R. A. 47

1.5K 88 4
                                    

Sepasang remaja berjalan beriringan melewati kridor sekolah. Banyak yang dibuat iri dengan pasangan remaja ini. Keduanya sesekali tertawa hanya karena sebuah lawakan garing. Siswi itu sangat beruntung bisa mendapatkan hatinya.

Diantara sekian banyaknya gadis yang mengelilingi laki-laki itu bahkan kecantiknya melebihi gadis di sampingnya tetapi dia malah memilihnya sebagai kekasih. Ternyata memang benar rupa bukanlah penentu melainkan hati.

Keduanya terus berceloteh ria membahas hal yang menarik, saling menceritakan tentang diri masing-masing. Bahkan mereka tidak menyadari jika sepasang mata terus memperhatikan gerak-gerik mereka dari jauh.

Haruskah Ia marah sekarang? Meski pada faktanya mereka tidak memiliki hubungan lagi. Apa ini rasa sakit yang harus Ia terima? Mengapa lebih sakit dari dari luka kemarin? Secepat itukah dia melupakannya? Secepat itu dia memiliki pengganti?

Bukankah dari awal harusnya Ia harus bisa menerima jika suatu saat cowok itu mencari penggantinya? Ia menarik napas berat lalu membuangnya perlahan. Dadanya terasa seperti disumpal oleh sesuatu hingga sesak. Ia mendongak ke atas agar air matanya tidak turun.

Ia menaiki tangga dengan menghentakkan kakinya hingga menimbulkan bunyi keras. Mendengar suara derap langkah menaiki tangga, laki-laki itu hanya mengangkat bahunya acuh lalu kembali berjalan ke kantin untuk mengisi perutnya.

Di kelas, Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya dan menangis. Tiba-tiba Ia merasa seseorang memeluknya, menyalurkan semangat untuknya. Saat itulah tangisnya pecah di pelukan sahabatnya. Mereka tahu perasaannya. Mengingat bagaimana popularitasnya di sekolah ini membuat kabar itu tersebar dengan luas.

"Gue belum siap lihat dia sama orang lain," ujarnya.

"Sebesar itu cinta lo sama dia?" tanya siswi berambut sebahu padanya.

"Gue tau hubungan kita udah selesai tapi hati gue gak bisa nerima," ujarnya.

"Hati dan logika selalu bertolak belakang. Hati maunya tetap sama dia tapi logika gak mau. Selalu ada ego yang menahan," ujar siswi berkulit putih.

"Gue tau! Pertanyaan gue cuma satu, kenapa Bima masih mertahanin egonya?" tanyanya dengan emosi memuncak.

Bima Al Faendra beberapa hari yang lalu telah meresmikan hubungannya dengan salah satu adik tingkat mereka. Entah bagaimana mereka bisa sampai menjalin hubungan. Selama ini baik Bima maupun siswi bernama lengkap Ghea Oriza Putri tidak pernah menunjukan kedekatan mereka.

"Lo tau harus nanya sama siapa, Sa," ujar Litha.

"Bukannya lo absen seminggu? Terus lo kok bisa tau sih?" tanya Anjani.

Minggu lalu Raisa memang tidak hadir tanpa keterangan. Raisa harus mengatur ulang jadwal pemotretannya selama satu minggu dengan sistim gebut. Ia tidak ingin terlalu lama absen dan jadilah sekarang Raisa terlihat kelelahan.

"Setiap gue break gue cek Ig," ujar Raisa.

Mengingat jadwalnya semakin padat hingga beberapa bulan ke depan membuatnya semakin pusing dan pandai-pandai mengatur manajeman waktu antara sekolah, belajar, bekerja, dan istirahat. Jujur saja selama seminggu dirinya hanya tidur dua jam per hari. Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya Raisa?

"Mending sekarang lo istirahat, Sa. Kasihan badan lo," ujar Litha.

"Muka lo mirip vampir, pucet banget," sahut Anjani.

"Masalah Bima pending dulu kesehatan lo lebih penting," ujar Litha.

Raisa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Litha dan Anjani. Mereka sangat mengerti keadaanya, tidak salah Ia pindah ke SMA Trisakti meski perjuangannya untuk Bima hanya berujung dengan sakit hati setidaknya Raisa masih memiliki mereka berdua.

Radyan Arjuna ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang