49. Kebenaran

19.2K 2.6K 1.8K
                                    

"Vino! Vino!"

"Mobilnya akan segera meledak, kita harus segera menjauh dari sini."

Wanita itu menggeleng sembari memeluk bayi perempuannya. "Salah satu anakku masih di dalam. Tolong dia. Aku mohon tolong anakku! Vino keluar! Vino!"

Langkah kakinya semakin mendekat, dia menghidupkan korek api lalu menghembuskan asap rokoknya. Menatap sendu gadis kecilnya yang sekarang bersimbah darah menatap dirinya dengan napas terputus-putus.

"Sebagai Kakak beradik yang bernasip sama_ditinggal di saat benar-benar butuh pertolongan. Aku kecewa saat pertama kali kita bertemu, kamu malah memanggil aku paman. Apa selain jelek, aku juga terlihat tua di matamu?"

Suaranya seperti tercekat di tenggorakan, Zoya hanya bisa merespon dengan air mata untuk membalas setiap ucapan yang keluar dari laki-laki yang sekarang tak hanya memiliki luka bakar tetapi darah bekas lemparan piring di wajahnya.

"Kamu dengan enteng bilang, uang tidak menjamin hidup bakal bahagia." Laki-laki itu menunjuk wajahnya. "Yang kamu gak tahu, uang bisa memperbaiki semuanya."

Laki-laki itu mengepalkan tangan saat teringat pertama kali bertemu dengan Lira.

"Sekolah adalah neraka dunia bagi orang yang tidak memiliki uang dan memiliki wajah buruk rupa sepertiku."

Lira menyeringai. "Karena itu Tuhan mempertemukanmu denganku. Aku akan menunjang semua kebutuhanmu dengan satu syarat, ikutlah denganku."

"Aku tidak bisa kembali sebagai kembaran Melvano dengan wajah seperti ini di satu sisi, orang tua kita malah bersikap seperti aku tidak pernah terlahir di dunia ini." Tiba-tiba suara laki-laki itu gemetar. Liquid bening itu perlahan jatuh ke pipinya. "Karena itu aku memilih mengasingkan diri."

Yang Malvino tidak tahu, perselingkuhan ayahnya terjadi dengan Lira berawal dari keterpurukan Yoora atas kepergiannya hingga melupakan kewajiban sebagai istri dan selalu mengabaikan suami dan anaknya, Zoya yang saat itu masih sangat kecil.

"Aku berjuang sendiri. Bersembunyi dari orang-orang yang menganggapku monster, tinggal di pelosok ditemani sampah-sampah dan bau busuk yang menyengat. Kenapa itu semua berbanding terbalik dengan El hah?"

"Aku membenci keluarga kita melebihi kebencianmu pada mereka!" teriaknya menangis. "Lira datang menjanjikan harapan. Memberikan uang untuk memenuhi kehidupanku karena aku adalah satu-satunya saksi mata pembunuhan yang dia lakukan pada mantan suaminya. Terakhir dia menjanjikan akan memyembuhkan semua luka di wajah ini dengan satu syarat."

Lalu dengan gemetar menangkup wajah Zoya yang dipenuhi darah. "Aku harus membunuhmu untuk mendapatkan kembali wajahku"

Melepaskan wajah adiknya untuk meraih sebilah pisau.

"A-ba-ng?"

Laki-laki itu tak bisa menahan keterkejutan. Genggamannya pada pisau makin mengerat, matanya yang dipenuhi air mata menatap tak percaya pada gadis sekarat di hadapannya.

"Aba-ng."

Zoya kembali menangis. Semakin kesulitan bernapas.  " A-bang M-aaf."

Masih menggenggam pisaunya, tangan Vino berubah gemetar saat sekeping masa lalu terbayang samar di ingatan. Tentang anak laki-laki yang terus mencoba membuat adik kecilnya tertawa.

"A-bang," panggil Zoya lagi. Tangannya yang berlumuran darah bergetar saat terulur menyentuh pelan wajah sang Kakak. Kemudian, bersuara yang terdengar seperti sebuah bisikan yang membuat Vino spontan menjatuhkan pisau dengan tangis yang pecah.

"Abang berhak hidup lebih baik lagi."

Sebelum akhirnya mata anak itu tertutup. Tida mengerti apa yang dilakukannya kini tetapi Vino bergegas mengeluarkan ponselnya. "Hallo? Tolong selamatkan adikku di sini."

REDUPWhere stories live. Discover now