3. Menyesal

517 58 99
                                    

Bunyi musik yang bersumber dari pukulan tangan di meja sudah terdengar. Alat-alat tulis seperti pulpen, tipp-ex, dan penggaris ikut serta dimainkan. Mungkin bagi manusia-manusia normal sangat mengganggu, apalagi dengan vokalis pas-pasan yang suaranya sangat berbahaya bagi kesehatan gendang telinga.

Sepagi ini suasana kelas XI IPA 3 sudah seperti di pasar—ramai. Semua bernyanyi dengan semangat, kecuali ketua kelas beserta beberapa siswa-siswi disiplin. Kebanyakkan siswa kelas ini adalah anggota Regaz, jadi maklum kalau kondisinya sangat buruk. Ruang kelas ini juga tidak pernah rapi, jika pun rapi, itu hanya dalam hitungan detik.

Dodo Wibowo, ketua kelas XI IPA 3 yang terkenal sabar dan pintar. Dia tidak pernah mengeluh saat anak-anak Regaz susah diatur, berbuat onar dan mengotori kelas. Dodo hanya menasihati, jika tidak diterima, dia tidak marah, malah tersenyum. Karena menurut Dodo buat apa marah? Toh, tidak akan merubah keadaan. Bukannya tambah baik tetapi malah tambah runyam, kalau semua dihadapi dengan emosi.

Dengan teman-teman kelas yang entah pantas atau tidak dikatakan teman, Dodo selalu baik. Padahal bisa saja dia pindah kelas sesuka hati, dan berteman dengan anak-anak pintar sekaligus disiplin. Banyak juga guru-guru yang menyarankannya untuk pindah. Tetapi dia menolak. 'Saya senang di sini, saya juga tidak sedang memilih-memilih teman. Lagipula saya sedang mencari ilmu bukan mencari teman. Jadi untuk apa saya pindah'. Pernyataan itu membuat Bu Ronda diam, dan sampai sekarang belum ada guru yang menawarinya lagi untuk pindah kelas.

Pintu kelas terbuka, terlihat jelas cowok tampan bertubuh tinggi sedang berjalan masuk. Idola sekaligus most wanted cewek-cewek SMA Perwira dan juga di luaran sana, menghuni di kelas IPA 3 ini. Seketika keadaan kelas hening. Anak-anak yang tadinya bernyanyi, memukul meja, dan menyapu ... semua berhenti. Mereka mematung, fokus memandang cowok itu. Seolah mereka menjadi robot berjamaah.

"Kalian kenapa liatin gue kayak gitu?" tanya Rajawali heran, saat teman-temannya tiba-tiba diam dan memandangnya intens. Ketika matanya bertatap dengan anak-anak Regaz, dia merasa ada yang beda. Tetapi apa? Tatapan mereka sulit diartikan. Kok mereka natap gue gitu amat, ya? Kayak marah, kecewa. Tapi kenapa? Apa gue bikin salah?

Bukannya menjawab, Ansel malah balik bertanya. "Lo ke mana aja, Raj?"

"Gue gak ke mana-mana. Liat, kan, ini gue masih ada di bumi? Kenapa lo nanya gitu?"

"Iya gue liat lo masih di bumi, tapi gue kemarin gak liat lo saat temen minta bantuan!" bentak Jean di depan pintu. Jean adalah kakak kelas Rajawali.

Sontak Rajawali membalikkan badan dan sekarang semua fokus menatap Jean. "Maksud Kakak apa? Siapa yang minta bantuan sama gue?"

"Ternyata selain gak mau bantu, lo juga bisa pura-pura bego, ya."

"Gue bener-bener gak ngerti maksud Kak Jean apa, jadi tolong je—"

"Gak usah banyak omong dan pura-pura bego, gue benci!" Jean langsung melenggang pergi.

Semua penghuni kelas itu tercengang sekaligus kaget. Baru pertama kali ada kakak kelas yang datang dan berani membentak Rajawali. Ini pemandangan langka yang baru ada.

"Sel, jelasin sebenarnya ada apa?!"

Belum sempat dijawab, Pak Nano lebih dulu datang. "Selamat pagi anak-anak."

"Pagi, Pak," jawab semua siswa-siswi kompak.

Rajawali langsung berjalan ke tempat duduknya.

Sudah satu jam pelajaran matematika berlalu, dan sudah satu jam pula Rajawali melamun. Dia sama sekali tidak mendengarkan penjelasan Pak Nano, yang terdengar di telinganya hanya ucapan Jean tadi pagi. Kata-kata itu bagai tusukkan pisau di hatinya.

RAJAWALIWhere stories live. Discover now