78 | Cinderella and the Pauper

6.9K 1.5K 266
                                    

Chapter 77 tadi itu tuh "flashback" lho. Nggak nyadar ya? Banyak banget yang komen sebel sama Kanta, padahal itu mereka pas di kedai kopi 2 tahun lalu :") Coba perhatiin lokasinya. Dan yang nyamperin mereka itu juga bukan suami si Nita, kan masih kuliah di sana. Itu si Kakek T..T

Pada akhirnya aku kasih kata-kata flashback di awal dan di akhir biar nggak ada lagi yang keliru. Padahal tadinya nggak mau! Jelek. Berantakan :") Kayak bukan novel aja gitu segala ada "flashback-flashback" wkwk. Lagipula, sebenarnya chapter 77 tuh masih sambungan chapter 76, alias memori Kanta~

*Edited: Pada akhirnya lagi aku memutuskan buat ngehapus kata-kata "FLASHBACK" di chapter sebelumnya karena NGGAK BISA AKU LIAT BERANTAKAN PLIS. Oke.

Tapi ya sudah, enjoy!

___

Kanta terpikirkan akan ucapan Nita kemarin. Ada benarnya. Ada pula salahnya.

Salah karena ucapan Nita yang mengatakan bahwa Kanta telah "sukses" dan cukup mapan. Mengingat bahwa mobil yang dimilikinya kini hanyalah mobil bekas yang ia beli secara mencicil, dan rumah yang sekarang dirinya serta ibunda tempati pun masih berstatus "mengontrak". Belum sepadan dengan apa yang Laura miliki. Jauh sekali.

Namun, jika terus merasa selalu "kurang pantas", kapan ia akan berani muncul kembali di kehidupan Laura? Sudah dua tahun berlalu—bahkan lebih, Kanta bekerja keras demi gadis itu. Bukankah nanti usahanya selama ini menjadi sia-sia jika ia tidak segera bertindak hanya karena kalah start? Kanta benar-benar tidak bisa membayangkan ada sosok lain yang mendahuluinya untuk memiliki Laura.

Karena itu, di sinilah ia sekarang. Di depan bangunan dengan papan bertuliskan "Rumah Teater" yang—menurut informasi dari Nita melalui Instagram—merupakan tempat kerja Laura. Ralat, gadis itu adalah pemiliknya.

Kanta tersenyum memandangi "rumah" tersebut dari balik kaca mobilnya. Ia tahu, kegemaran Laura pada drama dan segala hal berbau panggung sandiwara telah mendarah daging dalam diri gadis itu. Berbeda dengan mantan para anggota UKM Theatre yang kini bekerja dengan profesi berbeda-beda, Laura justru mewujudkan cita-citanya untuk menjadi pembangun komunitas seni tersebut.

Hanya saja, Kanta cukup dikejutkan dengan kondisi bangunan Rumah Teater yang sangat jauh dari ekspetasinya. Kanta pikir, Laura akan menyewa gedung mewah untuk merealisasikan impiannya. Atau minimal, ruko yang cukup besar. Tapi kenyataannya tidak. Meskipun memiliki halaman yang cukup luas—bahkan sangat luas—bangunan tersebut tampak sederhana dan kecil di pertengahan lahan yang jauh dari kata sempit tersebut.

Ah, satu lagi. Nama "Rumah Teater" juga sama sekali tidak menggambarkan Laura di dalamnya. Begitu sederhana dan apa adanya. Kanta sempat menduga, jika Laura benar pemiliknya, mungkin gadis itu akan menamakan bangunan tersebut sebagai; "Lau's Dream Land", "House of Drama Queen", atau bahkan "Castle of Art". Tema usaha yang lebih menggambarkan seorang Laura Sarasita Wijaya.

Tanpa Kanta sadari, sepasang mata telah mengamatinya dari balik jendela rumah. Curiga karena pemilik mobil tidak kunjung turun, gadis itu terburu-buru menghampiri Laura yang sedang sibuk menempelkan balon pada langit-langit bangunan dengan bermodalkan tangga lipat.

"Kak, Kak Lau!"

Suara mengejutkan Kumala—asisten sekaligus murid pertama Laura sejak ia Rumah Teater resmi dibangun—nyaris membuat Laura yang berdiri di pertengahan anak tangga, nyaris goyah. "Duh, ngagetin aja kamu. Kenapa sih, La?"

"Di halaman ada mobil asing masuk! Diam mulu di situ!" Kemudian Kumala meremas tangannya gelisah. "Jangan-jangan, berita yang lagi marak itu benar!"

"Berita apa?" Dari atas, Laura melemparkan tatapan sebal pada Kumala. "Jangan mikir aneh-aneh! Nanti didengar anak-anak, takut mereka."

Kumala pun mencebik. "Habisan—"

The Triplets and Nathan! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang