50. Isi hati Aldric [END]

31.4K 3K 3.1K
                                    

Aldric tersenyum senang menatap rumah kecil yang berhasil ia sewa dari uang yang ia kumpulkan selama ini.

Meski tempatnya kecil, Zoya hanya mengatakan yang penting ada Ac-nya. Mereka bisa tinggal berdua di sini sampai orang tua mereka mau berjanji untuk mengakhiri konflik yang ada.

Anak mana sih yang suka liat orang tuanya bertengkar?

Setiap Aldi dan Yoora bertengkar hebat, entah kenapa Aldric sendiri yang sakit hati mendengar mereka. Saking sakitnya, Aldric tak lagi betah di rumah dan lebih memilih mencari kenyamanan dengan hidup bebas di luar.

Oh tentu karena Aldric bukan Kakak paling menyebalkan di dunia ini seperti Elvano yang apa-apa selalu nurut orang tua. Seperti robot saja. Kebebasan berpendapat tak dibutuhkan lagi bagi Abangnya itu, di matanya orang tua selalu benar. Karena perbedaan paham itu lah mereka tak pernah akur dari saat orang tua mereka berpisah.

Seperti langit dan bumi. Elvano si perfect yang ia kejar hanya membanggakan orang tua sementara Aldric si tukang bikin onar yang setiap hari kerjaannya bikin pusing kepala.

Terlepas dari semua hubungan buruk itu, tak menampik kalau ada kubangan luka yang Aldric sembunyikan tentang bagaimana perlakuan Abangnya.

Setiap ia bikin masalah sampai membuat ibunya menangis, dari dulu Elvano yang di mata orang selalu tenang sering menghukumnya dengan kekerasan.

Tak peduli ia kesakitan atau tak berdaya. Tanpa rasa kasihan, tak hanya menciptakan luka di fisik juga memukul batinnya dengan hinaan menyayat hati. Terus bersuara kalau dirinya anak yang tak berguna dan hina.

Aldric sama sekali tak pernah merasakan bagaimana mempunyai sosok Abang yang sesungguhnya_berperan untuk mengayomi dan menasehati baik-baik jika ia salah. Aldric selama ini tak pernah merasakan kasih sayang seorang Kakak. Di mata Elvano, dirinya hanya pelampiasan emosi tidak lebih.

Karena alasan itu, Aldric menanamkan pada dirinya sendiri bahwa satu-satunya adiknya, Zoya tidak boleh merasakan hal yang sama. Dia harus bisa menjadi pelindung atau bahkan tempat ternyaman anak itu.

Karena itu, meski ia menampilkan wajah tak senang, songong dan sebagainya. Dalam lubuk hati terdalam, Aldric selalu mencoba memenuhi keinginan adiknya.

Tangannya kini bergerak lincah di atas layar lalu menempelkan ponsel di telinga kanan tetapi Ayahnya tak mengangkat. Padahal, ia hanya ingin meminta izin kalau ia akan membawa Zoya bersamanya. Aldric memilih hanya mengirimi Aldi pesan.

"Zoya biarin tinggal sama aku, Pa kan bagus tuh biar Papa bisa hidup bahagia juga tenang sama istri tercinta dan anak tiri kesayangan Papa. Ini aku otw mau jemput Zoya, jangan sekali-kali nyalahin Mama atas tindakan ini. "

Selepas adzan subuh, Aldric langsung berangkat menjemput anak itu di rumah Ayah mereka. Memang sangat terlalu pagi dan mungkin Zoya masih tidur. Tetapi itulah yang mereka lakukan supaya tak dihalangi.

Namun, saat ia sampai di sana justru seluruh rumah sudah dipenuhi garis polisi. Cepat-cepat anak itu turun dari motor lalu berlari menerobos ke dalam. Hening. Tidak ada siapa-siapa.

"Kelinci tengil jangan becanda," ucapnya saat sudah berada di dalam. "Zoya!"

Dia berlari ke dekat anak tangga, ada darah di sana. Tubuh Aldric mulai gemetar lalu memasuki satu persatu kamar. Melihat poto besar dirinya dan anak itu terpajang di salah satu kamar membuat perasaan Aldric semakin tak karuan.

"Brengsek!" umpatnya menemukan ponsel Zoya sudah remuk di bawah balkon.

"Dia udah dibawa ke rumah sakit," ucap seseorang muncul di belakangnya.

REDUPWhere stories live. Discover now