71 | The Truth: Two

6.1K 1.2K 199
                                    

Dibaca nanti WARNING pada author note di bawah ya ^^

Enjoy

___

Laki-laki itu melangkahkan kakinya menuju aula dengan bahu terkulai. Ulu hatinya seolah diremas oleh tangan-tangan tak kasat mata. Semua itu karena fakta bahwa gadis itu telah pergi. Sosok yang ia sayangi, memilih untuk meninggalkannya. Melepaskan ia tanpa sudi berperang melawan takdir bersamanya terlebih dulu.

"Kanta?"

Suara itu menghentikan pemilik tubuh jangkung tersebut masuk ke dalam. Memaksakan senyum, Kanta menyapa balik Nita. "Hai."

Senyum Nita mengembang. "Udah seminggu nggak kelihatan. Akhirnya, gue bisa lihat elo lagi."

Tidak semangat, Kanta mengangguk kecil. "Iya. Hari ini aku cuma mau pamit sama yang lain."

Nita mengerjap. "Pamit?" Kemudian gadis itu meneguk ludah susah payah. "Elo... mau pindah juga?" Kenyataan bahwa Laura tidak lagi bersama mereka, membuat dada Nita nyeri. Ia tidak bisa membayangkan UKM theatre kehilangan prince dan princess-nya dalam waktu bersamaan.

Kanta menggeleng. "Aku nggak pindah. Aku benar-benar mau pamit aja." Lantas laki-laki itu menunduk. "Selamanya."

Nita tertegun. "M-maksud lo?"

"Aku sakit, Nit. Rasanya, nggak mungkin aku ngebiarin kalian terus berharap aku bisa jadi Pangeran sampai nanti. Kan, nggak mungkin kalau tiba-tiba aku sekarat di panggung pas lagi pentas," gurau Kanta, getir. Sama sekali terdengar tidak lucu.

"L-Laura tahu soal ini?"

Dengan kedua mata berkaca, Kanta memberanikan diri membalas tatapan Nita. "Emang ada lagi alasan dia ngelepas kalian dan UKM ini selain untuk happy ending?" lirih laki-laki itu, berupaya keras menahan sesak di dada.

Ucapan Kanta bagaikan petir yang menyambar keras telinganya. Seegois itukah Laura? Nita tahu, seorang Laura selalu dan sampai kapan pun tetap berpegang teguh pada "akhir yang bahagia adalah segalanya". Tujuan Laura adalah kisah yang tidak berujung mengecewakan.

Tapi Nita pikir, cinta akan mengubah pendirian tersebut.

Nita sudah pernah mengalah. Ia biarkan hatinya terpuruk demi bahagia kedua insan. Namun, ia benar-benar tidak menyangka bila ada salah satunya yang menderita. Terlebih, ia adalah pemegang hati seorang Nita.

"Elo nggak coba berobat?" tanya Nita hati-hati.

Kanta menggeleng lemah. "Aku nggak ada uang. Aku sama Ibu udah sepakat buat nggak permasalahin ini lagi. Aku sama Ibu udah rela—"

"Nggak, Kanta. Lo nggak boleh nyerah!" tegas Nita. Gadis itu lantas meraih tangan besar Kanta dan meremasnya pelan. "Gue yakin, elo masih bisa sembuh."

Kanta tersenyum miris. "Udah terlalu jauh, Nita."

"Maksudnya?"

"Penyakit aku udah terlalu jauh ada di tubuh aku." Sudah terlanjur menggerogotinya.

Nita menggeleng kuat. "Nggak. Elo kelihatan sehat-sehat aja soalnya di mata gue dan yang lain. Jadi, gue pikir masih ada kesempatan, Kanta." Nita menangkup wajah Kanta. "Please, biarin gue bantu ya? Orang tua gue, pasti mampu biayain elo."

"Nggak," tolak Kanta, mentah-mentah. "Aku nggak mau ngerepotin orang lain..."

"Gue nggak repot, demi Tuhan. Gue dan anak-anak, pasti pengin lihat elo sembuh!" Nita menarik napas dalam-dalam, sebelum ia mengatakan hal yang membuat perutnya seraya ditendang tanpa perasaan. "Seenggaknya, demi Laura...?" cicitnya.

The Triplets and Nathan! [✓]Where stories live. Discover now