After the Nightmare [3]

1.2K 235 3
                                    

"Tuan Putri, maafkan saya. Mungkin ini lancang, tapi sudah empat hari Tuan Putri tidak menemui Yang Mulia."

Lenox menatap Laviona yang tengah menyeruput tehnya dengan tatapan serius. Memang benar mereka minum teh bersama. Seharusnya ini menenangkan, tapi Lenox yang selalu memperhatikan Tuan Putrinya sadar bahwa Laviona tidak sekali pun tampak senang. Ia lebih sering melamun dengan tatapan kosong yang sayu.

Padahal minum teh berdua dengan putri adalah hal yang tidak pernah Lenox lakukan sebelumnya. Jadi seharusnya laki-laki itu merasa senang juga terhormat. Namun melihat raut Laviona, Lenox tak urung ikut merasa sedih.

Laviona menjauhkan cangkir dari bibirnya, lantas meletakkan benda itu di piring kecil di atas meja.

"Aku tahu," jawabnya. "Kau adalah orang kesekian yang mengatakan itu."

Lenox terdiam sesaat. Dia mengaduk canggung teh dalam cangkir yang tersaji di hadapannya.

"Tapi Yang Mulia kelihatan cemas. Saya belum pernah melihatnya demikian," tukas Lenox akhirnya. "Kemarin saya dengar, Yang Mulia memilih makan malam sendiri di kamarnya."

"Dia ... tidak mungkin sekhawatir itu," ucap Laviona. Ia menghembus nafasnya. "Karena jika itu benar, setidaknya ada satu kali dia ingin mengunjungiku. Adakah dia begitu?"

Kali ini Lenox terdiam tidak menjawab. Ia menunduk, membenarkan dalam hati ucapan Laviona. Memang itu benar, Malachy tidak pernah berniat mengunjungi adiknya, meski kabar perempuan itu tidak sehat diketahui seisi istana.

Laviona menyandarkan punggung di sandaran kursinya. Ia menghela nafas dalam sambil menatap jendela ruangan di belakang Lenox.

"Tuan Putri, ... anu," Lenox bersuara ragu. "Saya turut bersedih pada batalnya pertunangan Tuan Putri dan Pangeran Keyzaro."

Mendengar itu Laviona kontan menatap pengawal pribadinya dengan sebelah alis terangkat.

"Ah, maksud saya," Lenox buru-buru menambahi. "Saya belum bilang apa-apa tentang itu. Jadi saya merasa agak ... bersalah."

"Apa kau pernah begini sebelumnya?"

"Maaf?" Lenox tampak tidak mengerti.

"Masudku, kupikir aku sudah sering menolak lamaran-lamaran seperti itu," jelas Laviona. "Kau tidak berpikir yang ini sama saja?"

"Tapi Tuan Putri tidak pernah tampak sesedih ini," balas Lenox. "Padahal saya sempat senang melihat Tuan Putri tampak senang setelah hari Pangeran Keyzaro meminang Anda."

Laviona terdiam beberapa lama. Hingga suaranya terdengar pelan. "Terlihat jelas, ya?"

"Cukup jelas bagi saya. Tidak tahu apa penghuni istana lainnya menyadari itu atau tidak," jawab Lenox.

Laviona membuang pandangannya ke arah lain. Tatapan di sepasang netra hijau itu kini nampak pedih.

"Lenox, kurasa alam memang sedang menghukumku," gumamnya.

Lenox ikut menghembus nafas murung. "Saya ikut sedih, melihat Tuan Putri bersedih sampai sakit seperti ini."

"Kau tahu, Lenox? Aku sendiri heran mengapa selama ini selalu menolak semua lamaran." Laviona kembali mengenang kehidupannya dahulu di Kerajaan Kanelitte. "Lalu saat itu Pangeran Keyzaro, aku malah menerimanya begitu saja. Bukankah itu bodoh?"

"Tentu tidak," balas Lenox cepat.

Namun Lavion memilih melanjutkan ucapannya.

"Yah, memang kata orang Pangeran Keyzaro itu sempurna. Penampilannya, rupanya, kepintarannya, semua. Tapi entah kau percaya atau tidak, aku menerimanya bukan karena itu. Bukan juga karena aku lelah menolak. Hanya karena ... itu adalah dia." Laviona menghela nafas pendek. "Lalu pertunangannya batal, dan aku—seperti yang kau lihat."

Nightmare [Completed]Where stories live. Discover now