Prologue

6K 781 5
                                    

"The very things that hold you down are going to lift you up."

(Timothy Mouse - Dumbo)

__________

Laviona menangis.

Ia masih sangat kecil dan tidak tahu harus berbuat apa saat seorang pria pedofil gila menyeretnya dengan kuat.
Kepalanya berdenyut nyeri saat rambutnya terus menerus ditarik tanpa ampun.

Tubuhnya juga terasa lemas sekali, entah pengaruh dari rasa takutnya atau memang karena luka-luka yang memenuhi tubuhnya yang sedari tadi bergesekan dengan ranting dan batu.

"Lepaskan aku...kumohon," pinta Laviona lemah.

Merasa tidak digubris sama sekali, Laviona mulai berteriak, "TOLOONG!!"

Pria pedofil itu berbalik badan. Tersenyum meremehkan pada Laviona yang bergetar ketakutan.

"Tak ada yang bisa mendengar suaramu, gadis manis."

Pria itu kemudian berjongkok. Mendekatkan wajahnya pada wajah Laviona membuatnya semakin bergetar ketakutan.

"Kau kan tidak berpemilik, lebih baik kujadikan pialaku saja." Seringaiannya terbit.

"Piala?" Laviona mengernyit dalam.

Pria pedofil itu terkekeh pelan. Ia mengusap halus pipi Laviona.

"TIDAK!!" raung Laviona keras. Ia menarik tubuhnya mundur menjauhi pria pedofil gila itu. Namun nyali Laviona kembali menciut saat pria itu berjalan mendekat. Sama sekali tidak terpengaruh ucapan Laviona barusan.

"Ayolah, manis. Tak ada gunanya menolak. Bersikaplah baik saja padaku dan aku tak akan menyakitimu. Kau hanya akan kurawat hingga dewasa dan tentu itu semua tidak gratis." Pria pedofil itu hendak kembali menunduk dan menyeringai. Tangannya sudah terjulur sedikit ingin kembali meraih rambut Laviona dan menyeretnya kembali.

Semua berlalu begitu cepat. Laviona tak tahu apa yang terjadi saat sebuah pedang bermata dua menembus dada pria pedofil gila itu dan berhenti beberapa senti di depan wajah Laviona.

Pemandangan yang begitu mengerikan saat darah yang begitu banyak mulai mengalir tepat ketika pedang itu dicabut kasar. Pria pedofil itu ambruk ke depan, membuat Laviona refleks menghindar agar tidak tertimpa oleh tubuh itu.

Laviona tidak pernah menyukai darah. Ia selalu membenci cairan kental berwarna merah itu dalam jumlah yang banyak.

Sudah satu tahun berlalu sejak kejadian itu. Laviona masih tidak bisa menghilangkan bayangan setiap detail kejadian saat anggota keluarganya yang dibantai di depan wajahnya. Bahkan mungkin sampai kapanpun Laviona tidak mampu. Itu terlalu mengerikan.

Laviona tidak tahu mengapa seluruh anggota keluarganya dibunuh. Keluarga Laviona tidak pernah mencatat tindakan kriminal sedikitpun.

Pertumpahan darah itu benar-benar membekas di pikiran Laviona. Membuatnya hampir setiap saat teringat pada kejadian mengerikan itu, terlebih saat berhadapan dengan cairan kental berwarna merah di depannya saat ini.

"Kau tidak apa-apa?"

Laviona mendongak. Menatap takut-takut sosok anak laki-laki berpakaian mewah di depannya. Ia ingin menjawab, namun urung saat melihat pedang perak berlumuran darah dalam genggaman anak laki-laki itu.

Pikirannya langsung mengatakan sesuatu yang buruk pada Laviona saat melihat seseorang yang bersenjata.

"Apa dia menyakitimu?" tanya anak laki-laki itu lagi. Mata birunya berkilau indah meski tidak tertimpa cahaya matahari. Lalu ia mendesah saat melihat Laviona yang tetap diam tak menjawab. Dari tatapan matanya, semua orang yang melihat langsung dapat menyimpulkan bahwa Laviona ketakutan.

"Tunggu di situ."

Anak laki-laki itu kemudian berbalik meninggalkannya. Laviona sempat tertegun menatap punggung yang menjauh itu. Namun kemudian ia berusaha bangkit berdiri ingin meninggalkan tempat itu secepannya.

Sepertinya, setelah ini Laviona harus mencari tempat lain untuk tidur yang benar-benar jauh dari sini. Atau jika perlu meninggalkan hutan ini untuk menemukan hutan lainnya yang bisa Laviona jadikan tempat tinggal.

Ia tidak ingin keberadaannya diketahui orang lain.

Namun baru selangkah, Laviona terjatuh kembali. Tubuhnya terasa remuk sekali dan kepalanya masih berdenyut nyeri.

Laviona tak ingin menyerah. Ia akan mengobati lukanya saat menemukan tanaman obat di suatu tempat

Namun karena tubuhnya yang masih jauh dari kata baik, Laviona tak bisa mengontrol langkah kakinya dan berujung jatuh terjerembab karena tersandung ranting kering yang sialnya tajam.

Laviona bangkit untuk duduk. Ia meneliti kakinya dan panik seketika saat melihat darah yang mengalir menembus gaun lusuhnya. Darah yang sangat banyak.

Di sela kepanikannya, Laviona dikejutkan dengan kedatangan anak laki-laki berpakaian mewah tadi yang kini sudah berjongkok di depannya.

"Sudah kubilang tunggu di sana."

Anak laki-laki itu dengan dahi berkerut menyingkap gaun lusuh Laviona sebatas lutut lalu mulai membersihkan luka yang menganga di betisnya.

Laviona sempat menarik kakinya namun anak laki-laki itu menahannya dengan begitu kuat, bersikukuh untuk mengobati lukanya.

Laviona tertegun. Merasa diperhatikan seperti itu membuat perasaan Laviona sedikit menghangat. Akhirnya, Laviona hanya diam memperhatikan kegiatan anak laki-laki itu sampai sebuah kain berwarna putih sudah melilit luka Laviona sempurna.

Anak laki-laki itu lanjut membersihkan luka Laviona yang lainnya kemudian memberi perban pada lengan Laviona yang juga terluka cukup parah.

Tak berhenti sampai di situ, anak laki-laki itu kini membersihkan darah yang mengalir di dahi Laviona. Laviona tertegun mendapati raut kesungguhan anak laki-laki itu saat mengobatinya. Sama sekali tidak tampak berniat jahat.

"Sudah selesai." Anak laki-laki itu tersenyum pada Laviona. Senyuman yang begitu menawan membuat perlahan tanpa Laviona sadari, ia ikut tersenyum kaku.

"Sudah membaik?"

Laviona mengangguk.
"Terima kasih," ucapnya kemudian tersenyum kembali.

"Omong-omong," kata anak laki-laki itu seraya mengambil posisi duduk di hadapan Laviona, "namaku Keyzaro Gevariel Ziv Carolus."

Laviona mengerjap beberapa kali. Otaknya bekerja keras mengingat nama yang rasanya begitu familiar.

Carolus?

Dia seorang Pangeran dari Kerajaan Carolus?! Laviona menganga takjub. Laviona tahu ia seharusnya membungkuk hormat saat ini. Namun tubuhnya kaku. Alih-alih membungkuk hormat, Laviona justru menatap wajah tampan anak laki-laki di depannya dengan tatapan kagum.

"Namamu?"

Laviona mengerjap tersadar.
"Aku Laviona."

"Hanya Laviona?"

Laviona mengangguk ragu.

"Nama yang cantik." Keyzaro tersenyum.

Laviona balas tersenyum kikuk.
"Terima kasih."

"Sepertinya umur kita tidak berbeda jauh."

Laviona tidak tahu harus menjawab seperti apa. Jadi ia hanya diam menatap ke dalam mata indah Keyzaro.

"Kenapa kau ada di sini?"

Laviona tergagap. Ia bingung harus menjelaskan seperti apa. Lagi-lagi bayangan kematian keluarganya muncul dan tak mampu Laviona tepis. Membuat air matanya tanpa sadar kembali mengalir.

Keyzaro yang melihat Laviona menangis secara tiba-tiba menjadi panik dan bingung. Ia langsung dapat menyimpulkan bahwa jawaban atas pertanyaannya barusan bukanlah sesuatu yang baik.

"Tidak apa-apa. Tidak perlu diceritakan kalau begitu," ucap Keyzaro iba. Ia kemudian tersenyum tipis. "Kalau sudah siap ceritakan padaku, ya?"


Laviona memberi anggukan beserta senyuman terbaiknya. Lalu Keyzaro kembali membuka suara, "Mulai sekarang kita berteman, bagaimana? Aku akan menemuimu setiap hari."

Nightmare [Completed]Where stories live. Discover now