Part 11

57 1 0
                                    

"Tidak apa kan kalau aku smsan dengan mantanmu?" Tanyaku. Aku tidak mau jadi seseorang yang selingkuh dengan Mossi. Lagipula, Mossi sudah bukan milik Mary lagi toh. Lagipula, kita juga hanya berteman.

"Tidak kok, tidak apa"

Kita sampai di Hearthrow tanpa transit, dan berfoto di london untuk pertama kalinya. Kita pergi ke apartment dengan taxi. Kusms Mossi karna ia bilang harus memberitahunya ketika sudah sampai--ia ingin tahu Mary baik-baik saja. Kutelepon Daniel, ia meneriakkan SELAMAT DATAAANG DI LOOONDOON keras-keras hingga kujauhkan telepon genggam dengan telingaku. Kuajak ia untuk bertemu.

Ia memberiku sebuah alamat. Setelah kutelusuri, kutemukan alamat itu, sebuah teater. National Theatre.

Aku menemukan Daniel, diantar puluhan orang yang keluar-masuk di jalanan, ia memakai pakaian, jas dan kemeja dilengkapi dasi. Kulambaikan tangan dan ia menghampiriku dengan berlari. Kami bertawa sangat keras, amat keras, dan ketika kulihat kembali wajahnya, matanya sedikit berair. "Hey, ada apa?"

"Tidak, kau.... Mengingatkanku pada Ben. Tapi tak masalah" ujarnya. Aku heran kenapa ia sempat-sempatnya bersedih. Maksudku, aku sedang dalam emosi yang menyenangkan hingga tak ada yang dapat merusaknya.

"Pakaianmu keren. Kupikir kau akan memakai kaos oblong dan bokser?"

"Kaupikir aku mau memberimu kesan pertama yang tidak begitu baik?"

Kami tertawa. Tertawa. Ini menyenangkan, maksudku, tentu saja. Berkomunikasi lewat internet bukan apa-apa dibanding secara langsung, rasanya berbeda. Lebih menyenangkan walau kadang kala kita dekat dengan seseorang di internet namun di dunia nyata malah canggung. Untungnya aku tidak punya masalah berkomunikasi dengan Daniel, jadi, pertemuan pertama kami berjalan lancar.

"Kau tahu, kalau boleh jujur aku tidak suka teater" kataku

"Aku tahu"

"So?"

"Aku tidak tahu apa lagi yang kau suka, karna nampaknya kau tidak suka apa-apa" lalu kami tertawa. Sebelum masuk teater, seorang perempuan berpakaian minim menyapa kami. Daniel memperkenalkanu padanya. Namanya Charlotte. "Namaku Katherine" kataku.

Daniel menyela, "Sebenarnya, tidak ada yang memanggilnya Katherine. Lebih sering dipanggil Kit Kat atau Kitten, bisa juga Kittle, terserah yang mana"

Dalam gedung teater, kuberbisik padanya, "Yang memanggilku Kit Kat hanya Ben, ingat?"

Ia mengalihkan pembicaraan, "Cewek yang tadi itu mantanku. Entah yang keberapa" kuputar bola mataku.

Sebelum pertunjukannya mulai, saat lampus udah mulai dimatikan, Daniel berbisik, "Tentu saja aku tahu itu panggilan yang dibuat oleh Ben, Kit Kat"

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now