18. Hai Salwa

Beginne am Anfang
                                    

"Nanti pulang bareng gue, Sal." Rajawali berdiri lebih dulu. "Gue tunggu di parkiran," tambah cowok itu sebelum berjalan pergi.

Belum juga mendapat jawaban, tetapi sudah pergi. Padahal belum tentu Salwa mau. Salwa hanya menghela napas sabar, lalu kembali menuju kelas.

Ketika Rajawali masuk ke dalam kelas, suasana sudah ramai. Teman-temannya juga sudah berangkat. Aneh! Kenapa mereka juga ikut dateng sepagi ini?

"Asyiknya yang habis apel pagi-pagi. Berduaan, bercanda tawa di bawah pohon. Ah, bikin iri aja," cerocos Billi pada Rajawali.

"Mpok Nori makan kedondong. Biar gak iri, cari dong," ujar Ucup dengan pantun-pantun miliknya. "Masa, iya, playboy jomlo. Udah gak laku lo?"

"Sekate-kate kalau ngomong," balas Billi memicingkan mata. "Bukannya gak laku, Cup, tapi emang gak ada yang mau," tambahnya berkata jujur.

Gelak tawa teman-temannya langsung terdengar jelas di kelas XI IPA 3.

"Semuanya lo deketin terus di-php-in, mana ada yang mau sama lo," celetuk Anwar ikut nimbrung.

"Kalau ngomong suka gak ngaca, Mas!" balas Billi ngegas.

Anwar tertawa tanpa merasa berdosa. "Main cantik kayak gue dong. Kadang taktik gerilya dalam hubungan itu perlu, Bil."

"Hubungan perselingkuhan?"

"Astagfirullah. Pagi-pagi bahas perselingkuhan. Masih kecil saja sudah selingkuh, apa kabar kalau sudah besar?"

Sontak seisi kelas menengok ke sumber suara yang terdengar tidak asing bagi mereka, siapa lagi jika bukan guru tua berambut hitam putih bernama Pak Wahyu.

Kedatang Pak Wahyu yang secara tiba-tiba membuat muridnya kicep. Pak Wahyu berjalan masuk ke dalam kelas dengan menggeleng-gelengkan kepala.

"Bener-bener enggak habis pikir sama anak zaman sekarang. Beda banget sama anak zaman dulu," komentar Pak Wahyu menatap murid-murid.

"Hidup kan harus ada perubahan, Pak," balas Galen. "Memangnya anak zaman dulu gimana?" tanyanya berani. Karena Galen sudah tahu karakter Pak Wahyu.

"Iya, tapi perubahannya harus yang ke lebih baik. Kalau makin buruk, hancur nanti." Pak Wahyu menjawabnya dengan tegas—tidak seperti biasanya dibuat bercanda. "Zaman dulu mah anaknya baik-baik. Cukup satu untuk selamanya. Bukan banyak di waktu yang sama." Pak Wahyu memberi jeda sebentar untuk menarik napas. "Contohnya seperti saya," sambung Pak Wahyu percaya diri.

"Udah gue duga, berujung memuji diri sendiri," celetuk Ansel sembari terkekeh lirih.

Pak Wahyu menaruh barang bawaannya di meja. Sampai akhirnya, netra pria itu fokus pada meja Rajawali.

"Kamu lagi Rajawali, pagi-pagi meja sudah seperti kuburan baru," ujar Pak Wahyu ketika melihat bunga-bunga cantik menghiasi meja muridnya.

Setiap hari meja Rajawali memang selalu dipenuhi cokelat dan buket dari siswi SMA Perwira. Mereka rajin memberikan dengan suka rela. Terkadang ada pula yang membawakan makanan seperti nasi goreng. Sayangnya pasukan Rajawali yang menjadi penadahnya.

"Dari siapa semua ini?" tanya Pak Wahyu sembari mengambil satu buket mawar merah yang indah.

"Siswi Perwira, Pak."

"Enggak kaget, dulu waktu muda saya juga begitu. Jadi orang ganteng mah gini yah, Raj," balas Pak Wahyu yang masih menghirup wangi bunga mawar.

"Serius demi apa Pak Yu waktu muda juga dipuja-puja banyak wanita?" tanya Anwar kurang ajar.

RAJAWALIWo Geschichten leben. Entdecke jetzt