Cipher | ✔

By AyuWelirang

16.9K 4K 308

[The Wattys 2022 Winner - Mystery/Thriller Category] [Silakan follow sebelum membaca dan jangan lupa tinggalk... More

.:: Prakata
.:: Evolusi Sampul
.:: Meet the Cipher Breakers
Prolog
1 - Crimson Night
2 - Lucene
3 - Cryptonym: jimmo
4 - Awanama
5 - Feisty
.:: Log AWANAMA 01: Jimmo's Archive
6 - Catur Pandita
7 - Patroli Siber
8 - Pentester
9 - Bukan Nostalgia
10 - Siber Alfa
.:: Log AWANAMA 02: Ubermensch's Archive
11 - Laporan Pertama
12 - Honeypot
13 - Russell
14 - Adin is MIA
15 - MLI Tech
16 - Laporan Kedua
17 - Unnamed Corpse
18 - Enemy in the Front Line
19 - Steganografi
20 - F is for "Forgotten"
21 - Bos
22 - Penambang
23 - Long Lost Brother
24 - Bayangan
25 - Pelayat Asing
26 - Unfinished Code
27 - Catur dan Wibi
29 - A Flying Spy
30 - Two Roads Intertwined
31 - Dua Pengejaran
32 - No Distance Left to Run
33 - D-Day
34 - 1984
35 - Launcher
36 - Counter
37 - Reverse Engineered Program
38 - Catur versus Wibi
39 - Tenggelam Bersama
40 - Mulai dari Nol
41 - Leaked Scandal
42 - Disappear Always
Epilog

28 - Rendezvous

221 64 1
By AyuWelirang

Wibi dan Catur duduk berhadap-hadapan di ruang rapat. Setelah Mona selesai menggunakan ruangan, Nitta buru-buru mengusir kedua tamunya dari kubikel dan meminta mereka untuk menunggu di ruang rapat. Karena Nitta tak kunjung datang, ruang rapat yang dingin dan bercat abu-abu itu tampak bagi penjara bagi kedua kawan lama yang telah hilang kontak.

Di tengah deru pendingin dan kersik plastik pengharum ruangan, Catur berdeham pelan. Wibi melirik perwira itu dari balik kacamatanya yang berbingkai tipis. Mata lelaki necis itu lancip di ujung. Tahi lalat tampak menghiasi sudutnya.

"Sepertinya kau sudah sukses," gumam Catur membuka obrolan.

"Kau juga begitu. Sudah AKP pula," balas Wibi. Ada nada sinis dari kalimat ringkasnya.

Catur hanya tersenyum dan tak merasa tersinggung. Ia lantas bicara lagi, "Kudengar, kau memimpin divisi riset dan teknologi? Keren juga. Mungkin aku akan berpikir untuk bergabung dengan perusahaanmu kalau jadi warga sipil."

"Kami tidak menerima mantan aparat," tukas Wibi. Pria necis itu mulai membuka laptop. Ia mengecek arloji mahalnya dan mencebik pelan. Mengapa Nitta lama sekali?

Catur tentu saja terbahak. "Kau serius? Bukannya kau juga aparat dulunya?"

"Aku hanya orang yang mencoreng muka lembaga besar negara ini. Apa masih bisa kau sebut aparat?"

Catur terdiam lagi. Memang tidak etis jika mengorek masa lalu, apalagi jika baru bertemu dengan orang tersebut setelah lama.

"Kau ada perlu apa ke Lucene?" tanya Catur mengalihkan perihal Wibi yang tersandung kasus peretasan jaringan internal Polri.

Namun, Wibi tak lantas menjawab. Ia malah menyeringai pelan. "Kalau begitu, aku pun bisa bertanya hal serupa. Kau sendiri sedang apa di sini? Di kantor kecil seperti ini?" selidik Wibi sembari membetulkan letak bingkai kacamata di atas tulang hidungnya yang mancung.

"Urusan negara. Jadi, tidak bisa kuberitahu padamu," tutup Catur. Ia baru saja akan membuka buku catatan penyelidikan kasus, tapi urung dilakukan.

Di luar ruangan rapat yang kedap suara, tampak Nitta tengah mengobrol dengan Mona. Sesekali gadis itu merengut. Wajahnya menyiratkan amarah. Kedua lelaki yang menghuni ruang rapat, menonton kejadian itu seperti tengah menonton pertengkaran kekasih di tempat publik. Setelah beberapa saat, Nitta akhirnya melengos pergi dari hadapan Mona dan melangkah ke arah ruang rapat.

"Maaf menunggu lama. Jadi, apa yang bisa saya bantu?" ungkap Nitta segera setelah membuka pintu ruang rapat. Napas Nitta masih memburu, pandangannya masih garang. Namun, saat ia melangkah masuk, gadis itu mencoba bersikap biasa. Nitta duduk di salah satu kursi ruang rapat, membelakangi layar teve ukuran besar yang biasa dipakai presentasi.

"Saya sebenarnya hanya mampir," balas Wibi cepat. Ia mengecek arloji lagi. "Saya ada pertanyaan terkait pentest kemarin, tapi karena Mbak Nitta ada tamu lain, sepertinya saya pamit duluan," tambah Wibi. Ia tersenyum manis lagi. Nitta membalas dengan anggukan sopan, tanpa senyum.

"Kenapa terburu-buru? Kau kan bisa membereskan urusanmu dulu. Aku bisa menunggu," kata Catur.

"Tidak perlu. Sepertinya urusanmu lebih mendesak. Ya sudah, aku pamit dulu," tutup Wibi seraya berdiri. Catur dan Nitta ikutan berdiri. Sementara Nitta mengantar Wibi sampai lobi kantor, Catur masih terdiam di ruang rapat dan mulai membuka buku catatan penyelidikan.

Beberapa menit kemudian, Nitta kembali ke ruang rapat. Ia menengok ke belakang sebelum membuka pintu.

Gadis itu langsung mengempaskan punggungnya ke kursi. Catur yang penasaran, buru-buru membuka obrolan, "Mbak Nitta sudah kerja dengan Wibi cukup lama?"

Nitta menggeleng. Gadis itu pun membuka laptop dan mengetik sesuatu, disusul musik latar login ke sistem operasi di laptop. "Nggak lama. Baru-baru ini aja, karena mereka minta pentest untuk beberapa sistem mereka," balas Nitta cepat. Setelah mengetik beberapa hal, mata gadis itu kini menatap Catur. "Nah, ada perlu apa lagi, Bang Catur?"

"Oh iya, betul. Saya jadi lupa kalau ke sini ada urusan. Biasanya untuk melacak seseorang dari alamat IP, bagaimana lagi ya? Kalau hanya tahu alamat IP milik warnet?" tanya Catur pada Nitta. Ia menyiapkan buku catatan untuk menulis apa yang hendak Nitta jawab.

"Warnet? Ah... Biasanya Dynamic IP ya? Alamat IP si warnet selalu berubah?" Nitta bertanya balik.

Catur mengangguk. "Memang sih ketika melacak surel si pelapor, alamat IP yang digunakan berubah-ubah. Namun, setelah saya crosscheck dengan tim saya di Unit 1, alamat IP dari Internet Service Provider masih mengarah ke warnet yang sama," tambah Catur.

Nitta mengetuk jari-jarinya ke meja kelabu di ruang rapat. Ia berdeham selama beberapa saat. Lalu, gadis itu membalas, "Kalau warnetnya sama, kemungkinan pelapor tinggal di area itu. Orang akan datang ke tempat yang familiar dikunjungi. Kecuali orang itu sedang dalam pelarian. Apa kalian sudah datangi warnet yang dimaksud?"

"Masalahnya, kami belum bisa kunjungan ke warnet karena posisi kasus belum ada tanda-tanda tindak pidana. Kami baru melakukan penyelidikan untuk mencari apakah ada tindak pidana atau tidak. Jika ada dan masuk BAP, baru kami akan melakukan penyidikan untuk mencari bukti tindak pidana," jelas Catur.

Nitta mencebik bingung. "Aduh, protokoler banget. Saya nggak paham. Intinya gini sih, menurut saya pribadi, sebaiknya Bang Catur coba mengunjungi warnet yang dimaksud. Jika tidak bisa tiba-tiba menggerebek karena belum ada surat geledah, Bang Catur datang sebagai warga sipil saja. Bisa kan melakukan social engineering? Kasih rokok dan kopi sama yang punya warnet, mereka pasti sudah senang," urai Nitta. Gadis itu mengakhiri penjelasannya dengan senyum.

Catur mengangguk setuju. "Sepertinya saya harus izin tugas lapangan kalau begini. Oh ya, apa Mbak Nitta bisa ikut?"

Wajah Nitta memerah bingung dan memberengut. "Hah? Ngapain?"

"Ya, siapa tahu bisa bantu melacak juga. Tenang saja, saya akan izin dulu sama atasan, sehingga tidak akan jadi masalah ke depannya. Lagi pula saya akan ke sana sebagai orang sipil seperti yang Mbak Nitta bilang," tambah Catur.

Nitta menimbang-nimbang ajakan Catur. Namun, ia merasa tak ada gunanya juga mengikuti perwira itu. Terlebih lagi dia masih banyak pekerjaan dan masalah dengan satu kolega kantor. "Sepertinya saya nggak bisa ikut, tapi kalau Bang Catur butuh bantuan, langsung telepon saya saja," balas Nitta sopan.

Catur tampak kecewa, tapi setelahnya ia mengangguk setuju. Mungkin dia sudah kelewat batas. Atau... Catur hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadis itu? "Baiklah. Nggak masalah. Nah, nanti saya update tentang pelacakan orang di warnet. Karena sudah siang banget, saya pamit dulu. Saya harus ke kantor karena hari ini hanya cuti setengah hari dan tidak izin tugas lapangan," tutup Catur.

Keduanya bangkit dan saling bersalaman. Seperti Wibi, demi alasan kesopanan, Nitta mengantar perwira itu sampai lobi, bahkan sampai tepi trotoar di depan kantor Lucene. Setelah menemukan taksi yang kosong, Catur memasuki mobil dan melambaikan tangan.

"Terima kasih, Mbak Nitta!" serunya saat taksi mulai melesat.

***

Sekembalinya dari mengantar Catur, Nitta mengambil laptop yang ia tinggalkan di ruang rapat barusan. Sebelum keluar dari sana, gadis berkuncir kuda itu melepas kacamata dan memijat dahinya. Ia pun membersihkan bekas sidik jari yang menempel di lensa kacamata. Setelah dirasa kembali jernih, ia memakai kacamatanya kembali dan bergegas menuju kubikel.

Sesampainya di kubikel, Nitta kembali berang. Sosok Caraka tengah duduk di salah satu kursi.

"Ngapain kamu di situ?! Sejak kapan sampai kantor?!" seru Nitta. Ia menaruh laptop dan berkacak pinggang. Kacamatanya melorot ke ujung hidung karena kepalanya menegang.

"Aduh, Nit. Jangan marah. Aku cuma menumpang pinjam kabel jaringan. Kabel di mejaku rusak," balas Caraka berdusta.

"Nggak usah pakai kabel segala deh. Kan bisa pakai Wi-Fi?!" seru Nitta lagi.

"Nggak mau. Lambat. Gampang bottleneck," kilah Caraka lagi.

"Terserah kamu aja lah. Udah geser dikit sana. Hari ini aku kesal. Banyak kerjaan, banyak tamu nggak jelas. Emang mereka nggak tahu teknologi yang namanya telepon apa?" rutuk Nitta.

Caraka hanya tertawa. Nitta bisa jadi cukup menggemaskan kalau sedang marah.

"Ketawa lagi kamu," omel Nitta lagi.

"Ya udah, kubantu. Mana sini kerjaannya?" Caraka menggeser kursi dan menaruh laptopnya di meja panjang kubikel Nitta. Laptop mereka kini saling bersebelahan.

Nitta mengeluarkan USB flash drive warna merah dari saku depan ransel. "Nih, exploit yang udah kubuat dan bakal dipakai pentest MLI tahap kedua ada di sini. Coba dibetulkan aja kalau kode programnya salah logika," kata Nitta sembari menyodorkan benda pipih ke telapak tangan Caraka. Lelaki berambut gondrong acak-acakan itu lantas memutar-mutar USB flash drive dan menelitinya. Nitta mencebik kesal. "Tenang aja, itu aman dari virus. Kamu kayak nggak percaya banget sama kemampuanku."

Caraka tertawa lagi. "Oke. Siap. Aku percaya lah. Kenapa pula harus marah-marah?"

Mona yang sejak tadi menguping obrolan kedua orang divisi keamanan informasi itu, ikut-ikutan kesal. "Kalian bisa nggak sih jangan teriak-teriak terus? Ini gue lagi teleponan sama klien. Tolong agak kecilin dong volume berantemnya?!" gerutu Mona ikutan nimbrung.

"Iya, Mbak. Maaf," kata Caraka lalu berbisik pada Nitta, "gara-gara kamu, jadi kena marah Ibu Bos."

"Iya udah diem! Kita lanjut kerjain exploit dulu. Ini aku lagi beresin kode program buat Deka Chemical," tutup Nitta sembari mulai menyambungkan USB warna perak yang tempo hari dibelinya dari toko buku. Namun, setelah USB itu tersambung, Nitta mengernyitkan dahi. "Waduh, salah bawa USB. Ini sih yang dikasih kasir Crepes Cream. Berkas apaan nih white_hat?" tanya Nitta pada diri sendiri.

Kata-kata Nitta membuat Caraka spontan menoleh. Baru saja Nitta akan mengeklik berkas tersebut, Caraka buru-buru mencabut kabel jaringan, bahkan USB berwarna perak itu. "Jangan diklik berkasnya!" seru Caraka setelah kejadian tadi.

Nitta langsung memandang Caraka dengan kesal. "Apa-apaan sih, Raka?!" pekik Nitta. Kemarahan gadis itu hari ini sudah di ujung batas. Namun, saat melihat pria gondrong di sampingnya memasang wajah serius, Nitta pun melunak. "Kamu tahu isi berkas itu?"

Caraka hanya terdiam.

"Jawab sekarang!" pekik Nitta dengan suara pelan. Gadis itu mencengkeram kerah baju Caraka. Wajahnya maju ke arah wajah Caraka yang hanya memandang Nitta dengan pandangan cemas. Detak jantung Caraka seolah-olah terdengar di kedua telinga kedua penghuni kubikel Nitta yang paling luas dari semua kubikel.

Caraka melepas cengkeraman tangan Nitta di kerahnya. Ia bangkit dan menoleh ke sekitar kantor. "Di sini nggak aman. Aku tidak bisa menjelaskannya di sini. Ayo ikut aku," kata Caraka lagi. Lelaki itu memasukkan laptop dan semua perlengkapan kerjanya ke ransel, lalu memakai flanelnya.

"Ini masih jam kerja," kata Nitta lagi. Ia enggan beranjak.

"Aku akan pergi sekarang. Terserah kamu mau ikut atau tidak." Tanpa menyelesaikan pekerjaan, Caraka menengok ke sekitar kubikel Nitta. Ia mengambil benda hitam kecil dari sudut kubikel dan menunjukkannya pada Nitta.

"Shit!" seru Nitta saat melihat benda itu. "Siapa yang menaruh kamera sekecil ini?! Biasanya tidak ada benda apa-apa di sudut setiap aku memeriksanya untuk memulai bekerja."

"Siapa yang duduk di kubikelmu baru-baru ini?" tanya Caraka lagi. Lelaki itu sudah siap hengkang dari Lucene saat Nitta menarik lengan flanelnya.

"Catur dan Wibi. Tunggu, aku ikut," balas Nitta cepat. Ia buru-buru memasukkan laptop, buku, YubiKey untuk keamanan login, dan bermacam-macam USB serta hard drive eksternal miliknya yang berada di laci meja kerja.

"Sebaiknya tinggalkan laptop kantor. Apa kamu masih punya laptop cadangan yang bisa digunakan?" kata Caraka lagi.

Nitta enggan menjawab, ia malah meminta Caraka keluar duluan. Setelah kubikelnya kembali sepi, Nitta beranjak menuju tumpukan kardus di sudut kubikelnya dan mengeluarkan satu laptop lain yang disamarkan di bawah tumpukan buku. Laptop itulah yang biasa ia pakai untuk login ke halaman Awanama. Tak lupa ia membawa satu pouch berisi USB keamanan login lain, termasuk Popo, kunci autentikasi yang biasa ia pakai login Awanama.

Nitta bergegas keluar kantor. Mona melihat gadis itu buru-buru pergi dan hanya geleng-geleng kepala. Teman Nitta satu ini sudah biasa menghadapi Nitta yang doyan pergi sesuka hati dari kantor, karena biasanya dia akan kembali malam hari untuk giliran jaga malam sebagai Security Operation Center, dan melakukan monitoring keamanan sistem para klien. Oleh karenanya, Mona tak pernah menanyakan hilangnya gadis itu.

Di depan kantor, Caraka tengah merokok. Ia mondar-mandir cemas.

"Ayo," ajak Caraka.

"Kamu... Merokok?" tanya Nitta bingung. Gadis itu menangkap satu pemandangan berbeda Caraka yang tak pernah dilihatnya.

Caraka hanya terdiam. "Aku jelaskan nanti. Ayo kita ke Stasiun Manggarai," kata Caraka pendek-pendek. Ia menggerus puntung rokoknya di tempat rokok berbahan kaleng dengan stiker Jim Morrison di bagian tutupnya. Caraka lantas berjalan ke arah Pujasera, lalu mencegat sebuah angkutan kota. Keduanya pun melesat ke Stasiun Manggarai dengan angkutan itu.

***

Sementara itu, di markas Big Brother—kelompok peretas black hat yang ditempati Feisty, Klaus, dan Bos—suasana mendadak riuh. Tatkala pencariannya berbuah manis, Klaus melompat-lompat sembari menggoyang bahu Feisty yang lemas karena kurang tidur.

"Ketemu! Program sempat mengirim feed ke layanan monitoring gue. Nyala sekitar tiga puluh detik. Cepat telepon Bos!" seru Klaus senang.

"Iya, iya. Lepasin gue dulu, sebelum gue bikin lo bonyok," ancam Feisty.

Klaus langsung berhenti mengguncang-guncang bahu Feisty. Gadis mungil tapi berotot itu menepuk kedua sisi bahunya dan mengambil ponsel.

Ia menekan nomor telepon Bos. Terdengar suara kendaraan bersahut-sahutan.

"Target ketemu. Program menyala tiga puluh detik. Feed dan informasi pengintaiannya ada di Klaus sekarang," kata Feisty cepat.

Bos hanya terkejut dan tertawa pelan. Ia mengatakan bahwa ia tengah berada di perjalanan menuju rumah dan memberi beberapa mandat untuk dikerjakan. Setelah Bos pamit, Feisty menaruh kembali ponsel di meja kerja dan duduk. Kakinya terangkat ke kursi, persis seperti tengah makan di warteg.

"Lo diminta rangkum data yang terkirim dari program kita. Gue akan mulai bikin prototype backend 1984 yang bakal mulai launching di aplikasi punya Bos," kata Feisty menyampaikan pesan Bos sebelum tutup telepon.

Klaus mengangguk senang. Ia buru-buru membuka halaman situs monitoring yang ia gunakan untuk mengintai berbagai hal dari berbagai kode program sampai malware yang dipasangnya di berbagai penjuru situs web. Penemuan kode program dari proyek utama mereka, tentunya membuat para anggota Big Brother mulai tenang. Mereka akan mengejar si pencuri. Kalau perlu sampai orang itu hilang dari muka bumi.


***

#nowplaying: Grizzly Bear - Foreground

"Pattern evolving, motion insolvent."

Continue Reading

You'll Also Like

127K 19.5K 53
Netta buta warna parsial merah-hijau. Dunia Netta seakan runtuh. Cita-citanya masuk jurusan DKV terancam kandas. Beruntung dia bisa memalsukan surat...
3 Dimensi By Dai

Teen Fiction

3.7K 748 33
Tentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang n...
555K 76.4K 23
Kalau ada yang macem-macem sama aku, aku bakal sihir dia jadi kodok. Dan untungnya, itu bukan kiasan. Karena kebetulan, aku penyihir. --- #14...
4.8K 1.2K 52
[Mystery/Thriller] Karir Dominic Sawyer sebagai pencuri bayaran nyaris tamat saat misi terakhirnya membuatnya harus dikejar aparat setempat, interpol...