Fourty One : Tolong Jaga Arga

15.4K 1.5K 20
                                    

Fourty One : Tolong Jaga Arga




     Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Berdiri di depan pintu putih kamar rumah sakit bertuliskan nomer 03 A. Berkali-kali aku mencoba untuk mengatur nafas agar rasanya jauh lebih tenang. Berkali-kali juga aku menguatkan diri serta menyakinkan hati untuk akhirnya bisa berdiri di depan kamar rumah sakit tempat Pak Galih dirawat setelah hampir 3 hari.

Aku meneguk ludah, menoleh pada Hari yang mengangguk tenang untuk mendukungku. Hari sempat menepuk bahuku pelan.

"Papah hanya pernah jahat sama anaknya. Bukan sama wanita yang dicintai anaknya sendiri." Kata Hari membuatku entah kenapa terenyuh.

Hari memang banyak membantuku sampai aku bisa sampai disini. Berkali-kali dia mengirimiku bunga dan kue di setiap hari dengan sebuah kertas pesan yang sama.

Entah dari mana sisi romantisnya itu. Namun semakin aku mengenal Hari, semakin banyak juga aku melihat sisi dari adik bungsu Arga. Aku rasa dibalik perilakunya, Hari diam-diam sudah memiliki sosok wanita yang mendukungnya disana.

Aku meneguk ludah samar. Menggeser pintu rumah sakit kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam. Mataku langsung tertuju pada sosok lelaki memasuki kepala enam disana. Duduk sendiri menghadap jendela rumah sakit ditemani sebuah buku ditangannya dengan kacamata. Kulit wajahnya pucat, tubuhnya kurus. Aku tak menyangka ini adalah Galih Nuswan sosok orang yang sangat berpengaruh di bidangnya.

"Om Galih..." aku mencoba menegur pelan. Beriringan dengan sang papah Arga yang menggerakan kepalanya menoleh ke arahku dengan tenang.

Senyum diwajahnya terbit. Bagiku itu sudah hampir setengah lega saat melihat senyuman kecil dibibirnya. Pak Galih menyimpan bukunya kemudian melambai kecil menyuruhku untuk masuk lebih dekat.

"Ceisya? Apa kabar?" Sapa Papah Arga semakin menarik kedua sudut dibibirnya ke atas.

Aku mengangguk kecil. "Baik Om, Om sendiri sudah lebih baik?" Aku mencoba memberikan senyum terbaik. Meraih telapak tangan pucat Papah Arga kemudian membawanya ke dahiku.

"Sudah sangat jauh lebih baik. Terima kasih sudah bertanya, Ceisya." Kata beliau dengan suara pelan.

Aku hanya mengangguk, kehabisan kata karena melihat sosok langsung papah Arga yang kelihatan begitu lemah dan lembut berbeda dengan cerita dari banyak orang yang ku dengar.

"Ceisya..."

Kepalaku reflek mendongak. Kali ini tatapan mata kami langsung bertemu beradu tepat. Mata coklat Arga dapat ku temukan disana, begitu juga dengan alis dan senyum miliknya.

"Terima kasih sudah jaga Arga..." kalimat serak beliau membuatku sempat tersentak. Wajahnya yang terlihat begitu tulus, bahkan secara tanpa sadar semua kekhawatiran yang sudah kupikirkan sejak tadi malam perlahan menghilang hanya dengan bagaimana cara beliau menatapku.

"Saya tau kalau saya sudah banyak berlaku jahat dengan Arga sejak kecil. Saya tau bagaimana tertutupnya Arga dengan orang lain." Om Galih menganggukan kepalanya kecil.  "Jadi saya mau mengucapkan maaf dan terima kasih... maaf karena harus menghadapi Arga dengan segala kekurangan dari keluarganya, dan terima kasih karena sudah mau mendampingi Arga dengan menerima segala kekurangannya."

Aku terhenyak. Bisa merasakan sebuah kehangatan luar biasa yang menyebar di dalam hatiku sampai membuat mataku ikut menghangat.

"Maafkan kalau hari ini kamu harus menyempatkan diri mendengarkan banyak orang tua ini bercerita, tapi...." Om Galih tersenyum. "Saya ingin berbincang dengan kamu walau hanya sekali. Bolehkah?"

Aku mengangguk cepat. Bahkan dengan sangat bersedia untuk memasang telinga untuk mendengarkan segala cerita dari sisi Papah Arga sendiri. Karena aku yakin, tidak akan ada orang tua yang tidak menyayingi anaknya. Biar sejahat apapun papah Arga dalam cerita Arga. Ada banyak pertanyaan di kepalaku mengenai alasan dan tindakan dari sosok Pak Galih Nuswan itu.

Karena Piknik Kilat  ✔ (SELESAI)Where stories live. Discover now