Part 5

118 3 0
                                    

Jendela mobil beruap karna nafasku. Kutaruh kepalaku di jendela, membelakangi Susan dan lainnya. Pertemuan dengan Roger merusak semuanya, atau mungkin, hampir semuanya. Aku sedang merasa baik-baik saja dengan teater dan makanan ringan. Tentang Da dan makan malam itu. Masalahnya bukan Roger, sejujurnya, namun lebih karna Roger mengingatkanku pada satu hal bernama cinta.

Karna aku tidak bisa. Menanggalkan. Perasaan. Ini. Perasaan pada Ben.

Samasekali.

Sesampainya aku di rumah, yang pertama kali kulakukan adalah membuat kopi dan meneguknya secepat kilat. Tanpa berpikir sudah ditambahkan gula atau belum, tanpa peduli betapa panasnya minuman itu.

Aku menolak Susan untuk tidur di kamarku. "Tidur saja di sofa, seperti biasa" mungkin aku kejam dan tidak menghormati tamu, namun aku ingin sendiri.

Di kamar, aku melepas sweater dan menghempaskan diri di atas kasur. Kasur ini empuk, seempuk bulu domba. Atau memang terbuat dari itu? Tapi Da tidak akan merelakan uangnya hanya untuk membeli sweater bulu domba yang ditumpuk menjadi kasur.

Kualihkan pandangan ke jendela. Satu hal yang kusuka dari benda buka-tutup itu--angin malam yang menerebosnya dengan mudah. Kualihkan pandanganku pada pintu kamar mandi, berusaha untuk menahan mataku dari box-box pemberian Ben. Tetap saja, akhirnya aku menangis juga.

Menyebalkan. Menangis itu menyebalkan.

Semua ini menyebalkan. Aku tidak akan mau jatuh cinta lagi, dengan siapapun. Kapan pun. Hingga bertahun-tahun setelah ini. Atau kapanpun. Tidak akan ada yang dapat menggantikan tempatnya. Aku ingin sendiri. Selamanya.

Mungkin ini terdengar kekanakkan dan aku masih terlalu muda untuk memutuskan sesuatu. Namun ini keputusan yang, buatku, tak ada pilihan lain kecuali ini.

====

Menangis menguras tenaga kita, menurutku. Aku selalu kelelahan setelah menguras airmataku. Selalu kehabisan tenaga setelah mengamuk hebat.

Tengah malam, entah jam berapa itu, aku terbangun dengan deirngan telepon genggamku. Ada sebuah panggilan lewat Skype masuk. Siapa lagi kalau bukan danielatmc.

"Ya?" Suaraku parau, habis menangis, habis bangun tidur, dengan ingus yang masih menyumbat hidung.

"Hey, sudah tidur, ya?" Sedang suaranya di seberang sana masih terdengar semangat, sekana ini pagi hari dan ini hari yang penting. Kulirik jam, 1.56. Hampir jam 2. Bukan pagi hari.

"Tentu saja"

"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Real Madrid-mu, kupanggil RM saja, ya? Oke, jadi, RM-mu--"

"RM-ku" ejaku, memotongnya. "Tidak terlalu buruk"

"RM-mu bakal datang ke Manchester untuk melawan MU langsung di kandang sang lawan! Besok, jam 7 malam. Nonton, ya? Aku malah sudah memesan tiket ke sana"

"MU-mu" ujarku. "Nonton langsung di kandang MU, keren sekali" kapan terakhir aku menonton pertandingan bola? Tidak pelru dipertanyakan lagi bahwa aku pun tidak tahu jawabannya.

"Ya... Memang keren. Hey, kau baik-baik saja?"

Kumenarik napas, "Tidak juga"

"Kau selalu jujur, ha, itu bagus--jadi, ada apa ini?"

Aku tertawa, mengingat ekspresi Roger ketika kutinggalkan tadi. Aku tidak sempat menatapnya lagi, namun aku bisa membayangkannya. "Seorang cowok berusaha PDKT denganku"

"Wow" komentar Dan, "Wow"

"Ya"

"Kau menerimanya? Oh, pasti seru"

"Tidak. Tidak samasekali" lanjutku, "Sejujurnya, Dan? Aku tidak bisa menerima cowok lain selain Ben"

Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat, membiarkan angin berlalu begitu saja. Mataku, yang sedari tadi maish saja terpejam, hampir tenggelam dalam mimpi kembali. Telepon genggamku, yang kutaruh diantara telinga dan bantalku, mengeluarkan suara kembali, "Ben tidak ingin kau seperti ini"

"Ya, aku tahu" ujarku, menggigit bibir bawahku hingga warnanya keputihan, menahan tangis. Aku lelah menangis. "Tapi, ya, apa lagi yang dapat kulakukan? Lupakan saja"

Jeda kembali. Kupikir, tidak apa-apa mencurahkan semuanya dengan Dan. Kupikir, tidak mengapa menangis depan orang yang bernasib sama denganku. Ben sama-sama meninggalkan kami berdua. "Dia bilang aku harus menemukan seseorang yang lebih baik darinya" dan tangisku pecah. Pecah tanpa aba-aba atau isakan kecil, namun langsung menggema ke seluruh sudut kamarku.

"Ia ingin kau bahagia" balas Dan.

"Aku bilang tak ada yang lebih baik darinya"

"Memang"

"Tapi dia bilang, kalau begitu, jadilah orang yang lebih baik dariku...."

"Karna ia ingin kau bertemu orang yang sepadan. Yang lebih baik darinya, jika kau berhasil jadi lebih baik darinya"

Aku menangis. Menangis. Aku lelah. Aku kacau. Pesan dari Ben berputar dalam benakku.

"Tapi, Kit, kau tidak bisa seperti ini. Ia ingin kau bahagia"

"Tapi aku tidak bahagia, jika harus bersama orang lain"

"Kalau begitu, apa kau bahagia? Dengan keadaan seperti ini?"

Kumenjawab di sela-sela tangisku, "Tidak"

"Jadi?" Suara Dan terdengar lebih ramah, seperti seorang ayah yang mendengar curhat anaknya. Seperti Da ketika ai menghiburku. Namun ia tidak bisa menghiburku untuk hal seperti ini, bukan karna aku tidak percaya ia juga menyayangi Ben, tapi karna ia tidak senasib denganku. Aku tidak ingin ia bernasib sepertiku--karna aku tidak ingin kehilangan Mumsy juga.

"Aku... Tetap tidak bisa" aku menggeleng kuat-kuat, walau ini bukan video call dan Dan tak mungkin melihat gelenganku. "Biarkan saja diriku, oke? Aku hancur. Aku hancur. Biarkan saja. Aku hanya berharap Ben tidak mengetahui hal ini, kehancuranku ini"

"Ehm, oke, Ms.Oh. Jadi, apa yang kau lakukan sekarang?"

"Bersiap untuk tidur"

"Oh, sedang merapihkan kasur rupanya?"

"Tidak" aku menguap, "Sedang menunggumu mengatakan goodbye"

Ia tertawa. Diantara tawnaya, kudengar musik diskotik. Lalu suara tawa perempuan. Dasar cowok aneh. "Kau di diskotik, ya?"

"Hmm... Ya"

"Ben akan membunuhmu jika sampai tahu"

"Ia tidak akan membunuhku, haha"

"Memberitahu orangtua sama saja dengan membunuh, kau tahu"

"Hahaha" ia tertawa keras-keras, seorang cewek menggumamkan sesuatu di ujung sana, Daniel ber-ssst kecil. "Aku suka gayamu"

"Kenapa? Aku keren. Terimakasih"

"Oke, jadi, bermimpilah yang indah. Goodbye"

"Hey" cegahku.

"Apa?"

"Jangan main cewek, paling tidak malam ini saja. Oke?"

Tawanya lebih garang sekarang. "Hmm aku tidak bisa berjanji"

"Kau tahu" kataku, menyelipkan senyum diantar suaraku, "Ben tidak ingin kau seperti ini"

"Kau meng-copy kata-kataku"

"Memang"

Aku tersenyum, "Jangan jadi cowok nakal"

"Jangan tutup hatimu"

Kami sama-sama tertawa, seakan itu wasiat-wasiat itu adalah lelucon paling aneh sedunia.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now