Part 1

705 14 2
                                    

Dia meninggal pada 19 maret, 11 hari setelah ulang tahunnya. Aku tidak berada di sampingnya. Aku sedang belajar dan membolak-balik buku saat ia meninggal. Membolak-balik buku dan berpikir tentang pelajaran di hari esok, bukan tentang dia. Samasekali tidak menyangka ia akan pergi malam itu juga. Sepupunya, yang belum dekat denganku waktu itu, mencoba meneleponku lagi dan lagi. Namun panggilan itu tidak kujawab. Untuk pertama kalinya kusadari bahwa lelaki yang kucintai itu telah pergi, adalah ketika Daddy bilang anak teman dekatnya meninggal. Saat itulah aku yakin lelaki yang kutemui sejak 4 tahun lalu itu telah meninggal.

Kuhitung hari yang kulalui tanpa kehadirannya, terkadang aku menangis ketika sedang menyendiri. Aku sering mengkhayal seakan ia masih hidup, dan aku depresi karna hal itu tak mungkin terjadi. Kugigit jemariku dan menatap ke langit, berharap ia akan bangun dan keluar dari kuburnya--by the way, aku belum pernah mengunjungi makamnya. Sekalipun.

Itulah aku, beberapa minggu lalu. Kucoba untuk tetap tenang. Kuingin berbagi perasaan dengan orang lain namun aku pun belum punya kekuatan untuk memberitahu teman-temanku bahwa lelaki itu telah tiada. Rasanya, seakan aku merahasiakan hal ini, namun kutahu ini bukan rahasia. Kematiannya bukan rahasia. Bahkan hal itu juga bukan rahasia lagi ketika ia masih hidup, semua orang tahu ia sedang sekarat.

Kita semua sekarat, itu fakta. Kita terus melangkah ke depan tanpa tahu bahwa hari yang kita habiskan mengantar kita semakin dekat pada kematian. Kita tetap menjalani hidup selama kita bisa--dan ketika sudah tidak bisa, kita tidak sekarat lagi. Aku lebih suka menyebutnya 'pergi' daripada 'mati'.

Namun bukan itu yang terjadi padanya, bukan samasekali. Dia tidak bisa tetap hidup normal seperti yang lain, dia tahu setiap hari dalam hidupnya diperhitungkan. Dia tidak bisa menghitungnya, tidak sejak dokter mengungkapkan kebenaran tentang jantungnya yang melemah--benda penting dalam tubuhnya yang tidak akan bertahan lama. Dia akan meninggal, dan itu telah terjadi.

Jika semua orang berkata bahwa aku kehilangan, mereka salah. Aku tidak kehilangan. Karna setelah ia pergi, tak ada banyak hal yang bisa diperhitungkan dari diriku, tak ada yang bisa dihilangkan. Rasanya lebih seperti diriku tidak pernah ada sejak kematiannya. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan selama minggu-minggu pertama adalah menuliskannya email berisi, i love you.

Itulah yang dapat kulakukan untuk berhubungan dengannya, atau setidaknya, berpura-pura dapat berbicara.

====

Apa yang akan kau lakukan jika teman dekatmu baru kehilangan orang yang ia cintai? Menghiburnya, pasti. Turut bersedih, mungkin. Senang? Kuyakin kau tidak akan melakukannya, walau kepada musuhmu sekalipun.

Well, tak ada yang berbahagia dengan kematian cowokku itu. Tentu saja semuanya bersedih, karna ia sosok yang baik dan tak mudah dilupakan. Ia tidak punya musuh, tentunya. Jadi, tak akan ada yang mengharapkan kematiannya.

Semua orang di sekitarku, hingga yang tinggal berjauhan dariku pun berusaha untuk menghibur dengan satu-dua kenangan akan lelaki itu, yang diam-diam malah membuatku tambah tertekan. Tak ada. Tak ada yang dapat menghiburku.

Malam ini aku berdiam dalam kamar, membongkar beberapa box berisi barang bertumpuk yang entah kapan terakhir kali kutengok. Ada beberapa pos dan paket dari orang yang tak kukenal--atau mungkin kukenal, aku lupa siapa mereka. Selama berminggu-minggu, yang kulakukan sejak bangun di pagi hari hingga tidur kembali adalah--bernafas, tidur, bernafas, mandi, bernafas, tidur, bernafas, menangis. Aku melupakan waktu makan. Bernafas adalah hal yang selalu kulakukan, yang kuperlukan. Hal itu membuatku sedih mengingat lelakiku tidak dapat lagi bernafas.

Ada beberapa sampah dalam box-box itu, sampah makanan ringan sejak berminggu-minggu lalu. Cadburry, Silver Queen, beberapa jenis coklat lain yang dulunya sering kumakan. Dulunya. Aku lupa kapan terakhir kali aku membiarkan coklat-coklat itu meleleh dalam mulutku.

Aku pergi ke toilet untuk membersihkan diri. Kapan terakhir aku mandi? Kapan terakhir aku pergi ke supermarket untuk membeli coklat? Kapan terakhir aku membuka paket dari teman-temanku? Kapan terakhir kali aku memperhatikan pelajaran di sekolah? Kapan terakhir aku mendapat nilai A seperti berminggu-minggu lalu? Kapan terakhir kali aku mengucapkan kata i love you?

Tak ada dari pertanyaan itu yang dapat kujawab, kecuali: terakhir kali mengucap tiga kata itu, berminggu-minggu lalu, terakhir kali ia meneleponku.







Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now