Part 4

115 2 0
                                    

Salah satu hal yang kusuka dari Ben adalah, ia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain. Ia terlalu baik untuk orang sepertiku, kalau boleh jujur. Namun aku pun tidak bisa melepasnya seperti di drama-drama murahan--kamu terlalu baik buatku, jadi kita selesai di sini.

Ia lebih mementingkan perasaanku daripada perasaannya. 3 tahun berjalan, ia memaksaku untuk berpisah karna mengkhawatirkan kesedihanku. Karna ia tahu aku bakal sedih saat ia meninggal nanti. Selama 6 bulan, kami tidak saling mengkontak satu sama lain. Hidup dalam kesendirianku yang dalam.

Da (bukan Dan, oke, bedakan antara Da dan Dan. Nama mereka memang aneh. Entah aku--penulis--dapat ide dari mana) mengentuk pintu kamarku. Bertanya apa aku sudah siap. Malam ini kami sekeluarga akan pergi ke teater, seperti janji Mumsy. Mungkin sebagai pengalihan rasa sedihku atau apa, tapi ya, kuterima saja. Karna membosankan juga berada dalam kamar, menatapi box-box sambil meratapinya.

Aku keluar dan langsung disambut oleh pelukan Susan.

Ia adalah sepupuku yang suka berhak tinggi, aku jadi tampak kecil di sebelahnya. Setelah lepas dari pelukannya, aku langsung membuang nafas ke samping--tidak tahan karna parfum Susan berlebihan. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, semacam botol berwarna oranye. Parfum. Menyemprotkannya padaku. Kuangkat bahuku, berusaha untuk tampak tak peduli padahal baunya membuatku mual.

Kami sekeluarga naik mobil ke teater itu. Memarkir mobil di seberang jalan. Masuk gedung teater. Menempati posisi masing-masing. Duduk dengan tenang. Aku tidak terlalu menikmati pertunjukan itu, karna pikiranku sekarang sedang tertuju pada kamar Ben yang sedang dibongkar jadi kamar Dan. Aku membayangkan dinding polos dengan banyak catatan pelajaran itu berubah seketika, dipenuhi poster Manchester United atau--aku tidak berharap ini terjadi--poster porno.

Selesai menonton, kami membeli beberapa makanan ringan dan Susan sibuk bercerita tentang kuliahnya yang menyebalkan. Aku hampir kelupaan bahwa sebentar lagi aku harus kuliah. Maksudku, tahun depan. Aku lebih muda setahun dari Ben, jadi, ya, jikaia masuk kuliah tahun ini, maka giliranku tahun depan. Ia bakal masuk kuliah jika belum meninggal.

Mumsy menasehatiku untuk belajar yang benar--aku kelupaan bahwa sekarang ada ujian dan bahkan aku belum belajar. Aku bertekad untuk belajar begitu sampai rumah nanti.

Da baru membuka mobil ketika seorang kenalannya menyapa kami. Orang itu bertubuh gemuk, ditemani seorang putranya. Putranya menyapa Da, tersenyum padaku dan Susan.

Senyumnya luar biasa manis.

Malam itu, kami tidak makan malam di rumah. Gara-gara bertemu kawan lamanya, Da menraktir sepasang ayah dan putra itu di restoran bergaya klasik dekat jalan Courtfield Gardens. Susan terus menerus mencari perhatian cowok-senyum-manis itu, karna sebelum bertemu cowok itu ia begitu cerewet denganku, namun sekarang malah menyerocos tanpa henti padanya. Diam-diam, cowok itu hanya mengangguk-angguk tidak jelas. Ketika kutatap matanya, aku tahu kenapa. Ia hanya pura-pura mendengarkan namun sebenarnya sedang mencuri-curi pandangan padaku.

Aku berbasa-basi dengan menanyakan namanya, ia menjawab setelah sebelumnya berusaha keras menelan makanan dalam mulutnya, agar suaranya terdengar jernih. "Roger. Roger Jones" seperti nama western. Jelas sekali ia gugup saat menjawabku.

Keluar dari restoran, kuharap Da dan aku akan segera pulang sebelum Susan berhasil menarik perhatian cowok itu lagi, namun Mumsy ternyata yang malah mengajak Da dan Mr.Jones ngobrol kembali. Dasar ibu-ibu, dimana-mana sama saja.

Jadi, aku menyendiri di belakang mobil sambil membuka handphoneku.

"Kau disini" sebuah suara mengangetkanku dari samping. Kutolehkan kepalaku sedikit, dan terkejut mendapati lelaki senyum manis itu. "Kau mencariku?" Aku berusaha untuk tersenyum.

"Ya, sedikit" aneh, lalu, "Ya, maksudku, ya, tentu saja"

Kami tak berbicara selama beberapa saat, hanya menatap satu sama lain dan aku tahu tatapan macam apa yang ia keluarkan. Pertama kali aku ditatap seperti itu adalah ketika aku memasuki kantor ayahku, mencari-cari Da namun yang kutemukan malah seorang anak remaja bernama Ben.

Kugeser kakiku dan melangkah mundur. Telepon genggam kusembunyikan di balik badan. Agaknya ia melihat telepon genggamku sekilas tadi, dan bertanya, "Apa itu di belakangmu?"

"Hmm... Bukan apa-apa"

"Boleh kuminta nomormu?" Sudah kuduga.

Kugelengkan kepala dengan cepat, penolakan yanga gak aneh. Kutersenyum simpul, lalu berjalan cepat kepada Da.

Tidak ada. Tidak ada lelaki yang boleh mendekatiku. Tidak ada yang boleh memasuki hatiku. Hatiku tertutup untuk semuanya. Ben baru meninggal. Aku ingin sendiri. Berstatus single. Entah sampai kapan. Mataku meneteskan setetes air hangat yang tak sempat mengalir di pipiku. Air itu menyentuh aspal hingga tak bisa diserap oleh tanah. Tidak ada yang akan memasuki hatiku.

Tidak akan ada.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now