29. Tears

1.4K 282 4
                                    

"People cry, not because they're weak. It's because they've been strong for too long."

—Johnny Depp

__________

Gemersik dedaunan dan ranting-ranting pohon adalah hal pertama yang Laviona dengar ketika ia memaksa matanya agar terbuka perlahan. Tubuhnya masih sangat lemah hingga rasanya ia tidak mampu bergerak. Satu-satunya hal yang ia mampu lakukan hanyalah memandang langit-langit tempat ini yang dipenuhi dedaunan dan beberapa bunga.

Lalu suara dua orang wanita yang berbincang di luar terdengar agak samar.

"Kau belum mengantarkannya juga?"

"Belum," jawab suara perempuan yang lain. Suaranya terdengar serak dan lemah.

"Ayolah, Briena, sampai kapan kau seperti ini? Oh, tidak, tidak. Jangan menangis." Kali ini suara wanita pertama terdengar agak panik.

"Aku hanya ... aku tidak bisa." Isakan perempuan dengan suara serak itu terdengar. "Aku selalu teringat dengannya ketika melihat Putri."

Dengan siapa? Laviona bertanya-tanya dalam hati. Perlahan namun pasti, sesuatu bergemuruh mulai melanda hatinya.

Ah kemampuan firasat itu ...

Entah mengapa kadang terasa seperti mempermainkannya.

"Kau tidak bisa menyalahkan putri."

"Aku tidak menyalahkan putri, sungguh. Aku justru sangat senang putri selamat," jawab wanita pertama. "Hanya saja, Ralos benar-benar sudah tiada dan aku masih belum bisa menerima itu. Adikku, keluargaku satu-satunya..." isakannya lambat laun semakin jelas.

Laviona semakin bertanya-tanya dalam hati. Dipandanginya tirai sulur tumbuhan yang menjuntai lebat menutupi mulut gua.

"Ini pilihannya, Briena. Cobalah relakan dia. Sejak awal, sudah keputusannya untuk mengorbankan nyawa dan menyelamatkan putri juga kita." Perempuan kedua yang Laviona simpulkan sebagai teman dekat wanita pertama itu masih berusaha menenangkan.

"Iya ... ini pilihannya. Anak keras kepala itu ... hari itu dia bilang akan melakukan apapun demi menyelamatkan putri, termasuk menyerahkan nyawanya ... seperti sekarang."

Laviona tidak bisa menahan diri lagi. Ia tidak tahu mengapa matanya memanas menyadari karena dirinya, seseorang harus meregang nyawa. Dirinyalah penyebab kematian sosok lelaki bernama Ralos itu. Dan karena dirinya, banyak orang berduka. Laviona tidak pernah suka berada dalam posisi itu.

"Apa ..." Laviona melirih lemah. Suaranya bergetar dan tenggorokannya terasa perih lantaran terlalu kering dan butuh dibasahi.

"Briena, katakan. Apa kau menyalahkan putri?" Suara wanita kedua kembali terdengar. Tidak terkesan ketus tetapi lebih seperti seseorang yang tengah membujuk.

"Sudah kubilang tidak," jawab wanita pertama itu lagi. Terdengar isakannya mereda. "Putri adalah orang yang kukagumi. Dia hebat, mengetahui bagaimana perjalanan hidupnya, jelas itu tidak mudah. Aku banyak belajar darinya. Kesedihanku ini tidaklah sebanding dengan penderitaan yang telah Putri alami. Aku tidak mungkin menyalahkannya."

Hening sejenak sebelum wanita kedua kembali membuka suara. Kali ini lebih pelan. "Kau benar. Entah setelah semua itu, apa Putri bisa menerima kepergian Pangeran."

Jantung Laviona seakan berhenti berdetak. Hantaman kuat mengenai telak hatinya. Nyeri hebat menjalar di dalam dadanya. Pangeran? Siapa? Hanya ada dua pangeran di sini. Malachy atau Keyzaro. Laviona jelas tidak akan sanggup kehilangan siapapun di antara keduanya. Sekarang saja, perasaan Laviona sudah berkecamuk tidak karuan.

Nightmare [Completed]Where stories live. Discover now