Cipher | ✔

By AyuWelirang

17K 4K 308

[The Wattys 2022 Winner - Mystery/Thriller Category] [Silakan follow sebelum membaca dan jangan lupa tinggalk... More

.:: Prakata
.:: Evolusi Sampul
.:: Meet the Cipher Breakers
Prolog
1 - Crimson Night
2 - Lucene
3 - Cryptonym: jimmo
4 - Awanama
5 - Feisty
.:: Log AWANAMA 01: Jimmo's Archive
6 - Catur Pandita
7 - Patroli Siber
9 - Bukan Nostalgia
10 - Siber Alfa
.:: Log AWANAMA 02: Ubermensch's Archive
11 - Laporan Pertama
12 - Honeypot
13 - Russell
14 - Adin is MIA
15 - MLI Tech
16 - Laporan Kedua
17 - Unnamed Corpse
18 - Enemy in the Front Line
19 - Steganografi
20 - F is for "Forgotten"
21 - Bos
22 - Penambang
23 - Long Lost Brother
24 - Bayangan
25 - Pelayat Asing
26 - Unfinished Code
27 - Catur dan Wibi
28 - Rendezvous
29 - A Flying Spy
30 - Two Roads Intertwined
31 - Dua Pengejaran
32 - No Distance Left to Run
33 - D-Day
34 - 1984
35 - Launcher
36 - Counter
37 - Reverse Engineered Program
38 - Catur versus Wibi
39 - Tenggelam Bersama
40 - Mulai dari Nol
41 - Leaked Scandal
42 - Disappear Always
Epilog

8 - Pentester

324 86 11
By AyuWelirang

Empat hari setelah berita tentang Patroli Siber diluncurkan, kantor Lucene lebih ramai dari biasanya. Beberapa klien menelepon Mona, sebab gadis itu memang memegang beberapa klien besar yang memakai jasa Lucene. Sebagai project manager di tim utama, Mona jadi kewalahan. Dodi dan Nitta belum datang, mungkin semalam baru saja membereskan pekerjaan sampai pagi.

Di tengah-tengah kesibukan Mona, seorang lelaki tampak memasuki kantor Lucene. Ia berhenti di depan meja resepsionis yang dijaga oleh lelaki lebih muda, berkumis, dan memakai setelan safari warna biru muda. Lelaki itu tengah menulis sesuatu.

"Maaf, Mas," ujar tamu Lucene memecahkan konsentrasi resepsionis.

Resepsionis itu menengadah ke arah tamu, kalung identitas karyawannya bergoyang. "Ya. Ada yang bisa saya bantu?" balasnya sopan.

"Bisa bertemu dengan Pak Bambang Santoso?" tanya tamu lagi.

Resepsionis mengecek komputer, lalu melihat jadwal harian. "Maaf. Pak Bambang Santoso hari ini sedang ada agenda meeting, baru kembali ke kantor setelah makan siang. Jika mau menunggu, Bapak bisa mengisi informasi tamu dan duduk dulu," balas resepsionis sembari menunjuk ke sudut kanan, tempat dua sofa two seater berjejer.

"Oke," tutupnya. Si tamu kemudian mengisi daftar pengunjung.

Resepsionis mengambil alih buku tamu dan mengeja nama tamu untuk mendaftarkannya ke antrean agenda Bambang Santoso, bos tunggal di kantor Lucene yang sederhana. "Mahendra Caraka ya? Betul seperti ini?" ulang resepsionis, kalau-kalau dia salah menuliskan nama tamu ke agenda.

Caraka, tamu yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan, mengangguk cepat. Resepsionis menyilakan Caraka agar duduk dulu. Bahkan ia memberi informasi Wi-Fi untuk tamu, siapa tahu Caraka hendak menggunakannya. Benar saja, baru beberapa menit duduk, rasanya kaki Caraka sudah tak betah. Ia membuka laptop dan mengerjakan sesuatu di sana.

Pukul sebelas siang, Nitta dan Dodi masuk berbarengan. Seperti biasa, kacamata berbingkai tebal milik Nitta hanya tersampir di kerah sweternya. Dodi malah masuk sembari makan es krim dan beberapa tetes cokelat meleleh di lantai.

"Yah, Dod, jangan belepotan gitu dong. Kasihan Bang Tiko, ngepel dari subuh-subuh," gerutu Nitta melihat temannya yang jorok itu.

Dodi hanya mengangguk malu dan menelan bulat-bulat sisa semprong es krim. Dia lalu membuang bungkusannya di tempat sampah sebelah kursi tamu.

Nitta melirik kursi tamu dan menyadari ada orang tengah duduk di sana. "Eh, ada tamu, San?" tanya Nitta langsung pada resepsionis setelah ia mengangguk sopan pada Caraka.

Isan, resepsionis Lucene, menjelaskan, "Tamunya Pak Bambang, Mbak Nit. Saya sudah input ke agenda."

Nitta hanya mengangguk pelan, lalu menarik lengan baju Dodi dan segera masuk. "Ayo buruan, Dod. Si Mona marah-marah nih, banyak kasus katanya."

"Iya sebentar, gue ke toilet dulu deh, mau cuci tangan," tutup Dodi.

Keduanya berlalu dan menghilang di balik dinding pembatas antara lobi dengan kantor utama Lucene. Setelah mengabsen diri di mesin identifikasi dengan sidik jari, Dodi menuju toilet, sementara Nitta langsung menuju kubikelnya.

Di kubikel Mona, gadis itu masih bertelepon dengan klien. Beberapa saat mengetik sesuatu di agenda digital, lalu menelepon klien lainnya. Nitta tak jadi mengganggu Mona dan langsung melanjutkan beberapa pekerjaan yang masuk ke surelnya.

"Nit, orang Deka nanya soal alert merah kemarin. Katanya kamu nggak bisa ditelepon," kata Mona kemudian.

Nitta hanya menatap laptop, lalu mengetik sesuatu. "Laporannya baru kukirim nih. Maaf, aku baru pulang jam tiga pagi dan nggak langsung kirim laporan vulnerability assessment. Mataku udah kriyep-kriyep, ngantuk berat. Biar nggak salah kirim laporan, makanya baru kukerjakan tadi jam tujuh pagi. Lumayan, bisa tidur empat jam."

"Oke, nggak apa-apa. Santai kok. Ya udah, aku info mereka dulu deh soal laporan. Makasih, Nit," tutup Mona. Ia kemudian menuju ruang rapat dan menelepon lagi. Sungguh hari yang sibuk.

Pada jam dua belas, tentu saja para karyawan Lucene pergi makan siang. Ada juga yang masih berkutat di meja mereka untuk mengerjakan berbagai macam proyek dari masing-masing project manager mereka. Nitta dan Dodi tentu saja tidak melakukannya, karena mereka berdua tipe karyawan yang bekerja di malam hari sampai subuh.

Keduanya menuju lobi, diikuti Mona yang terus-terusan mengoceh. "Gila ini klien kita. Semuanya pada nanya tentang bagaimana memperketat sistem mereka. Kayaknya pada takut kena sidak atau gimana, aku juga nggak paham."

"Wajar sih, Mon. Patroli Siber yang baru dicanangkan beberapa hari lalu, katanya bakal menginvasi sektor swasta juga. Yah, mungkin sekalian menjaga dari pihak-pihak nakal yang mau terobos server orang," timpal Dodi.

Tatkala ketiganya sampai lobi, Nitta langsung mencari resepsionis yang mungkin sedang istirahat juga. Namun, tamu yang sejak tadi menunggu Pak Bambang, masih duduk sembari menengok kanan-kiri.

"Tamunya Pak Bambang, kan?" tanya Nitta lagi. Mona dan Dodi langsung saling tanya.

Caraka mengangguk. "Iya, tadi sama resepsionis disuruh menunggu sampai jam makan siang selesai. Kemungkinan Pak Bambang sampainya jam satu," balasnya.

Nitta lalu menengok Mona dan Dodi, meminta izin untuk mengajak tamu itu. Kedua temannya hanya memberi isyarat terserah.

"Makan siang dulu aja. Pak Bambang masih lama kayaknya," kata Nitta lagi.

"Begitu ya? Baiklah. Mungkin memang sebaiknya makan siang dulu," balas Caraka sembari berdiri.

Nitta langsung mengajak Caraka untuk makan bersama saja. Walau dia tamu, Nitta agak kasihan melihat dia celingak-celinguk sendirian di lobi Lucene.

Mereka berempat mulai jalan ke arah Gereja Katolik Santo Yoseph yang bersebelahan dengan kantor Lucene. Memang Lucene tidak berkantor di ruko atau gedung pencakar langit seperti perusahaan pada umumnya, karena Pak Bambang ingin membuat suasana kantor yang lebih seperti rumah. Makanya, beliau dan satu pendiri Lucene lainnya yang telah wafat, menyewa rumah tua peninggalan Belanda, dengan teras luas dan taman serta pohon-pohon. Kantor Lucene memanjang ke belakang, mengikuti bentuk rumah yang telah dipugar beberapa kali. Kini kantor Lucene bahkan sudah terdapat lantai dua di bagian belakang untuk para karyawan menongkrong.

"Kayaknya aku harus ngobrolin soal manpower deh nanti kalau Pak Bambang udah datang. Masalahnya, aku mulai keteteran di pekerjaan. Udah jaga SOC hampir 24 jam, masa aku pegang pentesting juga?" kata Nitta pada kedua temannya.

"Iya, Mon. Nanti kita harus ngobrol lagi deh. Proyek kita banyak banget, aku juga udah nggak sanggup pegang sendirian," timpal Dodi. Mereka berjalan beriringan, sementara Caraka hanya mengikuti mereka dari belakang.

Melihat Mona diam saja, membuat Nitta dan Dodi ikutan diam. Mereka lupa kalau tadi sudah mengajak orang luar makan siang. Untung Mona tidak menjawab apa-apa, tentunya karena apa saja yang dibahas di kantor, tidak boleh bocor ke pihak luar.

Nitta berinisiatif untuk jalan lebih pelan. Kini barisan karyawan Lucene itu menjadi dua di depan, dua di belakang. "Eh iya, maaf jadi dianggurin. Aku Nitta," ujar gadis itu pada Caraka.

Lelaki yang poninya menutupi dahi sampai nyaris menutupi matanya, mulai membalas pelan, "Aku Caraka."

"Hah, siapa?" Nitta menggeser kupingnya, sebab suara orang di sampingnya tersusul repetan motor dan mikrolet.

"CA-RA-KA," eja Caraka.

Mereka pun berjabat tangan. Nitta jadi agak penasaran. Biasanya, kalau bukan rekanan yang menemui Pak Bambang, pasti ada karyawan 'emas' baru yang diculik oleh bos Lucene itu. Jadi, daripada membicarakan tentang urusan internal, Nitta nekat bertanya, "Kamu culikan Pak Bambang dari mana?"

Kedua teman Nitta yang berjalan di depan langsung menajamkan indera pendengaran mereka. Tentu saja mereka juga penasaran dengan sosok pria di belakang mereka. Rambutnya awut-awutan, poni menutupi mata dan kacamata miliknya yang buram. Belum lagi pria itu agak bungkuk berjalan, walau pakaiannya sih cukup rapi.

"Aku dari Synexis Indonesia," balas Caraka cepat.

Nitta tertegun, begitu juga Mona dan Dodi.

"Perusahaan bagus tuh," bisik Dodi pada Mona, yang dibalas hanya dengan anggukan oleh perempuan rambut bob itu.

Setelah berjalan santai delapan menit, akhirnya mereka sampai di pujasera. Posisinya tepat di pinggir kantor pemadam kebakaran yang berada di tepi Jalan Slamet Riyadi. Siang itu, pujasera cukup ramai oleh karyawan dan beberapa pemadam yang makan siang. Nitta mendapatkan tempat di tengah-tengah dan tampaknya posisi makan siang mereka membuat Caraka tak nyaman.

"Terlalu ramai ya? Kamu di sini saja, biar kami yang pesan makanan," kata Nitta lagi setelah menangkap gelagat Caraka itu. Gadis itu lalu memakai kacamatanya dan mengedarkan pandangan. "Tempat Nasi Rawon nggak begitu ramai. Biar cepat, mau makan itu aja nggak?"

Caraka mengangguk dan Nitta bergegas menuju Nasi Rawon mumpung tidak antre. Seperti pelari sprint, gadis itu melompat lincah, menghindari pramusaji yang membawa nampan pesanan, kemudian sampai di gerobak penjual rawon tepat sebelum ada dua karyawan dari studio foto terdekat yang hendak memesan.

Sementara itu, Mona dan Dodi entah ke mana, memesan apa. Caraka tidak menemukan mereka di antara pembeli, mungkin karena dia langsung merasa tak nyaman saat melihat banyak orang berkerumun dan tak berusaha mencari kedua karyawan Lucene lainnya itu.

***

Setelah selesai makan, Nitta tetap menemani Caraka berjalan. Mona dan Dodi berjalan agak jauh di depan, sebab hendak membicarakan masalah peningkatan infrastruktur yang diminta klien mereka sambil marah-marah lewat telepon sepagian. Dodi hanya mengangguk-angguk, mungkin sudah mencatat request Mona di otaknya tanpa perlu memo, sementara Mona terus mencerocos.

Dan di sinilah Nitta. Berjalan dalam diam, menemani lelaki pendiam. Dia tak ingin banyak tanya, takut dikira sok kenal sok dekat. Sampai di kantor Lucene, Nitta hanya berjalan sembari sesekali memainkan ponsel.

Baru saja menginjakkan kaki di lobi kantor, Isan langsung berdiri. "Mas Caraka? Pak Bambang sudah ada. Bisa langsung ke ruang rapat nomor dua."

"Oke, terima kasih," balas Caraka singkat. Ia berdiri di tepi meja lobi, menunggu resepsionis mengantarnya, tapi tak dilakukan oleh resepsionis itu.

Resepsionis malah kembali duduk dan berkata, "Oh ya, kata Pak Bambang, Mbak Nitta, Mbak Mona, sama Mas Dodi juga ikut sekalian aja."

Huh? Ada apa ini? Pikiran Nitta mengawang-awang saat mendengar hal itu. Namun, tanpa banyak bertanya, kini mereka bertiga menuntun langkah Caraka menuju ruang rapat nomor dua.

Di dalam ruang rapat, sudah ada Pak Bambang. Di samping ruangan itu, adalah ruangan bos mereka. Samar-samar Nitta melihat pria lain tengah duduk di sana. Ia berperawakan kurus dan pendek, tampaknya berusia lima puluhan.

"Waduh, maaf ya, Raka. Saya tadi ada meeting. Lama menunggu?" tanya Pak Bambang membuka rapat.

Nitta dan dua temannya duduk dengan bingung. Pak Bambang memanggil nama tamu Lucene tadi seolah-olah sudah kenal dan akrab.

"Tidak apa-apa, Pak. Oh ya, ini CV saya," ujar Caraka kemudian.

Pak Bambang mengambil CV Caraka, membacanya sekilas, lalu menyodorkannya pada Mona. "Nah, Mona. Ini pentester yang saya culik dari Synexis. Kamu butuh sidekick buat Nitta di proyek yang kliennya pakai jasa SOC kita kan?" jelas Pak Bambang kemudian.

Mona terbelalak, walau tidak terlalu kentara. Buru-buru dia mengambil CV Caraka dan membacanya. Dodi ikut-ikutan mengintip dari samping.

"Waduh, Bos. Ini beneran? Efektif kapan?" Mona bertanya cepat-cepat. Antusias sekali dia.

"Kalau negosiasi sama orang HRD oke sih, Caraka bisa mulai Senin depan. Betul kan, Raka?" tegas Pak Bambang, seolah-olah memaksa Caraka agar bisa segera bergabung di Lucene.

Lelaki itu tetap menunduk sedikit, tapi matanya agak awas mengintip dari balik poninya yang kepanjangan. "Betul, Pak. Senin sudah join kalau oke."

"Kebetulan banget, tadi beberapa klien ada yang telepon mau tambah jasa audit keamanan mereka di samping jasa yang masih kontrak dengan kita. Berarti kita butuh pentester baru kan?" tanya Mona lagi.

Nitta masih duduk santai, telunjuknya menggaruk-garuk dagu. Meskipun tampak santai begitu, sebenarnya Nitta tengah mendeduksi kepribadian Caraka secara kilat. Hasilnya? Nihil. Selain Caraka tampak seperti pekerja perusahaan keamanan IT pada umumnya, dia cukup pendiam. Namun, biasanya ada yang ditutupi oleh orang semacam itu.

Selagi tengah menangkap informasi yang perlu, rupanya Pak Bambang dan Mona tengah berbicara kepadanya, sampai gadis itu tak sadar.

"Gimana, Nit? Woi, Nit?" ulang Mona.

"Ya? Hmmm, mengenai pentester baru? Aku setuju kok, Mon, Pak Bambang. Dariku sepertinya resume kerja Caraka sudah cukup bisa memenuhi kebutuhan akan pentester yang kucari," balas Nitta cepat, mencoba untuk tampak menguasai situasi.

Pak Bambang dan Mona mengangguk. Kemudian, bos Lucene yang sangat dermawan—menurut para karyawan—langsung saja menutup rapat singkat. "Nah, nanti pas sudah masuk, Caraka bisa langsung melapor saja pada Nitta. Dia lead untuk tim security engineer, baik yang pegang SOC dan mengecek vulnerability assessment, serta yang bergerak sebagai pentester. Nah, untuk jobdesc satu ini memang agak jarang di Lucene, jadi masih dipegang Nitta sendiri bersama satu orang lagi yang sering tidak masuk kerja," balas Pak Bambang ditutup tawa.

Caraka mengangguk perlahan. Setelah itu, rapat pun dibubarkan.

Ketika Caraka hendak keluar, Nitta langsung menyodorkan jabat tangan. "Tadi kita memang sudah kenalan, tapi kali ini sebaiknya kita kenalan lagi yang lebih resmi. Aku Fahima Nittari, ketua tim SOC—Security Operations Center dan para pentester yang berarti cuma... Yah, berarti cuma aku, kamu, dan Adin Fikri," sebut Nitta.

Caraka mulai mengangkat dagu, tak lagi menunduk seperti sedia kala. Matanya yang sayu, mulai menatap lurus pada Nitta dari balik kacamata buramnya. "Aku Caraka. Mahendra Caraka," tutupnya sembari menjabat tangan Nitta dengan kuat.

Pergi dari Synexis dan menuju Lucene, kantor kecil-kecilan yang baru berdiri beberapa tahun, tentu bukan pilihan banyak orang. Namun, tidak dengan Caraka. Meskipun tak terlihat jelas, Nitta tentu saja bisa menangkap bahwa lelaki di hadapannya itu bukan seperti kelihatannya.


***

#nowplaying: The Cure - A Letter to Elise

"I just take as much as you can throw and then throw it all away. Oh I throw it all away, like throwing faces at the sky."

Continue Reading

You'll Also Like

72.3K 8.6K 33
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga s...
13.2K 2.3K 23
"Atau mungkin ini bukan kebetulan? Mungkin ini takdir." Aku masih ingat betul bagaimana laki-laki tinggi tegap dengan senyum lebar itu bisa membuatku...
1.4K 239 16
[Mystery] 1926. Mary kira, dengan menjadi Mario Mitford, ia tak lagi diremehkan. Hidupnya sudah ada di titik nyaman sempurna sejak Perang Dunia I ber...
127K 19.5K 53
Netta buta warna parsial merah-hijau. Dunia Netta seakan runtuh. Cita-citanya masuk jurusan DKV terancam kandas. Beruntung dia bisa memalsukan surat...