Three: Cabe Afrika

30.5K 2.8K 42
                                    

Three: Cabe Afrika




      "Dinanti?" Suara bariton itu membuat seluruh tubuh rasanya seperti tersengat listrik.

Tungkai kakiku melemas. Apalagi saat melihat sepasang mata coklat itu menatapku lekat. Mata yang dulu sempat hampir ingin kucolok mengunakkan sumpit kalau aku tidak sedang khilaf.

Mata yang selalu dieluh-eluhkan para gadis karena punya silauan berbinar layaknya anak kecil polos. Mata yang dulu sangat kubenci.


"Kamu sedang liburan disini?" Lagi, pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

Dan dengan bodoh aku hanya bisa termangu diam. Lidahku kelu, semua umpatan yang dulu sempat pernah kusimpan rapi untuknya tak dapat keluar dengan mudah.

Sial. Ada apa denganku hari ini?!




"Dinanti, jangan terlalu terpesona begitu."

Kali ini baru mulutku reflek mengumpat. Membuang wajahku jauh-jauh darinya. Setidaknya tubuhku kali ini bisa merespon. Tidak mau membuang kesempatan itu, aku segera berbalik, bersiap mengambil langkah seribu untuk menjauh darinya.

Belum sempat kakiku bergerak sesenti, lengan kiriku sudah lebih dulu ditahan olehnya.

Aku otomatis segera menepis. Melotot dengan galak balas menantang cowok bermata coklat terang itu. Kakiku melangkah mundur, tak mau dekat-dekat dengan Arga.

"Jangan pegang-pegang!" Kataku memperingatkan dengan tegas.

Tapi diluar dugaan Arga malah tertawa senang. Bahkan sampai kedua matanya menyipit bagai bulan sabit yang diputar 90 derajat.

Cowok itu dengan tenangnya menatapku. "Kamu tidak berubah Dinanti. Masih sering galak," katanya seakan sudah lama mengenalku. Arga tiba-tiba melangkah maju, membuat aku yang tak siap hanya bisa melebarkan mata terkejut karena wajahnya yang menunduk agar sejajar dengan ku.

Matanya menyipit seakan menelisik mencoba melihatku lekat. "Hanya satu yang berubah," ia tersenyum miring. "More prettier than before,"

Aku mendelik, kembali melangkah mundur jauh darinya sebelum aku khilaf meninju perut cowok itu.

Sumpah, entah apa yang merasuki tubuhnya karena seingatku. Cowok tampan namun brengsek ini tak pernah sekalipun memuji. Jangankan memuji, berbicara saja sudah syukur. Yang keluar dari mulutnya hanya iya, tidak, dan bukan urusanmu. Sisanya gerakan tubuh.

Itu kenapa aku pernah sempat berpikir kalau cowok didepanku ini bisu. Atau semacam punya penyakit psikologis yang susah untuk berinteraksi dengan orang.

Nyatanya memang berbicara sok misterius merupakan hobinya.

Aku berkacak pinggang. Bersiap mengeluarkan kalimat sengit. "Kamu juga gak pernah berubah," kataku dengan berani. "Aku pikir kamu masih punya masalah dengan tingkat kepercayaan dirimu itu Pak Ar-ga."

Dia tersenyum. Entah kenapa hari ini dia banyak tersenyum. Apa kepalanya tadi sempat terbentur?

"Kamu selalu saja lucu Dinanti,"

Aku mendelik. Jelas menunjukkan protes. Hah? Lucu? Talk to my hand nih.

"Berhenti memanggilku Dinanti,"

"Then what should i call you?" Alis Arga berkerut. Cowok itu kemudian tersenyum miring, "Sweety?"

Aku mendelik. Terus terang menujukan penolakan secara langsung dan jelas frontal. "Ya tidak usah memanggiku,"

"Why ?"

"Because i hate the way you call my name,"

Arga kembali tertawa. Kali ini tawanya terdengar geli sekaligus senang yang teramat amat amaaat. Jelas sih karena kupikir dia memang sudah gila.

"Kenapa memang? Terdengar mempesona ditelingamu?" Arga melangkah maju. Meminimalisir jarak diantara kami.

"Hah jangan ngarep deh lo,"

"Lo? Baru 5 menit kita bertemu dan kamu sudah berbicara dengan santai padaku. Apa tandanya itu?"

"Tandanya gak usah dekat-dekat sama gue,"

"Kenapa? Aku rindu dengan kamu Dinanti,"

Aku melotot. Kali ini tak segan-segan ku injak kakinya dengan keras.

Enak saja dia berbicara begitu denganku. Rindu? Rindu upilnya Park Seo Joon?!

Rindu apa hah? Rindu menghina diriku atau rindu membuatku malu di depan orang banyak.

Entah apa maksud deskripsi rindunya yang jelas aku tak tahan mendengar cowok ini berbicara sok manis.

Jelas karena cowok ini bukan tipekal yang suka berbicara sweet melainkan swear-word.

Arga meringis sakit. Tapi aku tak melihat adanya tanda-tanda kemarahan diwajahnya. Ia justru malah tersenyum, matanya sama sekali tak mau lepas dariku.



"Apa ini sudah setengah cukup?" Tanyanya membuatku mengernyit.

"What?"

Arga mengangkat bahunya. Agar ragu. "Pembalasan dendam terhadap apa yang dulu pernah aku buat?" Tanyanya dengan santai. "Walau aku gak yakin apa aku ini benar salah atau tidak,"

OH MY GOD.

Ya tuhan... kenapa kau menciptakan mahluk macam seorang Arga ini.

Cowok menyebalkan, tidak tau diri serta kenarsisan nya yang diluar batas.

Aku dibilang narsisitik?!

Mereka belum saja melihat cowok dihadapanku ini. Cowok yang dulu tidak pernah absen ku ucapkan dalam doa agar segera diberi karma dalam hidupnya.

Iya. Aku memang dendam setengah mati dengannya. Bahkan cuma karena dia aku punya keinginan kuat untuk bisa bela diri. Agar suatu saat nanti aku bisa dengan telak menendang kepalanya ini agar otaknya bisa waras.

Tapi sayangnya baik di Karate maupun Pilates semua mengajarkan self control itu penting sekali. Tidak boleh menyalah gunakan kekuatan.

Namun kalau berhadapan dengannya...

BAGAIMANA BISA AKU TAHAN?!

Aku menggeram gemas. Berkacak pinggang sambil melotot kesal. "NO! NEVER!!" Balasku langsung berbalik badan meninggalkannya.

Tak peduli lagi dengan bagaimana ekspresi maupun jawaban dari cowok itu. Yang jelas daripada self controlku hilang dan aku bisa memporak-porandakkan taman ini lebih baik aku pergi.




♡♡♡


a/n:


Mbak Irene... debut yuk :(((






Karena Piknik Kilat  ✔ (SELESAI)Where stories live. Discover now