Part 14

54 1 0
                                    

Hari berikutnya dimulai dengan hal mengejutkan. Mary dibangunkan oleh suara batu yang dipukul ke jendela. Ia berteriak keras-keras padaku, "TEMAN-TEMANMU, KITTEEEEN!" Aku melompat dari kasur dan menengok ke bawah, melihat Charlotte cs yang melempari jendelaku sudah menunggu. Daniel juga ada diantara mereka.

Aku tidak dapat menebak kemana mereka mengantarku sebelum Dan memberiku tisu dan berbisik, "Kalau mau menangis, tidak apa kok"

Aku sadar mereka mengantarku ke makam Ben.

Nggak apa kok, kataku. Berbisik pada diri sendiri. Nggak apa kok.

Aku ingat saat diriku bertekad untuk tidak menangis di depan makam Ben. Aku duduk di salah satu kursi penumpang di pesawat, memikirkan Ben dan bertanya, siapa yang tahu? Siapa yang tahu aku dapat menahan airmata ini atau tidak. Namun sekarang, aku tahu jawabannya. Aku ingin membuktikan bahwa airtamaku tidak akan menekan keluar. Jadi, kugenggam lengan Daniel sambil membaca nama di batu itu, Benedict McCowell.

Disanalah terbaring lelakiku, yang amat manis, yang amat lembut, mahluk yang indah. Ia adalah pemandnagan yang indah, bahkan nisan ini pun indah. Airmataku jatuh, walau hanya setetes, namun aku tersenyum. Charlotte dan yang lainnya tersenyum juga. Dan dengan Daniel di sini, tak perlu kuhapus airmata ini. Mungkin aku menggagalkan tekadku, tapi hatiku yang memintanya. Kedamaian itu, terkadang dimulai dengan kegagalan.

Tak perlu menghapus airmata ini.

Setelah itu, aku dan Daniel pergi ke Underground. Tahu kan, kereta awah tanah London itu? Penasaran rasanya kemana ita akan pergi, kereta tujuan mana yang ia pilih. Namun tidak, ia hanya mengajakku duduk di kursi-kursi kosong yang tersedia. Diam seperti tidak ada kerjaan. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu untuk dimakan. Dua buah pil.

"Pil apa itu?!" Aku bertanya padanya seakan ia seorang tahanan, dan aku polisinya. Kaget, tentunya, itulah yang kurasa. hal semacam ini hanya biasa kulihat di film, pil depresi, dan lainnya. Artinya, Daniel merasa depresi akan suatu hal.

"Seharusnya aku menceritakan ini lebih awal" katanya, "Aku ingin kau mengenalku seluruhnya, luar dan dalam. Teman-temanku belum tahu tentang ini, tapi sekarang, kau sudah tahu" matanya berubah menjadi gelas kaca. Berair. 

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now