Part 19

56 1 0
                                    

Hari berikutnya, kubulatkan tanggal di kalendar, tepat di hari pertama kami masuk kuliah. 4 hari lagi. Ini menyenangkan, tapi aku sedikit gugup. Kubawa Moris ke bioskop, dia senang sekali hingga lebih pantas disebut norak. Aku senang akhirnya kita bisa nonton bareng, daripada hanya membicarakan film via sms.

Di perjalanan pulang, secara tidak sengaja aku melihat obat yang jatuh dari tas seorang dokter. Kupungut benda itu untuknya, kuingatkan ia untuk menutup rsleting tasnya. Ia berterimakasih padaku. Aku bertanya tentang obat itu, yang ternyata obat anti-depresi. Jika ia memberitahuku saat aku baru kehilangan Ben, kupikir aku akan meminum obat itu. Untungnya, aku baru bertamu dokter itu hari ini.

Rasanya aku pernah melihat obat itu sebelumnya. Pertanyaan dimana terjawab saat aku bertemu Francisca lagi, dia bilang dia ada kursus di jalan sebelah. Teringat pertama kali kita bertemu di rumah Dan, aku ingat pernah melihat obat-obatan ini di kamar Dan.

Harusnya aku mengkhawatirkan ia, sungguh. Kami harus berbicara atau apalah. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi anak adopsi yang tidak mengenal orangtua kita, bagaimana rasanya saat ada orang yang begitu peduli seakan merasakan yang sama. Dan bahwa orang itu pergi, dan rasanya kita sudah tidak punya keluarga lagi.

Tapi Daniel tahu. Jika kau pikir itu hanya masalah kecil  yang tidak perlu dikhawatikan, aku juga pernah berpikir seperti itu. Tapi  Dan yang merasakannya, dan ia bilang itu mengerikan. Harusnya aku khawatir.

Tapi ada hal konyol dan menjijikkan di apartemenku yang membuatku lupa untuk mengkhawatirkannya.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now