Part 31

40 1 0
                                    

Hari-hari berikutnya kuisi dengan membuat sebuah website. Aku dapat ide untuk membuka kursus online dengan kurikulum mata pelajaran London School of Art. Kampus dan tempat kursusku dicampur jadi satu. Kubuat banyak e-book untuk dibeli di websiteku, dan dalam sebulan, aku sudah punya penghasilan yang lebih dari uang jajanku di London. Lumayan. Ini kan baru tahap awal, tapi sudah this good, cool.

Dua bulan berikutnya, penghasilanku bertambah. Mungkin karna aku memasarkan website ini kemana-mana. Teman-temanku di LSA (singkatan London School of Art, nama kampusku kepanjangan) minta diskon untuk e-bookku. Bilang aku pelit, tapi aku tidak memberi mereka sepersen pun diskon.

Kamarku kuubah menjadi tempat kerjaku sendiri. Aku terus berpikir ttentang mengambil S2. Orangtuaku keberatan, kata Mumsy, hidup serumah hanya dengan Da' membosankan. Aku mengerti rasa bosan mereka, karna aku pun kesepian selama 4 tahun di London, berkawan dengan satu apartemen untuk sendiri.

Kukatakan pada mereka bahwa s2nya akan kulaksanakan di Irlandia. Sepertinya aku butuh rekomendasi anak lulusan Irlandia sungguhan. Moris. Ya, Moris. Ia berjanji untuk memperkenalkanku dengan istrinya. Sebelum bertemu, ie memperingatkanku, "Jangan bicarakan Mary. Dia mantanku" aku setuju.

Istrinya lembut dan manis. Aku heran kenapa Moris memutuskan untuk nikah muda, tapi tak apalah. Kalau dihitung-hitung, umurku dan Moris sama. Dan aku belum tua-tua amat.

Istri Moris bernama Lily, ia bekerja sebagai asisten dosen. Setelah mengetahui pekerjaanku, ia bilang dosennya punya teman yang membutuhkan e-book untuk mahasiswanya. Kataku, e-bookku semuanya tentang seni, bukan komputer atau apalah. Kata Lily, "Teman dosenku itu kebetulan guru seni"

Bisnis yang menjanjikan. Kami bertukar kartu nama dan esoknya, guru seni itu menghubungiku. Mengetahui aku lulusan LSA, ia tambah bersemangat. Ia minta sampel e-bookku hingga akhirnya, dibuatlah janji ketemu. Di London, 27 Maret.

Setelah setengah tahun, aku punya alasan ke London lagi. Mumsy mengijinkanku, dengan satu syarat--aku kembali ke kota itu bukan untuk S2. S2 harus di Irlandia. Oke. Aku menyanggupinya.

Senang rasanya bisa kembali ke kota dengan curah hujan lumayan itu. Aku megontak beberapa temanku di London, mencari tahu apa ada yang punya ruang kosong buatku tinggal seminggu. Seorang adik kelasku menyanggupi dapat menampungku di rumahnya.

Aku harus memesan tiket pesawat. Kukendarai motor menuju agen travel. Mobil selalu dipakai Da' kemana-mana. Nanti, kalau gajiku sudah lumayan banyak, akan kubeli mobil untuk diriku sendiri.

Peta dunia berwarna-warni terpampang jelas di dinding gedung agen travel itu. Kuedarkan pandangan untuk melihat peta Inggris. Ada brosur London di sebelah kiri peta. Kuambil satu. Sambil menunggu antrian, kususuri apartemenku di London dengan jari, lalu kampusku, Istana Buckingham, dan rumah keluarga McCowell yang tidak pernah kukunjungi sejak 4 tahun lamanya--mungkin hampir 5 tahun sekarang.

Sudah lama sekali. Ada desiran dalam hatiku, sudah lama sekali.

Kusimpan tanganku di balik jaket. Terkadang aku masih membayangkan Dan. Mengharapkannya seperti seorang perindu cinta. Walau mustahil karna sekarang aku tinggal di Irlandia, aku menyerah pada kota indah bernama London yang menyembunyikan Daniel entah ke kota apa. Terkadang aku harus menggigit bibir bawahku agar ingat bahwa. Aku. Tidak. Akan. Bersama. Daniel.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now