13. Makan malam

13.4K 2.5K 1.2K
                                    

Zoya itu kekanakan, semaunya, dan manja. Jika ada di samping gadis itu, telinga Ray selalu berdengung karena Zoya selalu berisik. Paling tidak suka hening, suka berdongeng, dan sedikit tidak waras menurut Ray. Namun, ketika gadis itu tak ada di sampingnya, Ray sepi.

Hening, hampa, kosong, dan dingin. Meski Zoya selalu berisik tetapi gadis itu selalu mampu memberikan kehangatan. Tanpa Zoya, Ray kesepian.

Sekarang, Ray tak berhenti menghubungi gadis itu tetapi berkali-kali hanya suara operator yang terdengar menimpali. Ray menghembuskan napas kasar, Zoya masih marah padanya karena itu Zoya memilih mematikan ponsel supaya tak diganggu.

"Masih belum mau diangkat?" tanya Mike seraya menyeruput juss di depannya. Saat ini mereka tengah berada di kediaman Ray dan pertanyaan yang dilontarkan hanya dijawab gelengan kepala oleh Ray. "Masih ngambek kali. Cewek mah gitu. Ribet. Btw, gimana sama Sonia?"

"Gue sayang banget sama Zoya kaya gue gak bisa apa-apa tanpa dia." Ray menghela napas panjang. "Tapi, lama-kelamaan ngabisin waktu bareng Sonia, itu juga bikin gue nyaman."

"Nah itu makanya lo ikuti saran gue, kita masih muda, tolol rasanya kalau bucin dan setia sama satu cewek aja. Punya muka ganteng, ngapain gak dimanfaatin?" Mike mengangkat alis. "Udah nunggu apalagi. Gaslah pacaran sama Sonia."

"Itu berarti gue nyakitin mereka berdua kayak punya dua istri aja," ucap Ray membuat Mike tertawa.

Ray sama sekali tak melihat ketika Mike menghidupkan ponselnya, foto Zoya menjadi walpaper laki-laki itu.

*

Zoya tak mau pulang ke rumah. Mengingat kejadian saat tadi pagi membuatnya kembali marah. Ia ingin Aldi menyesal dan khawatir padanya setelah membela Sonia tadi pagi.

Tetapi, dari pada sikap Aldi, pengusiran Yoora padanya jauh membuat hati Zoya lebih sakit.

"Mama gak mau punya hubungan apa-apa-apa lagi sama Papa kamu. Dengan kamu ke sini, itu masalah buat Mama. Lagian, kamu udah terbiasa hidup tanpa Mama 'kan?"

Bukan Sonia. Bukan Ray. Bukan juga tentang Ayahnya tetapi Ibunya, hanya wanita itu yang selama ini membuat Zoya menjadi pribadi yang cengeng.

Gadis itu mengusap air matanya kasar. "Dasar nyebelin, kalau kedatangan aku ke restoran bisa jadi masalah, aku pastiin setiap hari aku bakal datang ke sana. Biar Mama tahu rasa sekalian!"

Perutnya berbunyi. Zoya menatap arloji berwarna pink di pergelangan tangan. Ia kemudian turun dari rumah pohon tempatnya bersama Ray suka menghabiskan waktu. Gadis itu menatap langit yang nampak gelap, hujan akan segera turun.

"Setelah hujan pasti hari langsung cerah," ucap Zoya. "Semoga aja aku juga begitu. Setelah sakit hati, nanti jadi bahagia."

Zoya menghembuskan napas panjang lalu berjalan pulang ke rumah, saat akan membuka gerbang, ia melihat Mike teman kelasnya keluar gerbang rumah Ray.

Mereka bertemu tatap. Zoya mengangkat alis. "Ngapain ke sana? Ada tugas kah?"

Telinga Mike memerah. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal. Terlihat gugup sekali. "Kalau ada pasti lo juga tahu, Zoy."

"Enggak. Cuman buat basa basi nyapa kamu doang. Yaudah ayok mampir sekalian," ajak Zoya ramah dibalas gelengan dibarengi senyuman oleh Mike.

"Makasii, Zoy." Kemudian mengeluarkan cokelat di kantung celananya sembari berjalan mendekati Zoya. "Buat lo."

Zoya menerima sembari tertawa kecil. "Gak bosen ngasih aku cokelat dari kelas satu?"

Mike berjalan menjauh sembari tersenyum kikuk. "Gue pulang. Sampai ketemu nanti, Zoy."

REDUPWhere stories live. Discover now