyengir saat menunjukku, ia masuk ke dalam.

Aku mengangguk kikuk.

Demas dan Mas Arda menatapku heran, sama-sama menunggu penjelasan.

"Main aja," sahutku asal.

"Main?" ulang Mas Arda, suami sahabatku, dengan kernyitan di keningnya. Lalu dia menatap Demas. "Kalian kenal sejak di RS waktu itu, kan?"

Demas mengangguk, dia benar-benar tidak sadar bahwa kami pernah bertemu sebelumnya. "Di bawah masih banyak orang?" dia bertanya pada Mas Arda.

"Kosong sih. Adam sama satu orang lagi kalau nggak salah lihat." Jelas Mas Arda.

"Di bawah aja. Yuk." Ajak Demas pada suami sepupunya. Entah mereka mau membicarakan apa, bukan urusanku.

Sebelum mereka benar-benar turun, aku sempat bertanya pada Mas Arda. "Alya nggak ikut?"

"Lagi tiduran."

"Sakit?"

Mas Arda mengangguk pelan. "Demam. Sudah mendingan kok. Telepon aja, gue pinjem Slametnya bentar ya, Joy!" balasnya dengan senyuman ganjil.

Demas menatapku datar, sebelum menyusul Mas Arda dia sempat menyuruhku duduk dan menunjuk sofa lebar di ruang tengah ini.

Sekarang aku sendiri di sini, di ruang tengah yang terhubung dengan balkon. Di depan sofa ada sebuah televisi yang menggantung di dinding bercat abu-abu, pintu kamar Demas di sebelahnya, di sisi kanan ada kamar mandi dan juga sebuah ruangan tanpa pintu yang sepertinya dia jadikan perpustakaan itu. Tempat ini benar-benar bersih, tidak ada aroma jorok sama sekali. Maksudku, tidak seperti di bawah yang ada asbak untuk menampung puntung rokok dan abunya. Sepertinya Demas bukan perokok.

Aku tersenyum membayangkan Demas saat hanya mengenakan handuk, badannya cukup berotot, kulitnya tidak putih seperti Mas Arda, tetapi tidak gelap. Mungkin itu yang disebut jenis medium, persis seperti mas-mas Jawa pada umumnya. Aku memangku bantal yang tergeletak di karpet, mencium aroma yang mirip-mirip dengan produk Davidoff. Aku mengendusnya lebih dekat dan benar saja, ini bau parfum Davidoff yang pernah kuhadiahkan pada Deon.

Sepertinya aku sudah gila, karena saat ini aku memeluk bantal bekas Demas dan tersenyum sendiri.

"Hem!" deheman seseorang membuatku kaget, aku menoleh was-was. "Mau minum apa?" Demas sudah berdiri di ambang pintu, menatapku dengan kernyitan di dahi, juga mengawasi bantal yang sedang kupeluk.

"Apa aja." Balasku cepat, wajahku terasa panas sekali.

Demas mengangguk dan kembali turun. Aku langsung melempar bantal ke karpet dan menendangnya dua kali. Sialan! Malu-maluin banget sumpah.






_______

Ada info nih
Mulai besok ada HIDDEN PART yang cuma tayang di Karyakarsa

So, yang mau ikutin alurnya dengan utuh, buat akun di lapak karyakarsa ya gengs

Tenang, harganya selalu terjangkau kok

Ribet banget sih ada PART Khusus di Karyakarsa? Yah ... namanya juga lagi cari cuan kak buat bayar Wi-Fi, hehehe

Sampai jumpa besok, di Karyakarsa!!


*Gengs, cerita ini bakal tetap lanjut kok
Hanya HIDDEN PART aja yang bakal tayang di Karyakarsa*

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 250K 31
[Medical Content] Love is not just a word. You will know until you read this story till the end. Kisah ini bermula di Rumah Sakit Fatmawati. Antara d...
9K 525 44
Apakah kalian tidak punya ayah? Kalian hanya tinggal bersama ibumu? Dan kemudian ibumu menikah lagi dengan seorang duda yang memiliki satu anak? B...
Ephemeral By Milky

Short Story

4.7K 311 10
Mata abu-abu sewarna perak itu terlalu murni dan jujur untuk menyamarkan jiwa manis yang bersinar melaluinya ketika mereka memandangnya. Itulah cinta...
120K 12.7K 33
(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa...