33. Kabur dari rumah

9.7K 1.9K 1.1K
                                    

Zoya sama sekali tak pernah menduga, hari pertama libur sekolahnya akan semenyeramkan sekarang.

Sumpah demi apa pun di dunia ini, ia lebih baik dipukul dan dibentak dari pada didiamkan dan tak di anggap ada.

Di meja makan, ketika sarapan, ia hanya bisa bungkam menyaksikan Aldi, Lira dan Sonia bersenda gurau bersama.

"Papa bangga sama kamu," ucap Aldi mengusap kepala Sonia penuh sayang. Mengeluarkan sebuah kotak dengan semangat kemudian memberikannya pada Sonia. "Hadiah karena udah dapet juara kelas."

Seumur-umur, Sonia tak pernah sebahagia sekarang apalagi ketika membuka kotak berukuran kecil itu, melihat sebuah kalung dengan mata berbentuk bulan sabit terlihat indah dan berkilau.

"Biar Mama pasang," ucap Lira tak melunturkan senyum sedari tadi.

Aldi dengan sigap merapikan rambut Sonia saat Lira selesai memesan kalungnya.

"Tapi, Mas. Kamu kasih kalung gini sama dia, aku yakin deh pasti nanti dia gak bisa tidur karena kesenangan." Lira tertawa kecil.

Sonia cemberut. "Apaan sih, Ma." Menatap ke arah Zoya. "Cantik kan Zoya?"

"Nanti Mamaku beli yang lebih bagus dan mahal." Zoya memalingkan wajahnya yang panas. Tetapi, kemudian gadis itu berbalik menatap Ayahnya yang memakan roti dengan anteng. "Papa bahkan gak ngasih hadiah sama anak Papa sendiri."

Aldi diam saja. Bahkan, seharian tak mau membalas semua ucapan Zoya. Tak jua ingin bertegur sapa dengan anak itu.

Itu berangsur beberapa hari. Aldi mendiamkannya dan Zoya tak pernah bisa tidur tenang akan hal itu. Pria itu tak mau menatapnya sedikitpun. Karena itu, untuk ikut makan bersama pun sekarang Zoya merasa segan hingga ia lebih memilih kelaparan.

Sembari memegang perutnya, ia mendengar gelak tawa berasal dari luar. Dari kejauhan, ia melihat Ayahnya, Lira, dan Sonia masuk rumah dengan banyak barang belanjaan. Tangan kanan Aldi merangkul hangat bahu Sonia sesekali mengusap kepala anak itu lembut dengan senyuman.

Mereka nampak seperti sebuah keluarga bahagia dan hati Zoya seperti teriris melihatnya. Meski mati-matian menahan tangisan, air mata lebih memilih berkhianat dengan jatuh mengaliri pipinya.

Menekankan dirinya bahwa ia bukan gadis cengeng dan lemah tetapi sikap sang Ayah menghancurkan hatinya ke titik terendah.

Terlebih masuknya Ray membawa sebuah boneka besar yang diberikan pada Sonia menambah kehangatan keluarga itu.

Saking bahagia, saking hangat, saking harmonisnya, Zoya tak sanggup melihatnya. Berlari ke kamar. Kesepian. Sendirian. Menangis sampe air mata habis, tak ada yang peduli.

Pada saat jam makan siang, dengan kantung mata yang menghitam pertanda tak bisa tidur nyaman juga dengan perut kerocongan belum di isi, gadis itu berjalan linglung ke restoran.

Sembari memeluk rapor hasil belajar berisi nilai yang memuaskan, ia hendak masuk tetapi lebih dulu dihadang satpam.

"Non Zoya aldimitri, ya?" tanya pria berbaju putih itu.

"Iya," jawab Zoya lesu.

"Pemilik restoran ini kemarin memberi perintah pada saya kalau Non gak boleh masuk lagi ke restoran ini," kata pria itu.

Zoya ingin tertawa. "Saya anak pemilik restoran ini."

Memaksa akan masuk tetapi tubuh kecilnya didorong kasar hingga rapor-nya terlempar ke sisi jalan.

"Jangan paksa saya menggunakan kekerasan!" bentak Pak Satpam. "Saya hanya menjalankan tugas di sini."

Zoya yang hendak membalas dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. Melihat nama sang Ibu tercinta yang beberapa minggu terakhir hilang seperti di telan bumi terpampang di layar ponsel, segera saja Zoya mengangkatnya. "Bagus Mama menelponku, kalau enggak sudah ku pastikan semua kaca restoran Mama pecah akibat lemparan batu dariku."

REDUPWhere stories live. Discover now