25 | Cinderella and the Pauper

6.7K 1.5K 133
                                    

Ada yang kangen? 

___

Dugaan Laura bahwa Kanta merupakan anak orang kaya yang menyamar jadi gembel adalah salah besar! Sudut bibir gadis itu sampai berkedut melihat penampakan bangunan di hadapannya kini. 

Bingung, entah harus meringis akibat kenyataan, ataukah tertawa karena pemikirannya yang luar biasa dramatisir.

"I-ini... rumah?"

Kanta yang baru akan membuka pagar mungil rumahnya sontak menoleh pada Laura. "Iya, ini rumah aku, Laura. Lucu ya?"

Laura berdeham tatkala kerongkongannya terasa mengering. Dari mana lucunya? Bangunan yang sangat sederhana—yang mungkin luasnya hanya sebesar kamar Laura di apartemen maupun di rumah kedua orang tuanya—tersebut memiliki warna yang sangat nyentrik! Dindingnya yang dicat hijau neon, dengan plafon beranda—yang luasnya bahkan hanya setengah ranjang Laura—dihiasi motif kuning dan cokelat yang menandakan atapnya sudah tidak layak!

Mengerti jika Laura tengah menilai rumah Kanta, laki-laki itu hanya tersenyum seraya membuka pagar. "Masuk aja dulu. Dari luar emang nggak bagus, tapi di dalamnya tetap nyaman kok. Nggak jauh beda pastis ama rumah mama dan papa kamu."

Tidak ingin dibilang kurang ajar, Laura pun menyingkirkan gengsinya. Seharusnya Laura sudah menduga saat Kanta "menjemputnya" di kampus tadi. 

Tidak ada mobil atau yaaa minimal sepeda motor butut juga tidak masalah sebenarnya. Tapi tidak. Yang dimaksud "jalan bareng" versi laki-laki itu literally berjalan kaki!

Kalau saja tadi Laura tidak mengomel karena rasa pegal di betis serta tumit akibat jarak yang ditempuh, mungkin Laura sudah tepar di tengah jalan. Hanya saja, Kanta masih punya hati meskipun tidak punya uang. 

Ya kali, masa menyuruh Laura naik ke punggungnya selama perjalanan? Bukannya romantis, Laura justru merasa keki setengah mampus jika sampai melakukannya. Alhasil, Laura berinisiatif memesan taksi online untuk sampai ke lokasi tujuan. Ugh!

"Kanta pulang," ucap Kanta, memberi salam begitu ia telah masuk ke dalam rumah dengan Laura yang mengekorinya. "Bu? Ibu di mana?" panggil laki-laki itu saat tidak ada seorang pun yang menyambutnya.

Laura baru akan menanyakan di mana sang ibu berada—terlebih ia tidak mau pulang dengan tangan kosong—lantas dikejutkan oleh kedatangan sosok wanita dari arah dapur.

"Eh, udah pulang, Nak." Kemudian pandangan wanita itu tertuju pada Laura yang berdiri di belakang Kanta. "Oh? Siapa si cantik ini?" tanyanya, ramah.

Kanta tersenyum lebar, seolah dirinya bangga bisa memperkenalkan Laura pada ibunya. "Ini Laura, Bu. Yang mau pinjam sepatu kaca Ibu."

Wanita itu memanggut-manggut. Semalam, Kanta memang telah menjelaskan bahwa laki-laki itu butuh sepatu ibunya yang dulu selalu dikenakan semasa muda. Tidak banyak bertanya, wanita itu mengangguk dan menyetujui apa pun yang Kanta inginkan selagi ia miliki. Selagi Kanta bahagia.

"Oalah, iya iya. Kalau Ibu boleh tahu, sepatu itu buat apa ya, Nak?"

"Buat pentas drama, Bu. Saya butuh sepatu kaca buat pelengkap peran saya sebagai Cinderella."

Kanta yang mendengar jawaban Laura, lantas memegangi dadanya yang tiba-tiba saja berdebar. Jantungnya seolah berkhianat pada misinya akibat panggilan "ibu" dari Laura pada orang tuanya alih-alih "tante" atau sebagainya.

Wanita itu tersenyum manis. "Wah, Cinderella. Cocok banget sama kamu," pujinya, bersungguh-sungguh. "Tapi... beneran kaca?"

"Hmm?"

The Triplets and Nathan! [✓]Where stories live. Discover now