40. Hello, Death

1.7K 255 13
                                    


"I live in the light, but carry my dark with me."

—John Marsden

__________

Laviona tidak tahu apa yang barusan terjadi. Tiba-tiba saja dirinya terhempas menjauhi mulut tebing, meringkuk memegangi dadanya yang terasa ditekan kuat lantaran baru saja bongkahan batu besar menghantam dirinya oleh sihir Emilius.

Emilius berjalan santai mendekati Laviona yang meringkuk memunggunginya. Tersenyum puas melihat perempuan itu kesakitan.

Ditariknya kerah belakang pakaian Laviona kasar. Memaksa perempuan itu berdiri menghadapnya.

Seketika terbahak melihat darah mengalir di sudut bibir Laviona.

"Lemah!" hina Emilius begitu puas.

Masih dengan sorot mata merendahkannya, Emilius mendorong tubuh Laviona yang sudah melemah. Dorongannya kuat, namun tidak seperti perkiraannya bahwa perempuan itu akan langsung jatuh tersungkur, Laviona justru bertahan berdiri membelakanginya, meski posisinya sedikit membungkik lantaran sakit di dada.

"Siapa yang lemah?" tanya Laviona pelan namun dingin. "Kau? Yang bahkan tak bisa menyentuhku dengan sihir? Laki-laki dewasa yang bangga pada kekuatan fisik melawan seorang gadis, anaknya?"

Laviona menoleh ke belakang, menatap pada Emilius. Lantas ia tersenyum miring sebelum kemudian menghadapkan tubuhnya pada sang ayah.

Kedua tangannya terangkat setinggi pundak. Seperti menggenggam sebuah bola yang lebarnya hanya dua kepalan tangan pria dewasa. Kedua telapak tangannya lantas bergerak memutar.

Seketika itu juga tubuh Emilius menegak. Tatapannya yang semula mencela kini menajam. Tubuhnya kaku, seolah dihimpit sesuatu tak kasat mata namun menyakitkan. Membuatnya tak kuasa menahan berat tubuh, hingga berakhir dengan menumpukan lutut di tanah.

"Aku tersanjung," gumam Laviona tersenyum tipis. "Kau sampai berlutut begitu di depanku."

Emilius menatap Laviona penuh amarah. Dia mencoba melepaskan diri, namun tidak berhasil.

"Awalnya aku sungguh-sungguh berfikir tidak akan bisa membunuhmu," ucap Laviona. "Bukan karena kau lebih kuat, tapi karena kau adalah ayah kandungku, meski kau ... biadab."

"Dan kau masih berfikir akan menang, heh?" sahut Emilius di sela erangan tertahannya. Ia memejamkan mata untuk menenangkan diri sesaat, sambil menyeringai. "Tahu diri."

Lalu dalam sekali sentakan, Emilius berhasil berdiri, membebaskan diri dari cengkeraman sihir Laviona.

Tak ingin membuang waktu lebih banyak. Emilius kembali menyerang Laviona. Caranya masih sama. Emilius menghancurkan bebatuan besar di sekitar tempat itu, kemudian menggunakannya untuk menyerang Laviona, lantaran sihirnya tidak bisa menyentuh perempuan itu.

Bebatuan itu bergerak mengitari Laviona, berubah tak kasat mata sembelum menghimpit tubuh rampingnya kuat.

Laviona berusaha bertahan ketika tubuhnya didorong mendekati mulut tebing. Namun sihir Emilius lebih kuat. Beberapa kali berhasil melepaskan diri, namun tak beberapa lama, batuan-batuan tak kasat mata itu kembali memerangkapnya.

"Aku lupa mengatakan satu hal lagi." Emilius menghentikan pergerakan sihir pada bebatuan yang memerangkap Laviona tepat ketika perempuan itu tidak memiliki tumpuan lagi dan tubuhnya condong ke belakang, ke mulut tebing. "Sebenarnya ramalan itu cukup masuk akal kalau saja kakakmu itu masih hidup."

Emilius melangkah mendekat. Sihirnya semakin erat mencengkeram tubuh Laviona, membuat nyeri mulai mendera.

"Kau tahu, ikatan unik kalian." Emilius mengendik tidak peduli. "Kuberi tahu, itu bukan hanya sekadar kau bisa merasakan kesakitannya seolah kau sendiri yang mengalami itu." Emilius melanjutkan, "Kalau saja dia masih hidup, mungkin ... mungkin kekuatanmu bisa lebih besar dari ini. Walau masih tidak cukup untuk melawanku."

Nightmare [Completed]Where stories live. Discover now