Part 9

72 1 0
                                    

Aku tidak berbicara lagi dengan Daniel selama seminggu atau lebih. Hingga suatu hari aku menerima paket atas nama DANIEL MCCOWELL. Isinya sebuah buku, dia mengenalku sangat baik ternyata, bahwa aku suka baca novel akhir-akhir ini. Kupikir benda ini sebuah permintaan damai darinya. Rasanya seperti hadiah yang diantar oleh utusan suatu kerajaan untuk mendamaikan kedua pihak istana.

Jadi, kucoba untuk berbicara lagi dengannya malam itu juga.

Aku: Hey

Dan: Hey you

Aku: How are you?

Dan: Good

Aku: Hmmm

Dan: Hmmm haruskah kita membicarakan hal itu atau tidak?

Aku: Untuk hal itu, aku lebih memilih membicarakannya.

Ben ingin Daniel menjadi cowok yang lebih baik, Ben ingin aku mencari pasangan yang lebih baik darinya. Itulah topik kami malam itu. Kali ini, kuusap airmataku tanpa membiarkannya jatuh, karna aku tidak pernah mengusapnya kecuali jika sedang berharap kesedihanku akan mengalir bersamanya--aku berharap, namun tidak meyakininya. Kutebak Daniel juga sedikit menangis di ujung sana. Dia seorang lelaki, tentu saja, namun hatinya bisa hancur ketika orang yang paling dekat dengannya meninggal.

Di akhir, Daniel berjanji untuk mencoba menjadi sosok yang lebih baik, ujung-ujungnya kami berbicara tentang diriku yang tidak akan pernah mau menjadi ceweknya! Walau hanya sekali, walau hanya sedetik sekalipun.

Dia tertawa keras, berkata, tentu saja tidak akan. "Bahkan Ben sekalipun tidak bakal mau kau jadi cewekku" itu benar, karna Ben tidak akan tega melihatku menangis patah hati.

Hari-hari berlalu bagaimana semestinya, aku jalan-jalan dengan teman dan belajar. Aku menonton di bioskop, menghamburkan popcornku ke bangku belakang dan tertawa sendiri. Aku menonton film romance, The Fault In Our Stars dan menangis--mengingat bagaimana Ben meninggal. Daniel naksir seorang cewek dan kuperingatkan ia untuk tidak tidur dengannya, tentunya karna aku tahu ia akan meninggalkan cewek itu pada akhirnya. Kami bertengkar lagi terkadang, tentunya tidak sehebat yang terakhir itu, tapi tetap saja kami saling berteriak namun berakhir dengan tawa renyah. Teman-temanku bertanya apa aku naksir Daniel, kujawab dengan "Tidak sekalipun" pertama, dia sepupu Ben. Apa itu masuk akal untuk tidak mencintai Daniel? Aku tidak yakin. Yang kuyakini adalah, aku masih mencintai Ben dan tidak bisa move on.

 "Bagaimana kalau suatu hari nanti kau bertemu seorang lelaki yang baik dan jatuh cinta?" Daniel bertanya suatu hari. Kualihkan ia, "Tidak bakal, tidak samasekali, Dan. Oh ya, bagaimana kabar cewek-cewekmu?" Ya, aku menyebut kata cewek dua kali, karna ia punya banyak cewek. Kebiasaan lamanya masih membekas, walau kutahu ia sekarang punya tekad untuk berubah.

Aku membaca novel, bersenang-senang dan belajar keras. Aku dapat nilai A dalam beberapa tes dan merasa stres dengan beberapa pelajaran yang tidak kumengerti.

Daniel lulus ujian akhir smanya, dan aku tertawa bahagia untuknya, namun malah terdengar lebih seperti tawa mengejak tidak percaya. Dia bilang cinta tidak mengganggu ujiannya, walau kutahu ia baru putus dengan ceweknya yang ke-36. Untungnya, ia berkata, beberapa pacar terakhirnya tidak ia nodai dengan kumpul kebo dan sebagainya. "Kemajuan, bukan?" Tanyanya senang.

Semuanya terasa sama dan akhirnya, aku bertemu seorang cowok. Yang ini agak berbeda, karna aku bisa dekat dengannya walau ia tidak ganteng-ganteng-amat tapi enak diajak ngobrol. Sekadar info, dia ini mantannya Mary. Kita jadi teman, dan akhirnya makin dekat. Sangat dekat.

Namanya Mossi. Dia orangnya keren dan aku tak dapat menjelaskan betapa lucunya ia. Dia masih suka sama Mary, begitu katanya. Kita sering curhat dan bercanda. Namun aku tidak pernah bercerita tentang Ben padanya, karna setahuku cowok tidak tertarik bebricara tentang cinta dan semacamnya.

Kami berbicara tentang film dan semacamnya, karna aku makin suka film dan novel. Kami hanya berteman. Aku heran jika ada yang bilang kita berdua cocok atau bakal saling suka pada akhirnya.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Där berättelser lever. Upptäck nu