Part 10

66 1 0
                                    

Suatu hari, Mary putus dengan cowoknya yang sekarang. Mossi membicarakan hal itu denganku, tentunya.

"Yup, dia baru putus" kataku, "Dia lagi pengen single, lagi senang hidup sendiri, itu kata Mary sendiri"

"Apa ini kesempatan buatku untuk mendapatkannya kembali?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak yakin. Dia bilang dia hanya ingin sendiri, sampai akhirnya menikah nanti. Dia ingin menjadi istri dari seseorang pada akhirnya, semacam hubungan yang serius, bukan hanya menjadi pacar seseorang"

"Aku mengerti. Jadi single itu bebas juga, by the way. Jadi single itu bagus"

"Jadi single itu bagus" kuulangi kalimat itu, berharap dapat meresapinya dan menjadi jadi kenyataan. Jadi single itu bagus. Namun kehilangan Ben tetap saja tidak bagus.

Mossi sering merekomendasikanku film-film seru yang akhirnya kutonton juga. Suatu hari, Mossi merekomendasikanku film dengan genre yang mungkin tidak akan dipilih kaum pria. "Aku menonton film romance tadi" kataku, dengan mulut penuh sereal. Di ujung sana, Daniel menatap layar webcam dan bertanya "Film apa lagi?" Dia tahu aku penggila film.

"About Time. Filmnya so sweet, dan by the way, aku terinspirasi dari film itu untuk membuat sebuah list"

"List apa?"

"List hal-hal romantis"

"Apa saja itu?"

Kataku, "aku ingin menari di tengah jalan seperti di The Notebook, bernyanyi di atap seperti di Walking On Sunshine, aku ingin merasakan angin malam hari seperti di The Perks Of Being.. Apa? Susah judulnya. Aku ingin berlarian di Underground dengan pasanganku seperti di About Time"

"Itu indah" komentar Daniel, mungkin ia senang karna akhirnya aku percaya lagi pada cinta, bahwa aku akan move on dan melakukan apa yang kutulis. Padahal yang kutahu adalah, sejak pertama kubuat list itu, itu hanya akan menjadi seonggok list iseng tak berguna.

Pada akhirnya, segala hal berjalan seperti biasa, dari musim ke musim. Aku belum merasa bahwa aku sudah satu atau beberapa langkah lebih maju setelah kematian Ben, aku tidak tahu. Teman-temanku berkesimpulan bahwa hidupku seperti tergantung pada Ben. Beberapa orang keheranan dengan diriku yang merasa amat kehilangan, tapi, kau tahu? Jika kau jadi aku, kau tidak akan bisa sekuat diriku. Well, karna kau tidak akan pernah mempunyai Ben di sisimu

Aku lulus SMA, seperti Daniel. Kukatakan selamat tinggal pada teman-temanku, terkecuali Mary. Kami diterima di universitas yang sama. Di London. Di Inggris, negara tetangga. London School of Art, tempat yang selalu jadi impian Ben. Kami membicarakan universitas itu sepanjang waktu.

Aku dan Mary mengepak beberapa barang di koper. Kubawakan beberapa oleh-oleh khas Irlandia, entah untuk siapa. Ini menyenangkan. Kukatakan pada Mary agar ia bersegera, aku tidak mau tertinggal pesawat. Kami berlarian di lantai bandara. Paru-paruku mengembang dan aku terlihat norak di atas pesawat. Aku bersemangat sekali, terlebih karna aku akan bertemu Daniel untuk pertama kalinya. Ia tinggal di London selama ini, dan ia tidak pernah ikut Ben ketika ia mengunjungiku di Irlandia. Kedua, aku senang karna aku dapat mengunjungi makam Ben. Aku sudah berencana tidak akan menangis ketika mengunjungi nisannya nanti, tapi siapa yang tahu? Dalam pesawat, kusms Mossi dan dengan sedikit lirikan, kulihat Mary menatapku dengan tatapan, well, jelous.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now