Fiveteen : Senja

Mulai dari awal
                                    

Arga tertawa, ia malah senang bermain kejar-kejaran di tepi pantai denganku. Cowok itu berkali-kali memang kena tabokan panasnya Ceisya. Tapi Arga seakan tidak kapok. Ia malah semakin senang menjahiliku dengan mengangkat kamera hitamnya mengambil foto gambarku banyak-banyak.

"Argaaaa udah dong capek nih gue,"

"Ya siapa suruh kamu kejar aku, Dinanti,"

Aku mendecak sebal. "Udah ah perut gue sakit lagi nih gara-gara lo!" Marahku sambil menjatuhkan pantat diatas pasir.

"Tuh kan udah aku bilang duduk aja disana, kamu sih kayak anak kecil gak bisa dibilangin. Kamu umur berapa sih? Kenapa gak bisa dikasih tau?" Arga mengomel. Penyakit barunya ini kembali kambuh persis seperti Nyonya Anita, mamahku kalau sedang berkomentar melihat isi ruang kamarku.

"Ga kamu ngomel gini mirip mamah gue tau gak sih." Aku mengalihkan wajah jauh-jauh darinya. Membuat Arga mendecak kemudian membalikkan badan berlari pergi entah kemana.

Aku mengernyit. Mendadak bingung melihat sikap cowok itu. Lagipula sisi baiknya aku bisa lepas dari pengawasan cowok itu. Kini dapat duduk tenang di atas pasir tepi pantai melihat matahari yang bersiap ingin tenggelam.

Suara langkah kaki berlari membuat kepalaku reflek menoleh pada sumber suara.

Arga tiba-tiba datang, membawa sebuah selimut mini kemudian menggelarnya ke atas pangkuanku. Arga juga menyodorkan sebotol minuman orange juice dingin.

Cowok itu tak lama kemudian mendudukan diri mengambil tempat disebelahku. "Kamu gak laper Dinanti? Kak Irene bilang dia bawa bekal," Arga menunjuk pada kumpulan tak jauh dari kami. Ada kak Irene, Miya, sepupuku, bahkan beberapa teman Arga sedang berkumpul ria disana.

"Enggak ah, nanti aja sekalian di hotel," aku menggeleng pelan.

Arga kali ini mengangguk. Cowok itu juga tak memaksa seperti tadi saat perut masih kesakitan. Kami berdua jadi duduk bersama saling diam memandang pantai. Menikmati semilir angin juga langit yang mulai kian menggelap menunjukan matahari sebentar lagi akan benar-benar tenggelam.

Arga mengacungkan kamera hitamnya lagi. Ia sambil duduk bersila beberapa kali mengambil gambar matahari tenggelam ditelan pantai ujung sana.

Aku meneguk ludah getir, diam-diam sejak tadi perhatianku pada pantai Pandawa ini jadi teralih kepadanya. Rambut hitamnya yang dimainkan angin-angin hingga menari. Atau baju setengah basahnya tadi kini sudah mengering. Arga sempat beberapa kali tersenyum tipis memandangi pemandangan pantai sore ini.

Tapi entah kenapa yang paling menyita perhatianku adalah...... Kedua mata Arga. Sejak kapan tatapan kedua mata coklat itu berubah? Kenapa aku baru menyadarinya?


"Kamu suka senja Dinanti?" Tanya Arga tiba-tiba memecah keheningan diantara kami.

Aku yang diam-diam sedang memperhatikan cowok ini jadi menegak. Sambil beberapa kali berdehem kecil menguasai diri.

"Hm, lumayan... Kenapa?" Tanyaku melempar jauh pandangan mataku pada matahari disana yang sudah seperempat hilang dari bagiannya.

Arga menggeleng sambil tersenyum. "Berarti kamu harus naik pesawat pada saat jam-jam seperti ini. Langit gak pernah mengecawakan setiap aku terbang pada waktu seperti ini," Arga mendongak. Menatap langit yang kini berwarna jingga juga semburat kemerahan diatas sana. Awan-awan juga kelihatan nampak lebih cantik disana. Aku tanpa sadar ikut tersenyum.

"Enak yah jadi kamu. Bisa berjam-jam lihat langit dan awan langsung dari tempatnya," kataku akhirnya berkomentar.

Arga balas hanya tersenyum. Kali ini senyum yang sulit untuk aku artikan.

Karena Piknik Kilat  ✔ (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang