Twenty Nine : Pelukan Hangat

19.7K 1.7K 37
                                    

Twenty Nine : Pelukan Hangat




      Aku termenung sendirian malam itu di kamar. Entah kenapa terbayang bagaimana sikap dingin Arga beberapa saat lalu. Bagaimana senyum laki-laki itu sirna saat melihat Fira yang menyapanya. Atau sikap acuhnya yang semakin kuingat semakin terasa asing.

Dulu, saat aku mengenal Arga tujuh tahun yang lalu. Sisi dingin dan acuh itu hampir setiap hari dapat kutemukan. Arga selalu mempunyai dinding tinggi yang jarang orang bisa runtuhkan.
Arga selalu terlihat keras, tak tergapai, bahkan angkuh. Sangat berbeda saat aku benar-benar mengenalnya. Juga saat dimana hanya saat kami sedang berdua. Arga lebih banyak menunjukan sisi lain dari dirinya saat dihadapanku.

"Sya?"

Aku terlonjak, tubuhku reflek menegak tersadar dari lamunan begitu menemukan Kak Adnan tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu kamarku.

"Iya Kak?" Sahutku cepat.

Kedua alis Kak Adnan merapat. "Are you okay?" Tanyanya menatapku aneh.

Aku buru-buru mengangguk. "Gak papa... kenapa Kak?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Kak Adnan terdiam. Menatapku lama ditempatnya lamat-lamat. Aku berdehem kecil, menarik selimut hingga menutupi setengah wajah dengan kikuk.

"Kenapa liatin begitu?" Tanyaku risih.

Kak Adnan mengatupkan bibirnya. Menggidikan bahunya kemudian melangkah masuk masih dengan baju batik seragam keluarga pernikahan Om kami beberapa jam lalu.

"Kamu kelihatan lagi banyak pikiran belakangan ini." Kak Adnan mengambil tempat duduk disisi ranjang tempat tidurku. "Kamu gak ada mau bagi cerita sama kakak?"

Aku membasahi bibir. "Enggak papa kok. Gak ada yang spesial juga." Kepalaku menggeleng pelan.

Kak Adnan menghembuskan nafasnya pelan. "Dek," panggilnya membuatku mengangkat alis tinggi. Bergerak kecil merasa tak tenang.

"What?" Aku menjawab tenang berusaha menguasai diri.

Kak Adnan mendadak tersenyum, tapi senyumnya terasa janggal. Seakan ada arti dibalik itu.

"Kalau kamu mau nikah duluin Kakak, Kakak beneran ikhlas lahir batin kok gak papa."

Aku tersedak. Terbatuk-batuk keras sampai bangkit duduk menegak diatas tempat tidur.

Mataku reflek memicing sebal. Meraih bantalan guling kemudian memukul Kak Adnan bertubi-tubi dengan keras.

"Gak usah ngelantur deh!" Ucapku sebal. Masih sambil terbatuk kecil karena Kak Adnan yang kini tertawa-tawa.

"Aduh ya ampun..., makanya jangan melamun kaya perawan lagi ngebet kawin." Kata Kak Adnan membuatku dengan kesal menendangnya hingga ia tersungkur jatuh ke bawah tempat tidur.

"Kalau cuma mau ganggu mending pergi!" Usirku sebal.

Kak Adnan tertawa, kali ini bangkit beranjak berdiri memperbaiki posisi duduknya. "Tadi pulang sama siapa? Kok duluan ninggalin kakak?" Tanya Kak Adnan lagi mulai menginterogasi.

Aku berdehem kecil. "Tadi kakiku udah sakit banget. Jadi izin pulang duluan,"

"Iya kakak tau tapi sama siapa?"

"Emang kenapa sih? Harus banget aku jawab?"

"Lah emang kenapa sih? Susah banget buat jawab?"

"Ye, Pak Adimas aja gak kepo."

"Gue kepo," Kak Adnan menjawab nyolot. "Tadi pulang sama siapa?" Tanyanya mengulang pertanyaan sebelumnya.

Aku mengalihkan wajah sesaat. Berdehem mencoba menguasai diri. "Arga," jawabku pelan.

Karena Piknik Kilat  ✔ (SELESAI)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ